Proses pembelian sekaligus sejumlah 42 Jet Tempur Canggih dapat dikatakan memecahkan rekor jumlah pembelian pesawat terbang tempur sepanjang sejarah Indonesia pasca tahun 1965. Pengadaan pesawat terbang tempur memang akan selalu mengundang banyak pertanyaan, tidak terkecuali sekarang ini dengan pembelian 42 Rafale, dari pabrikan Dassault Aviation asal Perancis. Kesimpulan awal yang dapat diperoleh sementara ini, bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk membeli pesawat Jet Tempur Canggih. Seluruh pabrik pesawat terbang tempur dipermukaan bumi ini memang tengah “cuci gudang” alias menjual obral produknya. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir para perancang pesawat terbang tempur canggih sudah berada pada titik untuk menentukan apakah akan mengembangkan terus pesawat terbang tempur atau segera beralih pada wahana baru bernama Drone. Pada sisi lainnya ketegangan regional dan global tidak pada situasi dan kondisi yang menguntungkan pasar pesawat terbang tempur. Dengan demikian maka kesimpulan kecil ini mungkin sudah akan dapat menjawab pertanyaan tentang urgensi dan alasan dibalik pembelian 42 Rafale dari Perancis. Membeli barang bermerek di saat yang tepat yaitu ketika toko toko memasang iklan atau berada ditengah musim “sale”.
Apabila ditanyakan pula tentang bagaimana itu akan mengubah kekuatan pertahanan kita, terutama mengantisipasi situasi geopolitik di kawasan (seperti situasi di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara, dikaitkan dengan manuver China dengan klaim sepihaknya) dan potensi Perang Dunia III (Rusia – China vs Ukraina/AS/Nato), maka jawabannya akan menjadi cukup rumit. Akan tetapi bila dilihat dari perspektif perimbangan kekuatan (balance of power) di kawasan Pasifik , maka akan dengan mudah dapat dicerna atau bisa dilihat bahwa pengadaan 42 Rafale untuk Indonesia adalah sebagai bagian dari program lanjutan terbentuknya AUKUS. Sejumlah kapal selam nuklir untuk Austalia dan 42 Rafale untuk Indonesia dapat saja dipersepsikan atau terlihat sebagai sebuah langkah yang senada dan seirama. Langkah pembangunan kekuatan persenjataan “made in western” di Kawasan Indo Pasifik. Sebuah fenomena yang seolah membenarkan respon China terhadap pembentukan AUKUS yang disebut sebagai akan memicu perlombaan senjata seperti yang terjadi pada era perang dingin. Terlepas dari persoalan Indonesia yang kiranya masih akan tetap mempertahankan politik bebas aktifnya.
Bila saja fenomena ini sedikit didalami maka ia akan bertemu dengan pendapat seorang anggota DPR komisi 1 yang baru baru ini mengatakan bahwa ada keuntungan lain dari kesepakan RI Singapura baru baru ini. AU Singapura dapat melaksanakan latihan diwilayah RI dengan mengikut sertakan pihak ke 3 yang akan memunculkan efek deterrent dalam kaitan ketegangan di laut China selatan. Artinya adalah secara langsung atau tidak langsung hal itu dapat dimaknai bahwa RI sudah memberikan sinyal keberpihakan kepada pihak barat dalam konstelasi perkembangan potensi konflik di Laut China Selatan. Sebuah gejala yang tidak aneh karena di kawasan samudra pasifik Indonesia memang berada dalam “kepungan” negara barat, dalam hal ini negara negara persemakmuran Inggris (Singapura, Malaysia dan Australia). Berbagai upaya akan terus menerus dilakukan untuk menggiring Indonesia berpihak ke kelompok negara barat. Kelompok negara barat yang tengah berada dalam pusaran yang dipengaruhi nuansa US-China Trade War, perang dagang Amerika Serikat dengan China.
Berikutnya , apabila pengadaan Rafale dikaitkan dengan kebutuhan penyegaran alutsista yang sudah dipandang usang, kemampuan uang negara, pilihan jenis pesawat dan berbagai skenario yang mengiringinya, maka akan menjadi sangat menarik. Yang harus dipahami terlebih dahulu adalah bahwa pesawat terbang hanya merupakan salah satu sub-sistem saja dari sebuah sistem besar bernama sistem pertahanan udara. Sistem Pertahanan Udara yang merupakan bagian integral dari sistem National Security dan pertahanan negara. Dengan demikian maka proses pengadaan pesawat terbang tempur pada hakikatnya akan merupakan sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional. Dalam hal ini maka unsur pesawat terbang tempur , sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub sistem pertahanan udara nasional. Jadi apabila kita memang sedang mengupayakan meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara kita, masih ada masalah yang lebih urgen dari pengadaan pesawat terbang tempur baru. Realita dari sebagian wilayah udara kita yang berada dalam posisi rawan di perairan selat malaka, Natuna dan kepulauan Riau masih belum berada dalam kekuasaan RI. Wilayah udara tersebut sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik Laut China Selatan. Wilayah udara yang merupakan sub sistem penting dari konsep pertahanan udara sebagai sebuah sistem. Wilayah udara dan sistem pengendaliannya adalah komponen menentukan dalam sebuah konsep pertahanan udara. Kedua sub sistem yang sangat dominan itu (wilayah udara dan pengendaliannya) justru kini tidak berada dibawah kekuasaan RI. Artinya adalah menyelesaikan terlebih dahulu wilayah udara kedaulatan kita dan wewenang pengendaliannya jauh lebih urgen dari pada sekedar pengadaan pesawat terbang tempur baru. Wewenang pengendalian wilayah udara kedaulatan yang kini sudah berbasis satelit yang ditopang AWACS ( Airborne Warning and Control System) akan sangat melekat dengan peran command and control system dalam perang modern. Dunia telah berada ditengah era NCS (Network Centric System) Ingat , ratusan Tank Saddam Hussein dibuat tidak berdaya dalam sekejap saat sistem komando dan pengendaliannya dilumpuhkan.
Ratusan pesawat yang kita miliki, bila tidak dapat menjalankan latihan dan operasi udara diwilayah kedaulatan kita sendiri dengan bebas, maka akan percuma alias sia sia belaka. Sebuah masalah rumit yang tengah kita hadapi sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang diselesaikan pada ranah politik.
Terakhir , perlu pula kiranya kita coba mempelajari proses pengadaan yang sedikit bermasalah saat India melakukan pembelian Rafale pada tahun 2016. Ketika itu dicapai perjanjian dalam proses pengadaan sejumlah 36 pesawat Rafale oleh India. Persetujuannya adalah 50% dari nilai kontrak akan menjadi nilai offset yang menjadi kewajiban pihak Dassault Aviation sebagai pabrik pesawat terbang Rafale. Tidak begitu jelas sengketa yang mencuat sampai terekspose di media, akan tetapi hal ini perlu diwaspadai oleh kita dalam kontrak perjanjian yang telah dan akan disetujui kedua belah pihak. Kesenjangan dari kemampuan teknologi negara pembeli selalu saja akan menjadi titik lemah dalam perjanjian kontrak pengadaan barang yang berteknologi tinggi.
Demikianlah sekedar respon dan urun rembug dalam melihat proses pengadaan 42 pesawat Rafale dari Perancis oleh Kemhan RI.
Jakarta 17 Februari 2022
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia