Pada bulan Nopember tahun 2019 yang lalu, Pabrik Pesawat Terbang Boeing mengundang beberapa Aviation Safety Expert ke Seattle untuk diikutkan dalam kegiatan acara “product briefings, flight simulator sessions and a factory production tour” sebagai bagian dari program khusus “Boeing’s ongoing 737 MAX return to service activities”. Kebetulan sekali, dan beruntung saya adalah salah satu peserta yang diundang dalam program tersebut. Seperti diketahui oleh banyak pihak, kegiatan itu adalah bagian dari upaya Pabrik Boeing dalam menindaklanjuti proses “corrective action” setelah terjadinya dua kecelakaan fatal yang beruntun dari pesawat Boeing jenis 737 MAX 8 di Indonesia dan di Ethiopia.
Dalam kunjungan singkat di Seattle tersebut, saya banyak berjumpa dengan teman-teman Indonesia di Seattle, baik yang tengah bekerja di Pabrik Boeing maupun ditempat lain. Pada umumnya mereka bergiat pada bidang yang berhubungan erat dengan industri penerbangan. Salah satu dari beberapa teman yang berjumpa ketika itu adalah saudara Ir. Gautama Indra Djaya , President North America Inc. (anak perusahaan PTDI di Seattle USA). Dalam beberapa diskusi dengan saudara Indra Djaya, beliau sempat menyinggung sebuah peluang yang masih belum dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia yaitu tentang “offset opportunity”. Peluang tersebut adalah merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam rangka memperoleh porsi yang adil dan lebih proporsional dalam keuntungan dari pertumbuhan dunia penerbangan di dalam negeri belakangan ini. Pembelian pesawat terbang dalam dua dekade terakhir yang mencapai ratusan jumlahnya, masih belum terlihat manfaat optimal yang sebenarnya dapat diperoleh dari proses tersebut. Sebuah peluang yang sangat menarik dan dapat memberikan pemasukan devisa serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi insan dirgantara di Indonesia tanpa membebani pemerintah.
Indra Djaja menambahkan upaya untuk memperoleh offset saat ini memang telah dan sedang dilakukan PTDI dengan pihak Boeing. MOU terkait telah ditandatangani pada tanggal 22 Agustus 2018 di Washington DC dan diskusi intense dengan Boeing masih terus berproses sampai saat ini. Melihat pertumbuhan jumlah penumpang pesawat di Indonesia yang sangat besar dalam beberapa tahun kedepan, maka kebutuhan pesawat juga makin meningkat . Hal ini menjadikan posisi tawar yang tinggi bagi Indonesia untuk memperoleh offset dari pabrik pembuat pesawat. Mengingat semakin besarnya peluang offset dan agar dapat dikelola dengan baik serta tepat sasaran, maka alangkah baiknya jika pihak pemerintah Indonesia juga terlibat langsung dalam membuat sebuah kebijakan khusus tentang offset untuk pengadaan pesawat kedepannya oleh Maskapai Penerbangan di Indonesia. Hal seperti ini sebenarnya sudah pernah dilakukan untuk pengadaan alutsista seperti yang tercantum dalam UU 16 tahun 2012 yang mengatur keterlibatan kandungan lokal untuk pengadaan alutsista berupa offset dan atau countertrade.
Kemarin, saya sempat mengikuti untuk kesekian kalinya Webinar yang diselenggarakan oleh Kemenristek/BRIN dengan topik Roadmap Industri Penerbangan Indonesia yang dipandu oleh Kasubdit Industri Energi dan Transportasi, Wiwiek Yuliani. Beruntung saya telah diajak bergabung untuk pertamakalinya oleh Capt. Novyanto mantan Kepala STPI Curug (sekarang Kapuslitbang Transportasi Udara Kemenhub) pada bulan yang lalu. Webinar Roadmap Industri Penerbangan Indonesia menjadi sangat menarik, karena tentu saja saya berkesempatan berjumpa secara virtual dengan teman-teman yang aktif dalam dunia penerbangan. Disisi lain, saya juga mendapatkan banyak informasi bermanfaat yang up to date tentang perkembangan dunia penerbangan kita.
Pada Webinar kemarin itulah saya dapat mengikuti paparan yang sangat menarik dari Saudara Indra Djaya, sekali lagi tentang “offset opportunity”. Sebuah peluang yang pasti akan sangat bermanfaat bila dapat di kelola dengan baik bagi perkembagan dunia penerbangan Indonesia. Tertangkap antara lain mengenai peluang bagi berkembangnya INACOM (Indonesia Aircraft and Component Manufacture Association) dalam proses “offset opportunity” tersebut. Disamping itu, sebenarnya ada beberapa peluang bagus lainnya yang juga dapat dikembangkan dalam “offset opportunity” antara lain tentang “engineering work package” dan pengembangan MRO (Maintenance Repair and Overhaul) misalnya. Diskusi menjadi semakin menarik dan terbuka mengenai siapa atau institusi mana yang kiranya tepat untuk dapat mengelola dengan baik dan tepat sasaran “offset opportunity” itu.
Permasalahannya adalah Indonesia belum memiliki kebijakan yang fokus mengatur mekanisme offset opportunity ini. Sebuah kebijakan yang mengatur dalam hal pengadaan pesawat komersial yang bisa disiapkan oleh sebuah institusi resmi dalam jajaran pemerintahan dengan melibatkan semua industri terkait atau ekosistem industri penerbangan dalam memanfaatkan peluang offset tersebut. Kebijakan khusus yang harus dijadikan pedoman dasar dalam negosiasi awal dengan Pabrik Pesawat Terbang, pada proses pembelian, katakanlah seperti dengan Boeing dan lainnya.
Salah satu kemungkinan yang dapat dipertimbangkan adalah Kementrian Perindustrian yang sudah menjadi bapak asuh INACOM dan juga memiliki staf yang menangani tentang kandungan “local content” dalam proses pengadaan barang dari luar negeri. Perlu digaris bawahi , bahwa memang peluang offset dan juga countertrade bukanlah sesuatu hal yang baru bagi Indonesia, namun terlihat masih banyak lagi peluang yang dapat dikembangkan dalam memanfaatkan mekanisme peluang offset terutama dalam transaksi yang berjumlah miliaran US Dollar.
Singkat kata, pertemuan Webinar kemarin telah membuka banyak horizon baru bagi penggiat dan pencinta dirgantara Indonesia yang tidak memiliki interes, selain bercita-cita untuk melihat negeri ini dapat maju dan berdiri sejajar dengan negara-negara lain dibidang industri kedirgantaraan. Disadari atau tidak, kedirgantaraan atau “air and space” adalah masa depan umat manusia. Air and Space are our Future – Nenek Moyangku Orang Pelaut, anak cucuku Insan Dirgantara.
Jakarta, Sabtu 30 Mei 2020
Chappy Hakim,
Pusat Studi Air Power Indonesia