Isu yang sedang hangat belakangan ini adalah tentang Panglima TNI dan Kapolri. Tepatnya tentang calon Panglima TNI dan calon Kapolri yang telah dan akan mengikuti proses fit and proper test di DPR. Sebenarnya, proses fit and proper testcalon Panglima TNI dan Kapolri di DPR adalah suatu “kejanggalan”.
Janggal karena di awal era Reformasi, semua menginginkan bahwa tentara dan polisi tidak lagi berpolitik. Nah, mengapa pula calon Panglima TNI harus melewati proses fit and proper testdi satu lembaga politik bernama DPR? Di mana konsistensi perjuangan era Reformasi yang menghendaki tentara dan polisi tidak berpolitik? Kemudian calon pengganti Panglima TNI dan Kapolri juga harus menjalani proses fit and proper test di DPR yang notabene adalah lembaga politik. Dalam hal ini, kita akan sulit sekali untuk bisa memahaminya.
Menguji atau Mengonfirmasi?
Fit and proper test adalah satu proses untuk mengecek seberapa fit (pas atau cakap) dan proper (tepat atau cocok)-nya seseorang untuk dapat menduduki satu jabatan. Dengan demikian,siapa pun yang akan dites dalam satu jabatan,logikanya, akan berhadapan dengan seseorang atau tim yang kompeten dan sangat menguasai serta “pakar” di bidang tugas jabatan terkait.Menjadi “janggal” sekali bila seorang calon Panglima TNI dan Kapolri kemudian berhadapan dengan para anggota DPR dalam proses fit and proper test.
Janggal karena bidang tugas TNI-Polri dan DPR adalah jauh panggang dari api.Seorang tentara dan atau polisi profesional dites oleh politikus untuk jabatan Panglima TNI dan Kapolri. Bila menggunakan logika berpikir dari aliran mana pun,terlihat jelas kejanggalan ini karena bagaimana bisa politikus dapat menganggap seorang tentara/polisi profesional “pantas” untuk menduduki jabatan Panglima TNI/Kapolri? Sekali lagi patut dipertanyakan tentang seorang tentara/polisi profesional yang tidak boleh berpolitik dan akan memimpin TNI/ Polri sebagai satu lembaga yang political free di-fit and proper test oleh para politikus.
Logika berpikir model mana yang dapat menerima hal ini sebagai sesuatu yang “logis”? Indria Samego, seorang peneliti LIPI yang kebetulan paham dan mengerti “bahasa Inggris”, segera menangkap penjelasan ini dengan baik.Dia mengusulkan perubahan dari proses dengan terminologi fit and proper test menjadi proses “konfirmasi”oleh DPR. Sekali lagi, bagi mereka yang kebetulan kurang mengerti bahasa Inggris memang akan kesulitan untuk bisa menangkap penjelasan ini.
Tidak aneh bila beberapa oknum di DPR tetap ngotot untuk menjalani ini dengan dasar undang-undang dan sebagai institusi yang “katanya” mewakili rakyat. Selanjutnya,bila memang DPR itu mewakili aspirasi rakyat, tentu pasti ada satu mekanisme yang mengerjakan kegiatan menampung aspirasi rakyat yang berkembang dari waktu ke waktu. Bila ada pendapat banyak orang tentang sesuatu, seharusnya sebagai “wakil” rakyat mereka berterima kasih dan kemudian menindaklanjutinya dengan mengoreksi undang-undang yang ada untuk kemudian menjadi sesuai dengan kehendak rakyat banyak.
Seperti diketahui, menjadi tugas DPR-lah yang bersama-sama pemerintah untuk membuat undangundang. Inilah yang harus dikerjakan, bukan sebaliknya bila menjumpai perkembangan dari keinginan masyarakat yang berbeda dengan undang-undang, yang ada justru menyampaikan, “Tidak bisa! Kami harus melaksanakan undangundang atas nama rakyat! Kalau mau seperti itu, ubah dulu undangundangnya!” Ini yang menjadi “lucu” karena justru yang bertugas mengubah dan bahkan membuat undang-undang adalah DPR.
Namun, pendapat seperti ini sangat dapat dimaklumi karena memang begitulah kerja dari politisi.Politik selalu berorientasi pada kepentingan dan bermuara pada kekuasaan. Hal ini menjadi sangat jelas dengan beberapa pernyataan para anggota DPR beberapa waktu yang lalu. Pada saat dikritik tentang studi banding ke luar negeri, jawaban anggota DPR adalah bahwa pemerintah dan Presiden lebih banyak ke luar negeri, kenapa tidak diprotes? Mengapa hanya DPR yang dikritik?
Demikian pula tentang pembangunan gedung baru DPR yang mengalokasikan ruang yang sangat luas bagi anggotanya,jawaban yang keluar adalah,“Kan ruang kerja para menteri jauh lebih luas daripada ruang kerja anggota DPR. Mengapa tidak ada yang memprotesnya?” Ini semua adalah jawabanjawaban yang bernuansa menghindar dari tanggung jawab.Menghindar untuk tidak mengatakannya lari dari tanggung jawab.
Sudah saatnya kita bersama melihat semua masalah dengan kacamata yang sama, yaitu bagi kepentingan masyarakat banyak. Masih banyak persoalan menumpuk yang menjadi pekerjaan rumah bagi para legislator untuk diselesaikan dibandingkan hanya membuang-buang waktu percuma dalam melaksanakan fit and proper test. Namun tetap saja politisi di mana pun sama saja yang terkadang bisa berbuat aneh-aneh seperti pernah dikatakan Nikita Khrushchev, “Politicians are the same all over.They promise to build a bridge even where there is no river.” Politikus itu dimana-mana sama saja. Mereka berjanji membuat jembatan bahkan ditempat yang tidak ada sungainya !
Chappy Hakim
Chairman Indset
Artikel ini sudah dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia edisi 6 Oktober 2010