Dalam lika liku perjalanan panjang sebuah bangsa menuju cita-citanya akan selalu berhadapan dengan dua aspek penting yang setiap saat harus menjadi pertimbangan. Kedua aspek penting tersebut adalah faktor National Security dan National Prosperity. Seberapa besar prosentasi porsi dari perhatian sebuah pemerintahan dalam bekerja yang ditujukan kepada aspek National Security dan seberapa besar prosentasi lainnya yang diberikan pada aspek National Prosperity, maka hal itulah yang dominan dikenal sebagai basis dari National Policy dan atau National Interest.
Dalam konteks mengelola sistem pertahanan sebuah negara, maka pada umumnya di abad ini seluruh pemerintahan telah dipaksa untuk menyandarkan diri pada dua hal yang sangat prinsip yaitu tentang High Technology dan Total Defence. Mengacu atau fokus kepada kemajuan teknologi dan Pertahanan Total atau Semesta. Sangat tidak mungkin sistem pertahanan sebuah negara dikelola dengan mengabaikan kemajuan teknologi yang demikian cepat berkembang terutama sekali sejak berakhirnya perang dunia kedua. Demikian pula sangat mustahil sebuah sistem pertahanan dapat terselenggara dengan efektif tanpa pengerahan secara total dari kekuatan nasional yang dimilikinya.
Perang menjadi total sifatnya, terutama sekali sejak domain udara dengan balon dan kemudian pesawat terbang serta persenjataan canggih lainnya mulai dipergunakan sebagai unsur kekuatan di medan perang. Ketika perang hanya berlangsung di daratan dan perairan saja, maka dikenal istilah garis depan dan garis belakang pertempuran. Namun setelah udara sudah berkembang menjadi panggung perang juga, terutama untuk menyerang, maka lenyaplah terminologi garis depan dan garis belakang serta datang menjelma istilah perang total.
Perang yang sifatnya total, maka dengan sendirinya sistem pertahanan harus digelar pula dalam ujudnya yang total. Maka dikenallah istilah Total War dan Total Defence atau perang semesta dan pertahanan semesta. Demikianlah, dengan kemajuan teknologi maka keempat domain yaitu darat, laut, udara dan ruang angkasa telah menjadi ajang medan laga peperangan. Terakhir, bahkan sekarang ini kita tengah berhadapan pula dengan tantangan maha dahsyat yang datang menjelang dari wilayah atau domain ke 5 dikenal sebagai “The Cyber World”. Berbeda dengan ke 4 domain sebelumnya yang terkotak kotak dalam sektornya masing masing, maka Cyber World berkemampuan menembus sekat sekat dari semua domain.
Berakhirnya perang dunia kedua adalah sebuah contoh dari maha ampuhnya sistem senjata udara berujud pesawat terbang yang dapat menjatuhkan senjata pemusnah masal berupa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Maka sejak itulah hampir seluruh negara di permukaan bumi ini kemudian berkonsentrasi kepada bagaimana mengelola kekuatan udara nasional masing-masing untuk berperan dalam sistem pertahanan keamanan negaranya. Wilayah Udara Nasional telah menempatkan dirinya pada posisi yang sangat strategis terutama dalam sistem pertahanan keamanan negara. Penggunaan wilayah udara sebagai sarana berperang, jauh sebelum perang dunia kedua, telah melahirkan sebuah pertimbangan kebijakan ditingkat strategis yang dikenal sebagai National Air Power atau kekuatan nasional di Udara. National Air Power telah menjadi bagian yang utuh dari sebuah kebijakan nasional di banyak negara, terutama bagi negara-negara yang berorientasi relatif lebih besar kepada pertimbangan pertimbangan dalam aspek National Security dibanding dari pada aspek National Prosperity.
Berikut ini marilah kita bahas bersama tentang National Air Power.
Terminologi National Air Power telah mulai dikenal sejak tahun 1925, yaitu ketika Brigadier General William Mitchell mendefinisikan Air Power sebagai “the ability to do something in the air”. Ia bahkan menambahkan juga bahwa hal tersebut termasuk kemampuan dalam membawa orang, barang dan senjata serta kemampuan melindungi diri dari udara, karena tidak ada satu tempatpun dipermukaan bumi ini yang tidak dapat dijangkau dari udara. Dari definisi yang sangat umum dan sederhana itu, maka muncullah sebuah definisi baru yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, USAF berbunyi “The ability of a nation to assert its will by projecting military power in, through and from the air domain”. Sebuah definisi yang bernuansa lebih kepada secara eksplisit mengemukakan tentang penekanan dari penggunaan teknologi canggih dalam kekuatan militer yang mengandalkan wilayah udara sebagai medan tempur dalam upaya memenangkan perang.
Selanjutnya, berkembang lagi pada tahun 1948 saat Major General Fairchild, Commanding General US Air University yang menyempurnakan pengertian dari National Air Power sebagai berikut :
“National air power is the total ability of a nation to achieve its objectives through the air domain and encompasses all elements of civil and military aviation.” Ditambahkan pula bahwa
The fundamentals of air power are derived from a clear understanding of national air power. Ever since the end of World War II, air power has been a force for change not only in the employment of military forces, but also in the political, economic and social structure of the world.
Sangat gamblang disebutkan disini bahwa sejak perang dunia kedua berakhir, maka Air Power secara fundamental tidak hanya merubah secara drastis dalam hal penggunaan senjata bagi keperluan militer, akan tetapi juga besar sekali pengaruhnya dalam merubah tatanan politik, ekonomi dan struktur sosial dunia. Pada sisi lainnya diutarakan bahwa pada tingkat strategis dalam pertimbangan pertahanan keamanan nasional , Air Power telah menjadi salah satu elemen penting dari Kekuatan National secara keseluruhan.
Selanjutnya kita juga diajak untuk mencermati bahwasanya :
National air power is not composed only of the war-making components of aviation, but is the total aviation activity, civilian and military, commercial and private, potential as well as existing, within the nation.
National Air Power tidaklah hanya terdiri dari komponen war making of aviation akan tetapi merupakan aktifitas total penerbangan, sipil dan militer, komersial dan privat, potensi maupun yang sudah dimiliki oleh sebuah bangsa.
Disisi lain diperoleh penjelasan lebih lanjut bahwa ,
Five factors influence the development of adequate national air power: geography, demography, resources, industrial development and political conditions.
National air power is today the most dynamic element in a nation’s strength. The fact remains that air power will continue to be a critically necessary element of national power, if the nation is to be assured of being able to protect its sovereignty. Today, without the means to control its sovereign air space, a nation remains open to aggression. A nation has to maintain the capacity to fly, there is no other option.
Lima faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dari National Air Power adalah : faktor Geografi, Demografi, sumber daya, pembangunan industri dan kondisi politik.
National Air Power telah menjadi elemen paling dinamis pada kekuatan nasional. Bila sebuah bangsa ingin menjaga kedaulatan negaranya, maka Kekuatan Udara Nasional akan senantiasa menjadi elemen paling kritis untuk tetap dikelola. Negara yang tidak berdaulat di udara akan menjadi negara yang terbuka bagi para aggressor. Sebuah bangsa harus tetap memelihara kemampuannya untuk dapat terbang bebas diwilayah udara kedaulatannya, tidak ada dan tidak tersedia pilihan lain.
Untuk hal ini ada sebuah catatan menarik yaitu mengenai berhasil didirikan dan terjaga eksistensinya hingga kini sebuah Negara kecil yang dikelilingi Negara lain yang menjadi “musuh-musuh” nya. Negara ini bernama Israel yang didirikan dan di proklamasikan pada tanggal 14 Mei 1948 oleh seorang bernama David Ben-Gurion yang juga merupakan Perdana Menteri Pertama Israel. Dari banyak visinya yang membuat Ben Gurion sukses mendirikan dan memimpin Israel, salah satunya adalah “pandangan” serta “sikap” nya yang kukuh tentang wilayah udara kedaulatan suatu Negara, dalam hal ini wilayah udara kedaulatan negara Israel. Visi, pandangan dan sikap Ben-Gurion yang sangat terkenal itu memuat antara lain kata kata sebagai berikut:
”A high standard of living, a rich culture, spiritual, political and economic independence……..are not possible without full of aerial control”.
Nah, sekarang bagaimana dengan negeri kita tercinta dalam menghadapi dinamika perkembangan dari peran Air Power.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita lihat sejenak apa dan bagaimana negara kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia adalah sebuah negara yang terletak pada posisi yang sangat strategis yaitu berada tepat di posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Negara Indonesia merupakan sebuah negara berwujud kepulauan yang tersebar sepanjang garis khatulistiwa. Indonesia tidak hanya berwujud kepulauan, akan tetapi sebagian besar wilayahnya adalah kawasan berpegunungan. Luas negara Indonesia adalah 1905 juta Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2020 telah mencapai jumlah 274.637.629 jiwa. Untuk memudahkan dalam memahami Indonesia dalam konteks sebagai sebuah negara besar, marilah kita lihat sekilas perbandingannya dengan beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, China, India dan negara-negara Uni Eropa.
Amerika Serikat, luas negaranya adalah 9834 juta Km2 penduduknya berjumlah 331.753.930 jiwa. Angkatan Udaranya memiliki 320.812 personil dengan 13.264 pesawat terbang dan Amerika Serikat memiliki 147 Aircraft Manufacture Company.
Sementara itu China adalah sebuah negara dengan luas 9597 juta km2 berpenduduk 1. 441. 479. 459 jiwa. China memiliki Angkatan Udara dengan jumlah personil 398.000 personil yang mengoperasikan sebanyak 3210 pesawat terbang. China juga telah memiliki 24 Aircraft Manufacture Company.
Berikutnya India yang luas negaranya 3.287 juta Km2, dengan penduduk sebanyak 1. 385.234.229 jiwa. Angkatan Udaranya memiliki 139.576 personil dan 2.213 pesawat terbang. India juga telah memiliki 6 Aircraft Manufacture Company.
Uni Eropa yang merupakan kesatuan negara negara di kawasan Eropa dengan luas lebih kurang 4.475 juta Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 513 juta jiwa. Angkatan Udaranya memiliki 252.000 personil dengan jumlah pesawat terbang 2.450. Uni Eropa memiliki 229 Aircraft Manufacture Company.
Dengan perbandingan yang seperti itu, maka terlihat sekali bagaimana pada kenyataannya Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyongsong hari depan bangsa berkait dengan pengelolaan wilayah (pertahanan) udaranya. Diperlukan sebuah kesadaran bagi kita semua sebagai bangsa dalam memandang masa depan yang secara keseluruhan pasti akan banyak berorientasi kepada masalah-masalah air and space, masalah masalah kedirgantaraan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memulai kesadaran dalam memaknai kemajuan zaman perihal perkembangan mengenai Kekuatan Nasional di Udara atau National Air Power. Berikut ini uraian tentang Kekuatan Nasional di Udara yang dikutip dari sebuah dokumen AURI bulan April tahun 1956. Terpaut hanya 8 tahun sejak Major General Fairchild meredefinisikan National Air Power, sebuah pandangan visioner , pandangan yang sangat maju pada zamannya dari para pendahulu kita dalam memandang kekuatan udara nasional pada aspek pertahanan keamanan negara, sebagai elemen penting dari National Security.
Kekuatan Nasional di Udara (National Air Power)
Apakah Kekuatan Nasional di Udara ?
Ialah Jumlah kekuatan sesuatu bangsa di lapangan penerbangan dalam arti seluas-luasnya.
Untuk mendapatkan Kekuatan Nasional di Udara harus dimiliki berbagai factor penting antara lain :
Angkatan Udara yang Kuat
Penerbangan Sipil Nasional
Perindustrian Penerbangan
Aeroclub dan Pandu Udara
Pertambangan Minyak (atom dan lain lain)
Dalam rangka umum kekuatan nasional di udara, Angkatan Udara harus merupakan suatu susunan organisasi yang luas dan besar dengan berbagai macam sifat dan kemampuannya yang luar biasa. Suatu Angkatan Udara yang kuat merupakan kesatuan kekuatan nasional di udara yang paling berpengaruh.
Bagian kedua dari kekuatan nasional di udara adalah Penerbangan Sipil yang teratur yang mempunyai dinas dinas penerbangan ke seluruh pelosok tanah air.
Bagian ketiga adalah Perindustrian Penerbangan yang besar yang diperlukan untuk membantu dan menyusun Angkatan Udara.
Karena pesawat pesawat terbang merupakan “peminum” yang serakah terhadap sumber sumber alam (minyak) yang telah diselenggarakan manusia, maka perlu sekali adanya pertambangan pertambangan minyak (atom dan lain lain). Hal ini sangat penting karena tanpa minyak (atom dan lain lain ) pesawat pesawat terbang yang ada tidak akan bergerak dan kekuatan nasional di udara tidak akan dapat terselenggarakan.
Disamping untuk mendapatkan kekuatan nasional di udara, perlu pula benih benih penerbangan di pupuk dikalangan masyarakat terutama para pemudanya mulai dari sekarang dengan mendirikan perkumpulan perkumpulan seperti pandu udara, aeromodellers dan aeroclub nasional.
Bila faktor faktor yang tersebut diatas ini dapat dipenuhi maka akan tercapailah kekuatan nasional di udara, yang sangat penting artinya bagi suatu negara yang merdeka seperti Indonesia.
Karena itu pula Angkatan Udara, Penerbangan Sipil Nasional, Perindustrian Penerbangan, Aeroclub dan Pandu Udara dan Pertambangan Minyak (atom dan lain lain), hendaknya mendapat perhatian istimewa agar kesemuanya ini dapat lebih maju dan kuat agar tujuan semula untuk mendapatkan kekuatan nasional di udara dapat tercapai.
Di zaman yang serba modern ini, dimana negara negara saling berlomba – lomba dalam mencapai kemajuan dan kesempurnaan bagi negaranya, kekuatan nasional di udara tidak pernah ditinggalkan. Dan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tentu tidak akan melupakan faktor penting itu pula.
Demikianlah sebuah rujukan dari betapa persoalan National Air Power yang sangat memegang peran strategis bagi sebuah bangsa, telah sejak tahun 1950-an sudah dihayati dengan penuh kesadaran oleh kita sebagai bangsa. Sayangnya adalah justru pada belakangan ini perhatian kita terhadap pengelolaan wilayah udara nasional terutama sekali dalam sisi Pemberdayaan Wilayah (pertahanan) Udara masih jauh dari yang seharusnya dilakukan oleh sebuah bangsa yang besar. Apabila kita memandang tentang Pemberdayaan Wilayah Udara Nasional, maka secara otomatis kita akan berada ditengah-tengah permasalahan yang erat dengan urusan Wilayah Udara Kedaulatan.
Nah, dalam konteks wilayah udara kedaulatan inilah Indonesia masih berhadapan dengan setidaknya 2 masalah besar yang memerlukan pemikiran serius untuk dapat diselesaikan terlebih dahulu. Kita memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan, akan tetapi selama kedua hal prinsip tersebut belum dapat diselesaikan , maka akan sulit sekali bagi Indonesia untuk dapat berkembang selaras dengan potensi yang dimilikinya.
Kedua masalah yang sangat prinsip berkait dengan masalah kedaulatan negara di udara adalah tentang belum dicantumkannya wilayah udara diatas kawasan teritotial NKRI yang dinyatakan secara eksplisit dalam Undang undang Dasar 1945 (yang sudah di amandemen 4 kali). Berikutnya adalah keberadaan wilayah udara nasional Indonesia di sebagian besar kawasan kepulauan Riau yang otoritas penerbangannya tidak berada dalam kekuasaan pemerintah Indonesia. Dua hal yang prinsip ini harus dapat diselesaikan terlebih dahulu sebelum kita dapat melangkah lebih jauh dalam upaya memberdayakan wilayah (pertahanan) udara Republik Indonesia.
Kedua hal tersebut adalah berkait dengan kebijakan ditingkat strategis, sehingga jajaran pengambil keputusan dalam hal ini pemerintahan yang berkuasa seharusnya mendapat masukan yang tepat dari tim yang kompeten dibidang masalah kedirgantaraan. Sudah selayaknya dipikirkan tentang keberadaan sebuah lembaga “think tank” bidang kedirgantaraan. Dulu sebenarnya sudah ada Dewan Penerbangan Nasional yang kemudian berkembang menjadi Depanri Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional. Sayangnya Depanri sudah dibubarkan. Untuk menatap kedepan Indonesia memerlukan dewan samacam Depanri agar kebijakan ditingkat strategis dapat memperoleh masukan yang tepat dari mereka yang kompeten dibidangnya. Bisa juga lembaga tersebut berbentuk semacam Menteri koordinator Keudaraan dan Penerbangan misalnya, atau Menteri koordinator penerbangan dan Kedirgantaraan. Apapun namanya yang intinya adalah semua kebijakan nasional berkait dengan bidang kedirgantaraan dapat di olah sesuai porsinya sehingga keputusan yang diambil benar-benar akan merupakan kebijakan yang tepat dibidangnya. Tidak hanya 2 hal penting tadi akan tetapi masih ada sejumlah permasalahan yang juga berhubungan dengan pembangunan nasional dibidang kedirgantaraan.
Sebagai contoh saja bahwa dengan letak Indonesia yang strategis dan luas serta berbentuk kepulauan dan pegunungan , maka angkutan udara seharusnya sudah menjadi leading sektor pembangunan ekonomi nasional. Pengelolaan Maskapai Penerbangan harus benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan dari gerak lajunya pembangunan nasional dalam arti luas. Indonesia harus memiliki Maskapai Penerbangan pembawa Bendera, Duta Bangsa yang menghubungkan kota kota besar di dalam dan Luar Negeri. Maskapai Penerbangan Perintis yang menghubungkan kota kota terpencil di kawasan remote area dan sekitar perbatasan negara. Maskapai penerbangan Charter yang melayani kegiatan pihak investor serta Maskapai Kargo untuk distribusi bahan pokok bagi target kebijakan pemerataan satu harga diseluruh pelosok Indonesia. Demikian pula sebagai sebuah negara yang luas dan berpenduduk banyak, maka sepantasnya Indonesia sudah harus memiliki Pabrik Pesawat Terbang, setidaknya yang mampu memproduksi pesawat sekelas Twin Otter seperti yang tengah dikembangkan sebagai program pesawat terbang N-219 yang sayangnya sudah beberapa kali tertunda sekian tahun tanpa kejelasan. Selain itu pengelolaan dari penggunaan bandara untuk keperluan sipil dan militer serta kualifikasi bandara bagi peruntukkan layanan rute domestik dan internasional masih belum pula tertata dengan baik secara proporsional.
Berikutnya adalah mengenai penataan bandara atau Airport. Belakangan ini pengelolaan bandara masih terlihat amburadul. Tidak jelas mana bandara yang melayani kegiatan operasi penerbangan sipil komersial dan bersifat terbuka untuk umum dan Pangkalan Militer khususnya Pangkalan Angkatan Udara yang diperuntukkan bagi kegiatan pertahanan keamanan negara khususnya sistem pertahanan udara nasional. Sebuah kawasan yang seharusnya merupakan “restricted area” wilayah terbatas bagi kepentingan umum. Demikian pula yang berkait dengan penataan pintu gerbang negara dalam konteks peruntukkan International Airport dan untuk penerbangan rute Domestik.
Ini harus disadari oleh kita semua sebagai masalah yang berkait dengan kebijakan penting ditingkat strategis. Kebijakan yang seharusnya dapat memiliah-milah dengan mudah dan jelas , mana kekuatan nasional utama bagi keperluan pertahanan keamanan negara dan mana unsur-unsur kekuatan cadangan yang dapat dikerahkan bila diperlukan nanti di saat negara berada dalam ancaman musuh.
Tantangan melekat yang harus segera di antisipasi adalah tentang kaderisasi generasi muda dibidang kedirgantaraan melalui sosialisasi pengembangan minat dirgantara sejak usia dini. Disinilah peran pemerintah dalam mengembangkan bidang pendidikan dan latihan kedirgantaraan untuk menghasilkan kader kader Dirgantara Nasional. Pramuka Angkasa dan FASI harus memperoleh perhatian khusus agar pengembangan minat dirgantara dapat berkembang secara menyeluruh. Disinilah pula sebenarnya manajemen dan pengelolaan nasional dibidang kedirgantaraan sudah harus melihat kepentingan pemberdayaan wilayah nasional dibidang Dirgantara. Pembangunan Nasional dibidang Dirgantara harus senantiasa bersandar kepada aspek Pertahanan Keamanan Nasional dan sekaligus aspek Kesejahteraan Masyarakat. Untuk hal itu dibutuhkan kebijakan yang tepat ditingkat strategis agar arah pembangunan secara nasional dapat benar-benar menjawab tantangan masa depan.
DIrgantara adalah masa depan Bangsa. Masa Depan Umat Manusia.
Nenek Moyangku Orang Pelaut, akan tetapi Anak Cucuku adalah Insan Dirgantara.
Sekian dan Terimakasih
Jakarta 3 Desember 2020.
Chappy Hakim – Marsekal Purn. Pusat Studi Air Power Indonesia.
Seminar Nasional Potdirga.