Banyak yang tidak menyadari bahwasanya ada satu babak dalam sejarah manusia modern yang tak akan pernah hilang dari ingatan dunia: pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945. Dua kota di Jepang itu luluh lantak oleh bom atom dalam tempo hanya beberapa hari. Dunia terperangah. Perang Dunia II berakhir seketika. Tapi lebih dari sekadar akhir perang, peristiwa itu menyimpan pelajaran besar bagi siapa pun dalam memandang wilayah udara teritori sebagai elemen krusial dari sebuah sistem pertahanan negara.
Kita harus kembali sejenak ke wilayah udara teritori Kerajaan Jepang pada tahun 1945. Kala itu, sebuah pesawat pembom B-29 Superfortress bernama Enola Gay, yang diterbangkan oleh Kolonel Paul W. Tibbets dari 509th Composite Group, bagian dari United States Army Air Forces (USAAF) — Angkatan Udara AS belum berdiri sebagai entitas tersendiri — meluncur mulus dari pangkalan di Tinian dan memasuki wilayah udara Kekaisaran Jepang tanpa perlawanan atau bahkan gangguan yang berarti. Bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Tiga hari kemudian, bom kedua menghancurkan Nagasaki. Dan semuanya terjadi begitu saja—tanpa satupun pesawat tempur Jepang yang bisa mencegatnya.
Di situlah pokok masalahnya. Jepang, yang dikenal sebagai bangsa samurai, negara yang begitu kuat di darat dan laut, ternyata lumpuh tidak berdaya di udara. Mereka kehilangan martabat sebagai bangsa. Dan ketika wilayah udara kedaulatan sebuah negara tidak dijaga, maka kehancuran hanya tinggal soal waktu. Ini bukan sebuah teori. Ini adalah fakta sejarah.
Kelemahan Jepang dalam menjaga/mempertahankan udara bukan hanya akibat keterbatasan teknologi radar dan sistem peringatan dini, tetapi juga karena kekeliruan strategis dalam memahami pentingnya superioritas udara. Karena abainya terhadap wilayah udara kedaulatannya sendiri. Di tahap akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menegaskan keunggulannya melalui kampanye udara besar-besaran di Eropa dan Pasifik. Ketika Jepang gagal membangun sistem pertahanan udara yang kokoh dan terpadu, pesawat-pesawat Sekutu pun masuk ke wilayahnya dengan mudah—bahkan untuk membawa senjata pemusnah massal sekalipun.
Setelah tragedi Hiroshima dan Nagasaki, dunia sadar bahwa wilayah udara teritori sebuah negara ternyata bukan ruang bebas. Udara bukan dimensi netral. Ia adalah bagian dari kedaulatan negara yang mutlak. Karena itulah, satu tahun sebelumnya, pada 1944, negara-negara di dunia telah merumuskan Konvensi Chicago, yang menjadi dasar hukum penerbangan sipil internasional. Dalam Pasal 1 dinyatakan tegas:

“Every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Dengan kata lain: kedaulatan udara itu harus utuh, eksklusif, dan tidak bisa didelegasikan. Prinsip ini lahir bukan karena wacana diplomasi semata, tapi karena pengalaman pahit bangsa-bangsa yang kehilangan martabatnya saat perang melalui wilayah udaranya. Jepang merupakan salah satu contohnya. Dan bila kita abai terhadap sejarah, bukan tidak mungkin kesalahan yang sama akan terulang dalam wajah baru.
Sejak tragedi di langit Jepang itu, dunia telah banyak berubah. Tapi prinsip dasarnya tetap sama: siapa menguasai udara, dialah yang menentukan hasil akhir peperangan. Tidak ada lagi perang modern yang dimenangkan tanpa supremasi udara. Kita bisa punya tank terbaik, pasukan paling disiplin, bahkan kapal perang tercanggih—tapi semua itu tidak akan ada artinya jika wilayah udara kedaulatan kita dikuasai oleh musuh. Sekali lagi Ini bukan retorika, ini adalah sebuah realitas yang telah terbukti dalam setiap konflik besar sejak Perang Dunia II hingga sekarang kini.
Sayangnya, kesadaran akan pentingnya wilayah udara belum menjadi refleksi kolektif semua bangsa, termasuk kita di Indonesia. Kita terlalu sering terjebak pada logika teknis, pada efisiensi, pada kompromi administratif. Kita membiarkan pengelolaan sebagian wilayah udara kita diatur pihak asing atas nama kemampuan teknis atau kerjasama regional. Tapi sejarah mengajarkan bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Begitu kita menyerahkan satu inci ruang udara, maka kita sebenarnya membuka celah untuk kehilangan yang lebih besar—bahkan mungkin kehilangan segalanya.
Hiroshima dan Nagasaki tidak hanya mengingatkan kita pada kehancuran, tapi juga pada kelengahan strategis yang fatal. Pesan dari langit Jepang tahun 1945 masih relevan hingga hari ini, mungkin bahkan lebih relevan daripada sebelumnya. Ketika langit tidak dijaga, maka kita bukan hanya kehilangan pertahanan—kita kehilangan masa depan. Maka jangan pernah lelah mengingatkan: wilayah udara adalah garis depan pertama dan terakhir dari harkat kemerdekaan sebuah bangsa. Dan kita harus berdiri di sana, sebagai penjaga yang waspada—bukan tamu di rumah sendiri.
Daftar Pustaka
- International Civil Aviation Organization. Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention). ICAO, 1944.
- Walker, J. Samuel. Prompt and Utter Destruction: Truman and the Use of Atomic Bombs against Japan. University of North Carolina Press, 2004.
- Craven, Wesley Frank & Cate, James Lea. The Army Air Forces in World War II, Vol. 5. University of Chicago Press, 1953.
- Overy, Richard. The Bombers and the Bombed: Allied Air War Over Europe, 1940–1945. Viking, 2014.
- Budiardjo, Carmel. Air Power and Sovereignty in Southeast Asia. Southeast Asian Studies Review, 1986.
Jakarta 14 April 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia