Memetik Hikmah dari Musibah
Pendahuluan
Bila tidak segera dilakukan pembenahan yang segera, dunia penerbangan kita akan berada dalam “bahaya”. Kenapa dan bagaimana masalahnya? ikuti uraian berikut ini :
Sebuah pesawat penumpang Sukhoi Superjet 100 dilaporkan hilang di kawasan Gunung Salak, Bogor , pada hari Rabu tanggal 9 Mei tahun 2012 sekitar pukul 14.30 WIB. Pesawat buatan Rusia tersebut take off dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada pukul 14.21 WIB dan kehilangan kontak pada ketinggian 6000 kaki pukul 14.33 WIB di atas Bogor Area.
Pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) tersebut membawa 45 orang penumpang, yang terdiri atas sembilan warga asing dan Rusia serta 37 warga negara Indonesia . Penerbangan ini adalah dalam rangka pelaksanaan promo tur bertajuk “Welcome Asia” yang dimulai pada 3 Mei dan dijadwalkan mengunjungi enam negara yakni Kazakhstan, Pakistan, Indonesia, Vietnam, Laos dan Myanmar. Pesawat dengan kapasitas 98 penumpang itu dirancang untuk dapat dioperasikan pada jarak lebih kurang 4.578 kilometer dengan ketinggian yang dapat mencapai hingga 12.200 meter. Belakangan diketahui bahwa pesawat yang naas tersebut telah menabrak gunung Salak. Pesawat hancur lebur dan seluruh awak pesawat serta penumpang dinyatakan gugur.
Penyebab kecelakaan :
Seperti biasa saat terjadinya kecelakaan pesawat terbang, maka pertanyaan yang segera muncul bertubi-tubi adalah keingin tahuan dari masyarakat luas tentang apa gerangan yang menjadi penyebabnya. Rasa ingin tahu yang sangat besar dari banyak pihak dapat dilihat dari representasi mereka yaitu para wartawan peliput berita. Walaupun sudah sedemikian sering , mendapatkan penjelasan bahwa pertanyaan tersebut adalah sia-sia, tetap saja pertanyaan yang sama selalu saja muncul. Sia-sia dalam arti, di dunia penerbangan bagi yang menggelutinya pasti akan sudah mengetahui bahwa factor penyebab kecelakaan tidak akan pernah bisa dijelaskan sampai tim penyelidik penyebab kecelakaan pesawat terbang selesai bekerja. Demikianpun, tetap saja akan bermunculan pertanyaan yang bahkan menginginkan analisa sementara atau kesimpulan awal tentang penyebab terjadinya kecelakaan.
Seiring dengan pertanyaan yang menggebu-gebu tentang sebab kecelakaan terjadi, maka dipastikan akan keluar pernyataan dari pihak yang berkepentingan dan berkait kepada kecelakaan tersebut penjelasan yang nyaris sudah membuat kita hafal semua. Pernyataan tersebut, biasanya keluar dari pihak maskapai penerbangan yang akan menyebutkan bahwa, pesawat terbang dalam keadaan laik terbang. Jam terbangnya masih cukup dalam siklus pemeliharaan yang juga masih jauh jatuh tempo nya. Crew atau Pilot yang menerbangkan pesawat adalah seorang Pilot senior, professional dan berpengalaman dengan ribuan jam terbang serta berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Begitulah, pertanyaan tentang penyebab kecelakaan dan pernyataan sesaat setelah kejadian aircraft accident sudah nyaris sebagai adegan berbalas pantun yang baku . Disisi lain, pada hakikatnya, bila kita ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat terbang, maka kita harus bersabar sampai tim penyelidik tentang penyebab kecelakaan pesawat terbang tersebut selesai dengan pekerjaannya.
Jump to Conclusion
Proses berbalas pantun yang muncul selalu, biasanya diikuti dengan beberapa pernytaan-pernyataan lainnya yang turut memeriahkan halaman-halaman mass media peliput kecelakaan. Pernyataan-pernyataan ini, kadang dan atau kerap menyesatkan sifatnya. Pernyataan-pernyataan ini dapat di kategorikan sebagai pernyataan yang “Jump to Conclusion” dan juga sebagai “Premature and False Statement” . Disebut demikian, karena biasanya pernyataan-pernyataan tersebut kurang didukung oleh fakta dan background knowledge tentang aviation terutama mengenai aircraft investigation yang cukup. Pernyataan-pernyataan yang sangat spekulatif sifatnya, apabila kita tidak menginginkan untuk menyebutnya sebagai “manipulatif” atau pernyataan yang naïf.
Beberapa contoh dari ini dapat dilihat berikut ini :
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memastikan adanya awan Cumulonimbus saat pesawat Sukhoi Superjet 100 mengalami insiden di kawasan Gunung Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/5/2012) lalu.
Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin, saat ditemui di Kantor Lapan, di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (15/5/2012).
Thomas mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan pihaknya, ternyata sebelum hingga saat terjadi kecelakaan SSJ 100, Gunung Salak terutup oleh awan cumolonimbus. Awan berwarna hitam pekat itu, umumnya memang kerap membahayakan penerbangan.
Dasar awan tersebut, kata Thomas, berada di ketinggian dua ribu kaki dan puncaknya berada pada ketinggian 37.436 kaki.
Karenanya ia menduga, pilot untuk menaikkan pesawat mengatasi awan mungkin dianggap terlalu tinggi dari 10 ribu kaki dan harus terbang melebihi 37 ribu kaki. “Pilihan untuk meminta izin menurunkan menjadi enam ribu kaki mungkin menjadi dasar pertimbangan. Tetapi menjadi terlambat ketika kurang memperhitungkan resiko yang lebih fatal dengan topografi daerah tersebut yang bergunung-gunung’’ kata Thomas.
Menurutnya awan pekat itu terjadi antara pukul 14.00 sampai pukul 15.00. “Saat itulah, pesawat itu hilang dan pada saat yang sama juga terdeteksi awan di Gunung Salak,” paparnya
Hal tersebut, kata Thomas berbeda dengan hasil analisis BMKG yang menyebutkan saat itu yang ada di Gunung Salak adalah awan biasa. Padahal baik Lapan maupun BMKG menggunakan data yang sama. Yakni, berdasarkan rekaman data cuaca dari stelit MTSAT milik Jepang. Satelit tersebut berfungsi mengamati keadaan atmosfer di wilayah Asia Pasifik namun tidak dapat menentukan jenis awan.
Sekedar untuk ilustrasi saja, sebelum terbang Pilot mengisi Flight Plan dan mengikuti briefing ramalan cuaca di briefing office serta memperoleh foto satelit yang memberikan informasi kondisi cuaca didaerah yang akan diterbanginya. Selain itu, pesawat SSJ-100 dilengkapi dengan weather radar yang mampu memberikan visualisasi dari keadaan cuaca (gambar awan aktif dan tidak aktif dalam warna yang jelas) disekitar pesawat sampai jarak lebih kurang 150 nm.
Contoh lainnya adalah sebagai berikut :
Beredar kabar, jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Jawa Barat, adalah lantaran disinyalir ada awak yang mengaktifkan handphone (HP). Sesuai prosedur standar penerbangan, penumpang diharuskan mematikan telepon genggam ketika pesawat hendak lepas landas. Namun, apa yang terjadi jika Anda mengaktifkan HP dan mengabaikan aturan tersebut? Boleh jadi, pertanyaan ini kerap muncul di benak setiap calon penumpang pesawat terbang. Jawabannya, bisa jadi tak terjadi apa-apa.
Tapi, seperti diutarakan Public Relation Manager XL Henry Wijayanto, mengabaikan regulasi yang ada dapat mengganggu penerbangan. Sistem instrumen pendaratan pesawat terbang yang mengkontrol jarak vertikal dan penyesuaian dengan landasan pacu, merupakan sistem paling sensitif yang ada di pesawat. Sistem navigasi pesawat, ternyata kerap menggunakan frekuensi yang bersebelahan dengan frekuensi radio.
Ada juga berita yang menyebutkan sebagai berikut :
Pemerintah Rusia mengatakan, pesawat Sukhoi Superjet-100 yang jatuh di lereng Gunung Salak, Jawa Barat, dalam kondisi baik. Menurut mereka, kecelakaan itu kemungkinan besar diakibatkan oleh faktor manusia. “Para ahli bilang semua perlengkapan berfungsi dengan baik,” kata Wakil Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin, bagaimana dikutip Ria Novosti, Kamis 10 Mei 2012. “Dengan kata lain, ini disebabkan oleh kesalahan manusia.”
Menurut Rogozin, pesawat yang mulai dibuat pada 2007 ini merupakan pesawat kompetitif dan memiliki masa depan cerah, meski mengalami kecelakaan yang tragis. Pesawat itu hilang kontak pada Rabu 9 Mei 2012 saat melakukan joy flight. Kontak terakhir dengan menara kontrol terjadi pada 14.33 WIB. Saat itu pilot meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki.
Namun, nahas. burung besi buatan Rusia itu menabrak tebing di Puncak Gunung Salak I yang memiliki ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut atau sekitar 7.253 kaki. Pesawat itu terhempas pada ketinggian 5.800 kaki.
Disamping itu, menarik juga dilihat respon di media asing yang juga memuat tentang kesimpulan yang spekulatif, karena KNKT belum selesai menyelidiki penyebab kecelakaan tersebut. Ini adalah berita yang dimuat di The Telegraph (UK) June 7, 2012. Tulisa ini menjadi menarik karena dimuat dalam media yang selama ini dikenal dengan reputasinya yang cukup baik. Isi berita selengkapnya adalah sebagai berikut :
Russian Plane ‘Downed after Pilot’s Attempts at Aerobatics’
The Russian passenger jet that crashed in Indonesia last month may have been downed by the pilot’s attempts at aerobatics in mountainous terrain, according to reports.
(By Roland Oliphant in Moscow)
Information leaked to a Russian newspaper claims that recordings from the jet’s “black box” flight recorder shows that both the automatic avoidance system and another member of the crew tried to dissuade the pilot from a risky maneuver minutes before the jet collided with the side of a volcano in Indonesia, killing all 45 people on board.
The newspaper Moskovsky Komsomolets said it had been led to understand that at some point in the recording a crew member is heard to shout something along the lines of “commander, we can’t go there, there’s a mountain,” only to be ignored by pilot Alexander Yablontzev.
But the paper said that was not a direct quotation and said that the crew members exact words remain unknown. The source who provided the information demanded anonymity because it is forbidden to leak details of ongoing air-crash investigations. A verdict of pilot error would be the most convenient outcome for both makers Sukhoi and the Russian government because it would dispel concerns about the aircraft’s safety.
Aviation experts have warned that if the investigation finds that technical failure caused the May 9 crash near Jakarta, the Superjet could be commercially doomed. Mr Yablontsev, 57, was a highly qualified test-pilot with over 10,000 flying hours under his belt and had intimate knowledge of the Superjet, having flown it since its maiden flight in 2008. But investigators have been puzzled over why he requested permission to descend from 3000 to 1,800 meters minutes before the -crash – an extremely dangerous manoeuvre in such a mountainous area. Experts who reconstructed the flight told the paper the aircraft had narrowly missed the mountain twice already before it crashed.
The Sukhoi Superjet is the first new aircraft to be built in Russia since the collapse of the Soviet Union. It is designed to reboot Russia’s decayed aviation industry by cornering the market for relatively small, medium-range jets. Only a handful of Superjets are currently in service, with Armenia’s Armavia and Russia’s flag carrier Aeroflot.
It emerged in March that Aeroflot has been billing Sukhoi for losses incurred by downtime caused by technical problems with the aircraft.
And in May the Russian airline had to fire an air hostess who gleefully tweeted about the tragedy.
“Huh? Did a SuperJet crash? Hahaha! This aircraft sucks, it’s a pity it wasn’t one of Aeroflot’s, that would be one less,” Ekaterina Solovyeva wrote shortly after the crash. Last month another tabloid reported that the Superjet may have crashed after the US Airforce fired a “special beam” at the aircraft to send its instruments haywire.
Bisnis miliaran dolar.
Itulah tadi sekedar gambaran sekilas beberapa contoh dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya ”Jump to Conclusion” dan atau ”Premature and False Statement”. Masih banyak lagi sebenarnya pernyataan-pernyataan yang selalu saja muncul dalam hiruk pikuknya pasca kecelakaan pesawat terbang. Beberapa lainnya bahkan mengubung-hubungkan dengan masalah mistis dan tachyul dari keberadaan gunung salak yang konon angker dan sudah sering memakan korban kecelakaan pesawat. Kesemua itu menjadi wajar dan biasa-biasa saja, karena seperti pernah diulas dalam salah satu majalah penerbangan internasional yang mengatakan bahwa : ”Aviation is a multi billion dollar business” . Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dalam masalah penerbangan, dan hal tersebut dapat dilihat atau terwakili dari begitu banyak respon yang muncul disaat terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Kepentingan disini adalah termasuk juga mengenai persaingan bisnis dari bidang usaha yang sangat bergengsi dan penuh dengan hal-hal yang ”glamour” dan ”luxurious”.
Khusus mengenai pesawat SSJ-100 ini, hal tersebut menjadi lebih menarik lagi, karena SSJ-100 adalah sebuah pesawat produk kebanggaan pemerintah Rusia yang berada dibawah payung kerjasama jangka panjang dengan pihak Boeing, Amerika Serikat. Tidak itu saja, ternyata dalam pesawat SSJ-100 ini banyak digunakan komponen Aviation Electronic, Mesin Pesawat dan beberapa system pesawat modern seperti perangkat FBY, Fly By Wire yang dikerjasamakan dengan beberapa perusahaan terkenal di Eropa. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan yang sama dengan perusahaan mitra kerja dari Airbus. Itu sebabnya, sertifikasi kelayakan terbang pesawat ini dikeluarkan oleh EASA, Eropean Aviation Safety Agency. Disinilah letak istimewanya produk Rusia yang satu ini, SSJ-100 , yang ternyata telah menyatukan musuh bebuyutan pasar global dibidang produksi pesawat terbang Boeing dan Airbus kedalam satu proyek spektakuler, pesawat terbang Jet regional bernama Sukhoi Superjet-100. Sekali lagi, inilah bisnis miliaran dolar yang terkadang memunculkan banyak sekali isu, gosip, persaingan dan bahkan misteri yang selalu saja hadir dimana-mana. Kesemuanya itu, selain merupakan refleksi dari kepentingan begitu banyak pihak ,tentu saja akan kerap muncul dalam bentuknya yang hingar bingar, justru disaat terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Aircraft Investigation.
Kembali kepada topik masalah kecelakaan pesawat terbang. Dalam satu kecelakaan pesawat terbang yang fatal, dalam arti pesawatnya ”total loss”, alias hancur lebur dan tidak terdapat kru dan penumpang yang selamat, maka sebenarnya kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sebabnya, dalam mengumumkan sebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang, selalu atau lajimnya, digunakan istilah ”the most probable cause”, atau sebab yang paling mungkin. Penyebab yang paling mungkin ini hanya akan dapat diperoleh dengan baik, melalui ”black box” atau kotak hitam. Dengan kotak hitam inilah, maka proses penyelidikan dari faktor penyebab terjadinya kecelakaan dimungkinkan untuk diketahui. Inilah yang menyebabkan, pada setiap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, maka Tim SAR, selain bertugas semaksimal mungkin untuk dapat menyelamatkan korban yang masih bisa diselamatkan, atau mengevakuasinya dari lokasi kecelakaan, juga ditugaskan untuk turut mencari kotak hitam dari pesawat tersebut.
Black Box.
Black Box atau kotak hitam adalah peralatan yang diletakkan dibagian pesawat yang diperkirakan paling sedikit mengalami kerusakan apabila terjadi kecelakaan. Biasanya kotak hitam ini diletakkan dibagian ekor dari pesawat terbang. Dengan demikian maka dapat diharapkan kotak hitam dapat relatif utuh, bila pesawat terbang mengalami kecelakaan.
Black Box terdiri dari dua bagian penting yaitu CVR atau Cockpit Voice Recorder dan FDR atau Flight Data Recorder. Fungsi dari CVR sendiri adalah untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara atau air traffic control (ATC).
Sedangkan FDR, berfungsi merekam data-data penerbangan 30 menit terakhir sebelum terjadinya kecelakaan. Walaupun dinamakan kotak hitam tetapi sesungguhnya kotak tersebut tidak berwarna hitam melainkan berwarna jingga atau oranye. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pencarian jika pesawat terbang mengalami kecelakaan.
Dengan ditemukannya Black Box, tidak berarti otomatis kita dapat segera mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Data yang ada baik di CVR dan di FDR, harus bisa dibaca terlebih dahulu dengan menggunakan peralatan khusus. Hasil dari bacaan tersebut , masih perlu dibahas, dianalisis dan didiskusikan oleh para ahli yang berkompeten sebelum kemudian dicapai kesimpulan bersama tentang apa yang akan dikatakan sebagai ”the most probable cause” dari kecelakaan pesawat terbang tersebut. Selain melibatkan banyak ahli sesuai dengan kompetensinya, biasanya pihak pabrik pembuat pesawat diikutsertakan dalam penyelidikan ini. Demikian pula dengan Maskapai Penerbangan terkait serta tentu saja di koordinasikan oleh otoritas penerbangan yang berwenang.
Otoritas Penerbangan.
Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, secara otomatis menjadi ”contracting state” dari ICAO, International Civil Aviation Organization. Semua ”contracting state” dari ICAO, harus menunjuk satu institusi resmi dinegaranya yang harus berperan sebagai ”National Aviation Authority” yang berwenang mengatur seluruh aspek dari penerbangan sipil di negaranya. Biasanya adalah Departemen Transportasi, di Indonesia lembaga tersebut adalah Kementrian Perhubungan. Khusus dalam hal kecelakaan pesawat terbang, harus ditunjuk pula satu institusi atau badan hukum yang independent yang diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang dan mengumumkannya. Di Amerika, badan ini dikenal sebagai NTSB, National Transportation Safety Board, dan di Indonesia kita kenal KNKT atau Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi. Badan inilah satu-satunya institusi resmi pemerintah Republik Indonesia yang memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan, bila terjadi kecelakaan pesawat terbang dan atau juga kecelakaan dari moda transportasi lainnya.
Dalam kondisi dan situasi yang darurat sifatnya, seperti terjadi kecelakaan pesawat terbang yang berulang-ulang dalam waktu yang relatif pendek, maka Presiden berhak membentuk satu institusi yang bersifat temporer untuk dapat mengatasi dengan cepat masalah tersebut. Hal ini terjadi di tahun 2007, dimana begitu sering terjadi kecelakaan pesawat terbang, Presiden Republik Indonesia membentuk Timnas EKKT, Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Saat itu tim dipimpin oleh Chappy Hakim, Marsekal TNI Purn. Yang beranggotakan enam orang tenaga ahli profesional dibidangnya masing-masing. Mereka adalah, Prof Dr Priyatna Abdurrasyid. SH , Prof. Ir M. Diran, DR Budhi Mulyawan, Ir. Jusman SD, Tengku Burhanudin dan Laksamana Muda TNI Purn. Yayun.
Memetik Hikmah dari Musibah
Berita terakhir yang dilansir pada tanggal 30 Mei yang lalu menyebutkan bahwa FDR dari SSJ—100 telah berhasil ditemukan. Dengan demikian, maka apabila kita hendak mengetahui apa gerangan yang menyebabkan pesawat SSJ-100 telah menabrak gunung Salak, kiranya sangat bijaksana kalau kita menunggu saja dengan sabar, hasil penyelidikan yang tengah dilakukan oleh KNKT. Mungkin akan jauh lebih baik bagi kita semua untuk berusaha memperoleh hikmah dari kejadian tersebut.
Untuk menuju kesana, marilah kita menjenguk terlebih dahulu, dimana gerangan kita punya National Aviation Industry itu tengah berada. Sekedar mengingatkan kembali saja bahwa sejak tanggal 16 April di tahun 2007 dunia penerbangan Negara Kesatuan Republik Indonesia diletakkan pada posisi Kategori 2 oleh FAA, Federal Aviation Administration satu institusi penguasa administrasi penerbangan Amerika yang memiliki kredibilitas dan pengaruh yang sangat kuat di pentas penerbangan global. Maklumat yang melatar belakangi penempatan tersebut dicantumkan dalam sebuah dokumen yang berjudul AOC – 12 – 07.
AOC adalah singkatan dari Announcement Of FAA Category. FAA, dalam hal ini hanya mengenal 2 kategori saja, yaitu kategori 1 dan kategori 2. Nah, binatang apa gerangan yang dimaksud oleh FAA berkait dengan kategori 1 dan kategori 2 itu ?
Berikut ini adalah penjelasannya. Yang dimaksud dengan
kategori 1 oleh FAA adalah :
Does Comply with ICAO, International Civil Aviation Organization Standards. A country’s civil aviation authority has been assessed by FAA inspectors and has been found to license and oversee air carriers in accordance with ICAO aviation safety standards
Sedangkan Kategori 2 adalah :
Does Not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that it does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance with the minimum safety oversight standards established by the ICAO.
Jadi jelas sekali, dalam hal ini, bahwa kita dinilai oleh pihak FAA, sebagai Negara yang tidak atau belum memenuhi standar minimum keamanan terbang Internasional seperti yang tercantum dalam regulasi dari ICAO. Indonesia sekali lagi sebagai Negara anggota PBB, otomatis menjadi , tidak hanya sekedar “member” akan tetapi juga sebagai“contracting state” dari organisasi yang bernama ICAO. Mungkin perlu juga saya beritakan disini, agar kita semua tidak merasa terisolasi berada di kategori 2, bahwa ada beberapa Negara juga yang senasib dan sepenanggungan dengan kita, yaitu antara lain : Guyana , Nauru , Philipina , Serbia , Ukraina , Zimbabwe dan Congo . Dan sekedar sebagai sedikit tambahan pengetahuan saja kiranya perlu diketahui, bahwa ternyata Indonesia sudah berada dibawah kelasnya dari negara-negara yang berada di kategori 1 seperti Suriname, Nigeria, Singapura, Brunei, Malaysia, dan bahkan negara sekecil Fiji. Agak menyedihkan memang, realita ini.
Penjelasan lebih lanjut dari masalah kategorisasi ini dapat diuraikan sebagai berikut : Sebuah Negara yang diletakkan posisinya pada kategori 2, sebenarnya adalah sebuah aplikasi dari rating yang ditentukan sebagai hasil sebuah assessment yang menjumpai masalah-masalah prinsip dari keamanan terbang. Misalnya saja kurang lengkapnya hukum dan regulasi serta aturan tentang safety yang diberlakukan kepada operator, dalam hal ini maskapai penerbangan dibawah otoritasnya. Beberapa catatan menunjukkan kita masih kurang memiliki teknisi berpengalaman, demikian pula mengenai format standar organisasi yang dibutuhkan untuk aneka perijinan berkait dengan pengoperasian penerbangan sipil. Kurangnya inspektor yang qualified dan juga kelengkapan dokumen serta aturan spesifik mengenai pengelolaan operasi penerbangan.
Indonesia, di tahun 2007 yang lalu, sebagai respon dunia internasional melihat begitu banyaknya terjadi “aircraft accident” di negeri ini, dalam pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh ICAO dalam satu program bernama ICAO USOAP (Universal Safety Oversight Audit Program) and Safety Performance, telah ditemukan lebih dari 120 item yang tidak memenuhi International Safety Standard, yang termasuk didalamnya antara lain adalah mengenai hukum penerbangan; standar organisasi dan sistem remunerasi para inspektor penerbangan di Kementrian Perhubungan; terlalu mudahnya proses perijinan serta lemahnya penegakkan hukum atau Law Enforcement terhadap para operator yang melanggar aturan CASR, Civil Aviation Safety Regulation.
Kelemahan di ATC
Salah satu isu yang mencuat dari kejadian kecelakaan pesawat sukhoi superjet 100 adalah tentang peran ATS atau Air Traffic Control Services. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa pihak ATC memberikan ijin saat Sukhoi meminta untuk turun dari 10.000 ft ke ketinggian 6000 ft padahal terdapat gunung salak disana yang ketinggiannya mencapai 7200 ft. Juga ada beberapa factor yang dipertanyakan banyak pihak mengenai ATC ini. Salah satu gambaran yang dapat diketahui, bisa dibaca dalam kutipan berita dibawah ini :
Masih ada kekurangan di sana-sini terkait pengelolaan udara di Indonesia . Kekurangan ini tidak serta merta muncul melainkan akumulasi dari berbagai kekurangan dari masa lalu yang menumpuk sedikit demi sedikit.
“Upaya penambahan petugas sudah dilakukan Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, namun butuh waktu. Filosofinya itu bahwa kekurangan yang ada sekarang dalam pengelolaan ruang udara di Indonesia, merupakan akumulasi dari beberapa tahun yang lalu. Kita tidak wise kalau hanya melimpahkan kesalahan tentang kekurangan ini hanya pada yang berkuasa sekarang,” ujar Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association (IATCA), I Gusti Ketut Susila.
Dikatakan dia, saat ini pihak AP I dan AP II sudah banyak melakukan upaya perbaikan. Pembenahan peralatan dan penambahan sumber daya manusia (SDM) sudah dilakukan, namun tentu butuh waktu untuk menjadikan ATC lepas dari berbagai kekurangan. Jakarta 15-5-2012 (detik.com) Sekedar sebagai catatan, konon sebelum ini, memang pejabat pimpinan dari AP 1 dan AP 2, terdiri dari mereka yang tidak berlatar belakang Aviation.
Intinya adalah, memang benar bahwa kini ATC kita tengah bermasalah. Di Tahun 2012 ini sebenarnya, dengan mengacu kepada Undang-undang Penerbangan no 1 tahun 2009, lembaga Air Traffic Control Services di Indonesia sudah harus berada dalam satu wadah yang terintegrasi. Selama ini jasa layanan Air Traffic kita tersebar dibanyak institusi. Sebagian besar berada dibawah Angkasa Pura 1 dan sebagian lainnya berada di bawah Angkasa Pura 2. Beberapa lainnya berada dibawah pengelolaan Kementrian Perhubungan dan badan institusi lainnya. Khusus mengenai masalah ATC ini adalah juga merupakan salah satu temuan ICAO di tahun 2007. Inilah yang antara lain menyebabkan kita dianggap tidak memenuhi syarat minimum requirement dari International Safety Standard sesuai regulasi International Civil Aviation Organization. ATC harus dilola dalam satu wadah yang istilahnya adalah ATC Services Single Provider. ATC harus keluar dari AP 1 dan AP 2 dan institusi lainnya dan dimasukkan dalam satu wadah organisasi yang tersendiri. Diseluruh dunia, standar pelayanan ATC memang sudah demikian adanya. Pelayanan ATC serta pelayanan navigasi penerbangan dan pelayanan di terminal dan atau di Ariport seharusnya dipisahkan. Tidak dicampur adukkan menjadi satu. Inilah sebenarnya salah satu cikal bakal dari kondisi sekarang ini yang membuat ATC kita berada dalam kesulitan yang sangat serius.
Terbang di Cengkareng menjadi Stress, demikian banyak diutarakan para Pilot kita. Sekedar contoh sederhana saja, kini terbang dari Cengkareng, setelah “start engine“, rata-rata pesawat harus antri 30 sampai 45 bahkan 1 jam untuk baru bisa mendapatkan kesempatan “take-off”. Tidak ada bedanya dengan “incoming aircraft”, pesawat yang datang ke Cengkareng harus antri berlapis-lapis pada hanya dua titik kedatangan/keberangkatan saja yang tersedia. Beberapa hari lalu, pesawat dari Malang ke Cengkareng, yang waktu normalnya hanya membutuhkan waktu 1 jam dan 5 atau 10 menit saja, bisa memakan waktu sampai 1 jam 45 menit ! Harap dimaklumi karena pertumbuhan traffic kini memang telah mencapai angka yang fantastis. Satu hari sudah melebihi angka 1000 lebih pergerakan pesawat. Dan itu semua dilayani oleh jumlah sdm yang sangat terbatas dan peralatan yang sudah ketinggalan jaman.
JAATS (Jakarta Automated Air Traffic Control System)di Cengkareng umurnya sudah 15 tahun. Ditambah lagi informasi meteorology di Cengkareng belum terintegrasi dalam pelayanan ATC, sehingga dalam banyak hal justru menyulitkan Pilot sekaligus juga sang Controller sendiri. Dari kesemua itu, kiranya kini adalah saat yang tepat untuk segera mengambil tindakan tegas, mendirikan lembaga independen untuk pelayanan Air Traffic yang terpisah dari pengelolaan airport. Sudah waktunya ATC berdiri sendiri sebagai Single Provider demi keselamatan kita bersama. Janganlah ditunda-tunda lagi dengan alasan yang sangat tidak relevan berkait penyelenggaraan operasi penerbangan yang aman. Apa sebenarnya inti masalah dari itu semua? Dalam salah satu rapat staf di hari minggu yang cerah di ruang rapat Meneg BUMN, Dahlan Iskan pernah bertanya kepada pimpinan AP 1 dan AP 2 apakah sekarang sudah rela melepaskan ATC keluar dari Angkasa Pura? Jawaban inilah yang sebenarnya ditunggu banyak orang, ditunggu oleh penyelenggaraan keamanan dan kenyamanan terbang di Indonesia.
Ditunggu agar terbang di Cengkareng tidak stress lagi ! Ditunggu, karena bila ingin memperoleh tingkat keamanan yang sesuai dengan standar Internasional, maka jangan lagi dicampur-adukkan pengelolaan Bandara dengan pengelolaan Lalu Lintas Udara.
Menuju Langkah Perbaikan
Dengan pengelolaan yang terpadu, dalam wadah Single Provider, maka akan banyak hal yang dapat dikerjakan dalam konteks perbaikan menuju peningkatan kualitas Air Traffic Management. Ringt Man On the Right Place, akan lebih mudah diterapkan. Pelayanan akan juga menjadi lebih mudah dibuat menuju standar yang dipersyaratkan dan otomatis akan memudahkan pula dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanannya. Kaderisasi dan pembinaan sdm termasuk perhatian terhadap kesejahteraan dalam tuntutan pemenuhan tugas yang tingkat stress nya cukup tinggi akan menjadi lebih mudah untuk dilaksanakan. Demikian pula dalam pengadaan dan penyempurnaan hardware atau peralatan yang dibutuhkan pasti , selain lebih mudah juga akan menjadi standar dan atau minimal kompatibel.
Lebih jauh lagi, mengenai ATC ini, bila kita tidak dengan segera dan serius menanganinya, maka kelak pengaturan lalu lintas udara dinegeri tercinta ini akan diambil alih oleh ICAO. Atas nama keamanan terbang, maka kolom udara wilayah kedaulatan ibu Pertiwi akan diserahkan pengelolaannya kepada Negara tetangga. Dalam mengantisipasi pengelolaan lalulintas udara yang modern dan berteknologi tinggi, saat ini Thailand, Singapura dan Australia tengah membangun system canggih yang dapat melakukan pengaturan lalu lintas udara, tidak hanya dengan peralatan yang Hitech, akan tetapi juga dengan menerapkan manajemen skill yang tinggi. Manajemen yang memberikan derajat keamanan terbang yang sangat dapat diandalkan. Bila hal ini sampai terjadi maka kita harus bersiap untuk terbang dinegeri sendiri dengan pengaturan yang dilakukan oleh negara tetangga. Dapatkah kita membayangkan, saat terbang dari Jakarta menuju Surabaya, maka ijinnya harus diminta terlebih dahulu ke Singapura, Thailand atau Australia? Terasa Aneh dan sepertinya tidak mungkin terjadi.
Tetapi lihat ini : dalam konteks yang ”kecil”, hal tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama , yaitu di daerah selat Malaka, dimana kita terbang diwilayah udara kedaulatan sendiri, namun harus patuh dan berada dibawah kekuasaan otoritas penerbangan Singapura. Untuk menghidupkan mesin saja di Batam, kita harus menunggu ijin dari otoritas penerbangan Singapura ! Belum lagi bila kita membahas dalam aspek pengelolaan pertahanan negara, maka kesemuanya itu menjadi sangat menyedihkan, jauh lebih parah dari sekedar prihatin !
Kesimpulannya, adalah mari lakukan introspeksi, memperbaiki ATC kita serta sektor-sektor lainnya dalam konteks menuju persyaratan keamanan terbang internasional. Dengan demikian kita dapat menuju Kategori 1 FAA yang mengacu kepada standar regulasi ICAO. Masalahnya adalah, bila terjadi kecelakaan pesawat terbang di Indonesia, dengan status kita yang berada di kategori 2 FAA, maka dengan amat mudah , kecelakaan tersebut dapat disebut sebagai refleksi atau konfirmasi dari status RI yang berada di kategori 2 itu. Sekali lagi Kategori 2 FAA, mengandung makna, tidak memenuhi syarat keselamatan terbang sebagai yang tercantum dalam regulasi ICAO. Lebih tegas lagi, Negara yang tidak memiliki kemampuan menyelenggarakan penerbangan sipil dengan aman sesuai standar penerbangan internasional.
Kecelakaan Sukhoi telah terjadi, kini kita hanya dapat menunggu dengan sabar hasil penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT. Apapun hasilnya, kiranya akan lebih bermanfaat bila kita dapat memetik hikmah dari musibah yang terjadi, demi perbaikan dunia penerbangan kita, dunia penerbangan Republik Indonesia tercinta.
Terakhir, dalam proses penyempurnaan dibidang aviation yang berteknologi tinggi, kerap pihak terkait tidak menyadari bahwa mereka tengah berhadapan dengan masalah besar yang sangat serius sifatnya. Dengan demikian maka menjadi logis bila hal seperti itu akan membuat sia-sia, bila kita hanya akan menanti datangnya tindakan perbaikan dalam masalah tersebut. Doktor Judith Orasanu, peneliti NASA, yang juga banyak bergelut dalam bidang Aircraft Investigation menjelaskan tentang hal ini dengan satu pernyataannya yang sangat terkenal sebagai berikut :
”You can’t solve a problem, unless you recognize you’ve got a problem, and understand the nature of the problem”
Sekian dan terimakasih,
Jakarta 30 Juni 2012
Chappy Hakim
3 Comments
Jadi ingat larangan terbang oleh UE dimana yang ditegor pertama adalah otoritas penerbangannya bukan maskapainya. dalam hal kelalaian atc sepertinya juga akibat lemahnya pengawasan pihak otoritas penerbangan RI.
terimakasih gan infonya dan semoga bermanfaat
makasih bos infonya dan salam sukses