Belakangan ini muncul terminologi atau istilah baru ditengah masyarakat awam, sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 yaitu “New Normal”. Maksud dari istilah itu dipastikan semua orang sudah memahaminya yaitu ada yang baru yang harus dilakukan berkait upaya menanggulangi peneyebaran Covid-19. Salah satu persepsi umum dikalangan awam istilah New Normal adalah mewakili hal mendasar tentang keharusan PJS (Pakai masker, Jaga jarak dan Sering cuci tangan). Tentu saja istilah New Normal juga mewakili banyak hal tentang apa saja yang jadi berbeda karena harus di sesuaikan ketika Covid-19 merebak. Sampai disini sebenarnya sudah cukup jelas dan dapat dimengerti.
Dalam perkembangannya kemudian, ternyata mucul pro kontra dan banyak bermunculan pihak-pihak yang kurang setuju dengan istilah New Normal. Dipertanyakan tentang apanya yang New dan apa pula yang dimaksud dengan Normal. Nah, sampai disini maka istilah New Normal menjadi menarik untuk di bahas. Misalnya saja muncul usulan bahwa istilah yang lebih “pas” adalah penyesuaian terhadap kebiasaan yang baru atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), misalnya. Masalahnya, tetap saja akan muncul pertanyaan tentang kebiasaan apa dan apanya yang baru? Bagi kalangan tertentu yang memang sudah terbiasa dengan budaya bersih, maka sering cuci tangan bukanlah merupakan hal yang baru.
Tentu saja tidak ada yang salah dan sekaligus tidak ada juga yang dapat dianggap paling benar atau “pas”. Intinya adalah bahwa yang pasti bila orang mengatakan New Normal, maka kebanyakan orang akan mengerti atau memiliki persepsi yang sama. Demikian pula bila digunakan istilah AKB. Jadi terserah saja bagaimana nantinya perkembangan yang terjadi dikalangan masyarakat awam berprosesnya istilah New Normal dan AKB dan yang mana akan menjadi lebih sering digunakan. Peran media mainstream dan media sosial dalam hal ini menjadi sangat dominan. Pada akhirnya akan ada salah satu yang menjadi populer dan salah satu yang akan hilang. Akan tetapi bisa juga terjadi keduanya tetap digunakan, tergantung pada mereka lebih suka menggunakan yang mana.
Sekedar contoh dari sebuah istilah populer, yang tidak semua orang setuju menggunakannya yaitu terminologi “ulang tahun”. Budayawan kesohor Dr. Jaya Suprana, sangat tidak setuju dengan istilah ulang tahun. Menurut beliau tidaklah mungkin tahun itu akan ber ulang. Sangat masuk akal dan logis serta tidak dapat dibantah oleh siapapun, pendapat Bapak Jaya Suprana tersebut. Kenyataannya, tetap saja sampai detik ini pun masyarakat awam menggunakan istilah ulang tahun tanpa rasa bersalah, apalagi berdosa. Ketika Jaya Suprana merayakan hari kelahirannya, tetap saja para sahabat, teman dan handai taulan beliau mengucapkan “Selamat Ulang Tahun Pak Jaya Suprana”. Ha ha ha ha ha ha ha ha …..
Pada dasarnya sebuah istilah atau terminologi yang berkembang di masyarakat awam, tidak terlalu perlu untuk dipertentangkan sepanjang tidak memunculkan perbedaan persepsi yang menyolok dan berpotensi menimbulkan keributan sosial. Perlu digaris bawahi, bahwa istilah populer yang berkembang dikalangan masyarakat awam memang akan selalu bersifat dinamis dan temporer. Menjadi sangat berbeda bila terminologi atau istilah yang digunakan dalam salah satu bidang disiplin ilmu. Itu sebabnya, maka pada buku-buku yang membahas permasalahan dalam bidang tertentu, pasti selalu dilengkapi dengan “glossary” atau daftar pengertian dari istilah atau terminologi yang dipergunakan dalam pembahasan masalah terkait. Tujuannya agar tidak terjadi salah pengertian atau salah persepsi yang akan membuat kesalah pahaman.
Persoalannya adalah tidak sedikit istilah atau terminologi yang sama, memiliki pengertian yang berbeda atau bahkan bertentangan dalam bidang disiplin yang satu dengan lainnya. Contoh sederhana saja adalah tentang lalulintas yang macet. Pengertian “macet” bagi orang awam , mungkin sangat berbeda dengan pengertian “macet” bagi Polisi Lalu Lintas. Banyak orang menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan lalulintas yang “macet” antara lain dengan mengatakannya sebagai kondisi yang “padat merayap” dan beberapa lainnya lagi. Yang penting macet adalah mengandung makna yang mewakili pengertian bahwa aliran lalulintas tidak lancar.
Kembali kepada penggunaan istilah New Normal, kita serahkan saja kepada para ahli bahasa Indonesia untuk mengkaji dan menentukan sebuah istilah baku untuk New Normal yang akan dimuat dalam KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, untuk dijadikan acuan standar dalam penggunaannya.
Demikianlah, maka agar tidak terlalu dibebani lagi dengan pro kontra istilah New Normal, marilah kita semua bersama-sama berkonsentrasi mendukung segenap upaya Gugus Tugas Percepatan Penanganan dalam menanggulangi perkembangan Covid-19. Semoga badai covid-19 dapat cepat berlalu, Amin.
Jakarta 28 Juni 2020
Chappy Hakim