Pada tahun 1946, Pentagon selesai melakukan kaji-ulang tentang perang dunia 1 dan perang dunia 2. Salah satu hasil kajian, disebutkan sebagai berikut:
“Perang berikutnya yang akan terjadi dipermukaan bumi ini , tidak akan lagi dimulai dengan tembakan meriam dari kapal laut, atau serangan pasukan dengan tembakan berat di perbatasan negara, akan tetapi adalah akan berujud, serangan udara langsung oleh pesawat terbang yang mungkin tidak berawak terhadap ibukota suatu negara seperti Washington.” (Henry H. Arnold dikenal luas sebagai Jenderal Angkatan Darat dan kemudian Jenderal Angkatan Udara)
Tahun 2001 terjadi serangan udara langsung, dikenal sebagai peristiwa 911 yang ditandai dengan runtuhnya “Menara Kembar” kebanggaan Bangsa Amerika di New York, serta serangan teroris lainnya ke Pentagon dan White House, di Washington.
Segera setelah itu , merespon tragedi 911, selesai melakukan kaji ulang tragedi 911, Amerika Serikat membentuk satu lembaga baru bernama “United States Department of Home Land Security”. Lembaga ini didirikan pada tanggal 25 Nopember 2002, sekali lagi, sebagai sebuah respon terhadap peristiwa tragis , tragedi 911. Hasil kaji ulang mendalam tentang “Keamanan Nasional Amerika” dihadapkan kepada kejadian peristiwa 911, salah satu yang penting dan bernilai sangat strategis adalah sebuah keputusan untuk membentuk satu lembaga baru yang akan khusus menangani dengan sangat teliti dan detil soal kemanan nasional dalam negeri Amerika Serikat.
Hal ini tentu saja didasari atas pemikiran bahwa ternyata pada peristiwa 911 tersebut serangan teroris tidak bergerak dari luar Amerika, akan tetapi justru datang dari dalam negeri sendiri. Satu kecolongan dalam aspek penyelenggaraan keamanan negara yang harus dibayar amat mahal, termasuk ribuan nyawa dari lebih 85 negara yang turut melayang. Lembaga yang baru dibentuk ini, memiliki kewenangan yang luar biasa, atas nama keamanan nasional “memeriksa” dengan sekaligus meng “intervensi” sektor keamanan di semua lini yang berpotensi “ancaman” terhadap keamanan negara. Dalam uraian tugasnya disebutkan bahwa US Department of Home Land Security memiliki tanggung jawab yang mencakup tiga hal penting untuk ditangani yaitu : “terrorist attack”, “man-made accident” dan “natural disasters”. Didukung oleh biaya yang cukup besar, yang disebutkan oleh salah satu publikasi terkemuka di Amerika, bahwa ditahun 2011 saja anggarannya sudah mendekati angka 100 miliar dolar.
Dalam hal ini sektor yang dituju adalah kemungkinan serangan teroris yang terutama sekali dibidang transportasi, lebih detil lagi, transportasi udara, penerbangan sipil komersial atau civil aviation. Amerika tidak ingin peristiwa seperti 911 sebagai serangan memalukan sekaligus sangat fatal terhadap kedaulatan dan kehormatan Amerika Serikat sebagai bangsa terulang kembali. Untuk keperluan itu, maka dibangunlah satu badan baru lagi yang bernama TSA, Transportation Security Administrattion. Sejak itulah semua airport penerbangan sipil mengalami pemeriksaan keamanan yang “super-ketat”, dan airport militer dalam hal ini United State Air Force Base ditingkatkan kemampuannya sebagai pusat pencegahan terjadinya serangan teroris melalui udara. Hasilnya adalah Airport penerbangan sipil menjadi “steril”, yang antara lain menyebabkan banyak orang menjadi malas untuk bepergian menggunakan transportasi udara di Amerika.
Disisi lain US Air Force Base , menjadi “super-steril” dan ditingkatkan kemampuannya dalam membantu pengamanan bandara-bandara sipil, terutama ruang udara sekitarnya yang dapat dimanfaatkan setiap saat oleh teroris untuk menyerang, seperti saat berlangsungnya 911. Mereka antara lain meningkatkan kualitas dari semua fasilitas yang ada di Air Force Base dengan juga sekaligus menyiapkan “flight-tempur-pemburu” yang “combat-ready” 24 jam, hingga sekarang ini. Penerbangan sipil atau civil aviation, karena peristiwa 911 telah dijadikan “potential-threat”, potensi ancaman yang dapat setiap saat mengancam kedaulatan negara dan bangsa Amerika. Air Force Base, tidak hanya menjadi “super steril” akan tetapi juga menjadi unit yang selalu siaga 24 jam, walau selama ini, mereka sudah menerapkannya seperti itu. Namun serangan yang langsung ke jantung ibukota dan kedudukan strategis negara yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas penerbangan sipil, pesawat dan bandara internasional, memang baru dilakukan pada peristiwa tragedi bersejarah 911. Sebuah serangan yang sangat jauh dari perkiraan intelijen dan tentu saja sangat tidak diperhitungkan dalam antisipasi pengamanan negara.
Tindakan Amerika Serikat ini telah menjadi panduan standar bagi banyak negara di dunia yang tidak ingin negaranya mengalami hal yang sama seperti 911. Walau tidak banyak negara yang turut membangun institusi baru sejenis Department of Home Land Security, akan tetapi pengawasan ekstra ketat terhadap sistem transportasi udara (penerbangan sipil komersial) dan juga peningkatan kewaspadaan unsur serta Pangkalan Angkatan Udara dalam pengamanan terorisme telah dilakukan sebagai bagian penting dari penyelenggaraan penanganan keamanan negara.
Sementara yang terjadi di Indonesia adalah, dipindahkannya “kelebihan” pesawat-pesawat terbang sipil komersial dari SHIA (Soekarno Hatta International Airport) sebagai akibat ketidak-mampuan manajemen bekerja mengatur traffic yang jelas-jelas sudah terlihat pertumbuhannya dari tahun ketahun. Lebih “jenaka” lagi, karena “muntahan” traffic sebagai hasil dari salah urus manajemen bandara sipil itu, dipindahkannya ke Pangkalan Angkatan Udara (Air Force Base) Lanud Halim Perdanakusuma yang seharusnya “steril” dari kegiatan “penerbangan-sipil” yang sarat dengan hakikat potensi ancaman terorisme. Tumpahan traffic dari Maskapai yang tengah sibuk “mencari-keuntungan” justru difasilitasi dengan prioritas utama ke Sentra dari Pusat Pengendali Pertahanan Udara Nasional Negara kesatuan Republik Indonesia.
Lanud Halim tidak saja merupakan tempat dari Markas Komando Pertahanan Udara Nasional, akan tetapi juga pusat angkutan udara strategis nasional untuk keperluan perang dan bencana alam nasional. Halim adalah pusat pengendali krisis bila terjadi bencana nasional seperti Tsunami Aceh beberapa waktu yang lalu. Halim juga adalah pusat pengendali krisis bila terjadi “pembajakan-udara” seperti pada saat peristiwa “woyla”. Dan sekarang ini, rupanya keseluruhan peran penting yang berkait dengan pertahanan negara dari Lanud Halim Perdanakusuma telah berakhir. Selamat datang…..pesawat-pesawat terbang sipil yang ingin mengembangkan “bisnis” nya dari Markas Komando Pertahanan Nasional Halim Perdanakusuma. Selamat datang para pedagang dan juga selamat datang….….”terorisme” !
Jakarta 7 September 2014
Chappy Hakim
6 Comments
Semoga concern nya pak chappy bisa segera di tanggapi pihak berwenang. Tapi tentu saja sebagai masyarakat saya kok pesimis ya..karena orientasi bisnis lebih diutamakan di negeri kita ketimbang aspek kenyamanan apalagi keselamatan terlebih aspek keamanan negara…pinjam istilah nenek saya dahulu…jauh panggang dari api…semoga opini bapak mau didengar mereka yang katanya ingin membuat negeri ini menjadi lebih baik…saat bicara di podium dan di tonton 250 jt orang indonesia beberapa bulan lalu. Bravo pak chappy…. hormat !
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak mau belajar, termasuk belajar kepada para seniornya….
Terima kasih buat tulisannya Pak, memang sudah seharusnya masalah ini dilihat dari sudut pandang seorang yg benar2 mengerti seluk beluk pertahanan kita khususnya masalah pertahanan udara.
Terima kasih Pak Chappy. Kami jadi lebih sadar akan pentingnya “bandara” HLP.
Terimakasih banyak !
Thanks a lot !