PADA 22 Maret 2018, kebetulan saya makan siang di sebuah restoran sushi Okunoen, Tsukiji, di Tokyo. Ada 3 meja besar di satu ruangan di restoran itu.
Saya, istri, dan teman-teman duduk di satu meja. Sementara, di dua meja lainnya duduk orang-orang Jepang yang tidak kami kenal.
Kebetulan di antara teman kami satu meja ada yang berulangtahun. Kejutan datang ketika kami selesai makan dan hendak meninggalkan restoran.
Seorang pelayan bersama dua orang teman kami yang tinggal di Tokyo datang dengan kue ulangtahun lengkap dengan lilin dan bernyanyi “happy birtday to you”. Yang mengejutkan, melihat perayaan kecil itu, orang-orang Jepang yang tidak kami kenal yang duduk di dua meja dekat kami berhenti makan, berdiri, dan ikut bernyanyi. Kami menghampiri mereka dan menyapa satu per satu seraya mengucapkan terima kasih atas simpati mereka.
Di salah satu meja ada empat orang kakek dan satu orang nenek. Mereka bertanya dari mana asal kami. Mengetahui kami dari Indonesia salah seorang dari mereka berbicara dua tiga kata dalam bahasa Indonesia, di antaranya “terima kasih.”
Interaksi menjadi lebih hangat. Bincang-bincang ringan terjadi. Ada yang mengaku pernah tinggal di Yogyakarta kurang lebih 3 tahun. Salah satu dari mereka memperkenalkan diri sebagai Toshimitsu Morita, anggota manajemen grup kontraktor Jepang yang bertugas membangun Hotel Ambarukmo.
Konon, Ambarukmo Hotel, Bali Beach, dan Samudra Beach Hotel adalah Hotel Internasional yang dibangun Jepang sebagai bagian dari program pampasan perang Jepang untuk Indonesia.
Operasi penyelamatan
Tidak ada perbincangan istimewa hingga mereka tahu bahwa saya adalah mantan anggota Angkatan Udara Republik Indonesia. Mengetahui bahwa saya adalah prajurit Angkatan Udara, Bapak Toshimitsu menyampaikan kisah dramatis operasi penyelamatan 16 warga Jepang dari Jogyakarta ke Jakarta pada tahun 1965.
Mereka adalah empat dari 16 orang yang diselamatkan. Nenek di meja itu dulu adalah seorang guru yang mengajar di Universitas Gajah Mada. Sementara, empat kakek tersebut adalah anggota manajemen kontraktor yang membangun Hotel Ambarukmo.
Bapak Toshimitsu Morita, Goro Yamazaki, Tsuyoshi Hashiba, Hiroski Takahashi, dan Ibu Noriko Ishizaki yang duduk di meja sebelah kami dengan terbata-bata dalam bahasa campuran Jepang, Inggris, dan Indonesia menceritakan kisah yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
Dengan bantuan sahabat saya, orang Indonesia yang telah lebih 30 tahun tinggal di Jepang, sebagai penterjemah sukarela, Toshimitsu San dan teman-teman menceritakan kisah dramatis di tahun 1965 saat operasi pembasmian PKI tengah berlangsung di Jawa Tengah.
Situasi saat itu demikian chaos, tidak menentu, dan gawat. Segala kemungkinan terburuk bisa terjadi terhadap ke-16 orang Jepang tersebut. Dalam situasi yang menegangkan mereka dievakuasi oleh polisi dan prajurit Angkatan Udara ke Jakarta.
Ke-16 warga Jepang itu diterbangkan dari Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, ke Lanud Halim Perdanakusuma. Di tahun 1965 Lanud Halim masih steril dari kegiatan penerbangan komersil.
Mereka diterbangkan dengan pesawat fighter dan bomber AURI. Perlu beberapa kali pergi-pulang karena satu pesawat hanya mampu membawa satu atau dua orang.
Saya tidak begitu yakin dengan ceritanya tentang pesawat fighter dan bomber yang disebut-sebut digunakan untuk operasi evakuasi tersebut. Tetapi, Bapak Toshimitsu dengan yakin mengatakan bahwa dia tahu betul bahwa itu adalah pesawat jenis fighter dan bomber.
Kemungkinan besar, bisa saja yang dimaksud adalah beberapa pesawat latih antara pesawat T-34A Mentor yang merupakan pesawat latih di Sekolah Penerbang AU di Joggyakarta. Atau mungkin, bisa saja juga yang dimaksud dengan pesawat bomber adalah B-25 Mitchel yang dimiliki Angkatan Udara saat itu.
Pesawat tersebut masih digunakan saat Operasi Seroja di Timor-timur tahun 1970-an. Toshimitsu menutup ceritanya dengan mata berkaca-kaca menahan haru. Ia mengatakan, dirinya dan teman-temannya berhutang budi kepada Angkatan Udara Indonesia yang disebutnya sangat tulus menyelamatkan mereka. Mereka tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka hanya mendapat informasi bahwa sedang terjadi “kudeta”. Di Lanud Halim mereka dijemput oleh petugas Kedutaan Besar Jepang dan dipulangkan ke Tokyo dengan selamat.
Dua tahun setelah itu mereka kembali ke Indonesia, ke Yogyakarta, untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai. Itulah cerita Toshimitsu Morita dan teman-teman saat makan siang di sebuah restoran sushi di tengah keramaian kota Tokyo pada pertengahan Maret yang dibalut suhu dingin 5 hingga 10 derajat celcius. Walahualam bisawab.