Baru-baru ini tersebar berita tentang penerbangan yang delay. Bahkan Lion Air diberitakan delay sampai dengan 12 jam ! Konon hal tersebut disebabkan ban serep yang tertahan di Bea Cukai. Pihak Bea Cukai pun kemudian menjelaskan bahwa tertahannya “ban-serep” itu adalah disebabkan alasan administratif, dimana dokumen impor menyebutkan “ban-baru” tetapi kenyataannya peti kemas berisi ban-bekas. Masalahnya adalah untuk impor ban-bekas ada aturannya tersendiri.
Urusan ini sebenarnya sudah tidak masuk lagi dalam domainnya manajemen kesiapan pesawat-terbang di lapangan. Belakangan bahkan terdengar pihak Kemhub sendiri kabarnya turun tangan ikut membantu agar ban-serep Lion Air tersebut dapat segera dikeluarkan. Terlepas dari delay 12 jam yang konon katanya disebabkan oleh kekurangan ban-serep, sebenarnya kasus penerbangan yang delay sudah menjadi peristiwa sehari-hari yang dihadapi oleh semua pengguna jasa angkutan udara di Indonesia. Dipastikan, delay yang terjadi tidaklah sesederhana mengenai ban-serep yang terlambat datang, dan bila tidak ada tindakan tegas dan bersifat fundamental yang diambil, maka delay dalam jadwal penerbangan kita semakin hari akan semakin buruk.
Pemerintah dan Manajemen Maskapai Penerbangan, harusnya bertanggungjawab untuk dapat menjelaskan hal itu semua kepada masyarakat, terutama mereka para pengguna jasa angkutan udara.
Persoalan mendasar dalam dunia penerbangan nasional saat ini adalah terdapatnya kesenjangan yang cukup jauh, dari jumlah Pesawat Terbang dan Maskapai serta ijin rute penerbangan yang dikeluarkan dengan ketersediaan sdm (pilot dan teknisi) penerbangan dan infrastruktur pendukung operasi penerbangan. Hal ini adalah juga merupakan salah satu yang menyebabkan negeri ini sampai sekarang belum berhasil “comply”, memenuhi persyaratan keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO, International Civil Aviation Organization. Singkat kata , dunia penerbangan kita memang tengah berhadapan dengan masalah yang sangat serius. Sangat serius dalam pengertian “kredibiltas” negeri ini yang pada dasarnya tengah menjadi taruhan di pentas global.
Untuk dapat segera mengatasi masalah ini, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, dengan catatan harus ada kemauan yang kuat dari pihak regulator dalam hal ini Kementrian Perhubungan. Yang pertama harus dilakukan adalah mengajak untuk duduk bersama seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan operasi penerbangan di Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh, regulator harus dapat menunjukkan gaya bekerja yang lebih transparan dalam seluruh aspek berkait dengan pengaturan, terutama dalam hal perijinan yang dibutuhkan dan harus dilaksanakan oleh seluruh operator. Transparan disini harus termasuk pula perlakuan yang adil terhadap semua operator.
Dengan keterbatasan yang ada Kementrian Perhubungan seharusnya berkonsentrasi kepada tugas-tugas pokoknya saja yaitu fokus terlebih dahulu dalam hal perijinan, pengawasan dan penegakkan hukum. Kemhub seyogyanya tidak dibebani dengan tugas-tugas lain seperti membantu Maskapai Penerbangan dalam hal impor ban-bekas misalnya. Karena hal tersebut adalah tugas dari manajemen Maskapai Penerbangan untuk mengerjakannya. Masalahnya adalah, Kemhub tidak bisa hanya membantu satu atau dua maskapai saja, tetapi sekali lagi harus berlaku adil dengan juga membantu maskapai-maskapai lainnya. Dengan ini maka dipastikan Kemhub tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri.
Dengan hanya fokus kepada tugas pokoknya, Kemhub yang harus mampu tampil dengan kinerja transparan, sehingga dapat diharapkan akan lebih mudah mengkoordinir seluruh stake-holder penerbangan nasional untuk mencari solusi tepat dalam masalah delay penerbangan ini. Langkah berikutnya adalah segera konsolidasi dan menginventarisasi permasalahan yang dihadapi untuk dapat menyusun skala prioritas yang harus dikerjakan bersama.
Beberapa hal penting diantaranya, mungkin yang akan menyangkut pemberhentian sementara ijin rute terbang baru. Kemudian juga, bila memang diperlukan, tidak ragu untuk mengurangi beberapa diantaranya (ijin rute) agar kapasitas penerbangan dapat disesuaikan dengan kondisi sdm dan infrastruktur yang tersedia. Berikutnya adalah berkoordinasi dengan instansi lain yang terkait untuk segera mencari solusi yang sifatnya lebih strategis dan segera menyusun kalender kegiatan yang jelas dan masuk akal. Diantaranya, mungkin sudah harus memikirkan membangun Internasional Airport yang baru untuk mampu menampung lonjakan penumpang belakangan ini. Paralel dengan itu untuk solusi jangka pendek, kiranya sudah harus dimulai membangun tambahan runway dan terminal tambahan di Soekarno Hatta.
Pengalihan sementara untuk menggunakan Halim Perdanakusuma dengan acuan Heathrow dan Gatwick di London, walaupun sangat tidak layak dilakukan, kiranya dapat juga dikerjakan dengan beberapa catatan. Halim, dapat saja digunakan sementara untuk menampung kelebihan kapasitas Soekarno Hatta, akan tetapi dengan syarat, harus dibangun taxi-way baru disebelah Runway yang ada. Lahan disekitar Runway Halim, masih tersedia cukup untuk pengembangan ini. Disamping itu Runway Halim juga harus diperpanjang dan diperkeras terlebih dahulu agar memiliki kemampuan untuk digunakan pesawat-terbang Jumbo-Jet , take off dan landing dengan maksimum berat pesawat (Maksimum Take Off Gross Weight) Dengan demikian penggunaan Halim tidak akan terlalu mengganggu keberadaan satuan dan skadron Angkatan Udara yang ber home-base disitu.
Masih ada beberapa langkah lainnya yang dapat dengan segera mengakhiri masalah delay pesawat yang tengah kita hadapi bersama ini. Kesemuanya, memang harus dicermati dengan seksama terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Akan tetapi dengan kejadian delay yang sudah mencapai angka 12 jam, maka kiranya kita tidak mempunyai waktu yang cukup untuk bisa segera keluar dari masalah yang sangat berbahaya tersebut.
Tindakan segera, kiranya harus dilakukan dengan tanpa dapat ditawar-tawar lagi ! Agar tidak terjebak dalam “perselisihan” berkepanjangan dan heboh tanpa aksi seperti yang selalu saja terjadi dinegeri ini, maka tuntutannya adalah: “Segera duduk bersama dan Go !”
Semoga Tuhan YME memberkati kita semua sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Amin YRA.
Chappy Hakim,
Sumber : Koran Sindo tanggal 26 Oktober 2013, hal.10
5 Comments
Bpk Chappy yth, menurut Bpk, apakah aman, bila pesawat terbang memakai ban bekas / vulkanisir?
Sebenarnya dalam penerbangan tidak ada istilah ban vulkanisir. Yang ada ban rekondisi, mirip2 vulkanisir, tetapi bedanya adalah untuk rekondisi ini sudah ada ketentuan standar tentang spesifikasinya, jadi sepanjang ketentuan tersebut dipenuhi, maka tidak ada masalah.
Pak, saya coba utarakan ide saja, gimana kalo 2 atau 3 wide body diganti 1 heavy body aircraft. Sudah saatnya Indonesia beralih Dari bus bus ”kopaja” menjadi bus bus yg lebih besar, lumayan efisiensi ground time Dan efektif ngangkut penumpang lebih banyak.
Ide bagus. masalahnya adalah, tidak semua airport kita memenuhi syarat untuk melayani take off dan landing pesawat yang gede2. Disamping itu kapasitas airport yang sebagian besar sudah over kapasitas, tidak memungkinkan bagi perkembangan untuk pelayanan pesawat yang lebih besar lagi. (membutuhkan banyak peralatan yg berbeda dibanding peralatan yg digunakan untuk pesawat2 yg kecil/medium, spt al check in counter desk, ruang tunggu, fasilitas bagasi, gerobak barang, dll)
Iya pak, investnya gede 😀
Sekedar perbandingan saja pak, di makasar ada jam-jam dimana kapasitas ruang tunggu, parkir pesawat, sampai kapasitas takeoff landing sudah melebihi standar kapasitas yg dianjurkan. Namun ada pula jam-jam yg kosong dan masih bisa dimanfaatkan. Apakah di cengkareng seperti itu juga pak? Klo setiap flight2 yg jago delay di jam2 padat itu bisa digusur ke jam2 kosong otomatis akan mengurangi kepadatan dan sekaligus mengurangi ke-Amburadulan penerbangan di cengkareng khususnya dan Indonesia secara umum. Maaf pak ini cuma pandangan cetek saya 🙂