Terbang dengan pesawat Hercules di Papua, tidaklah sesulit terbang dengan menggunakan pesawat Dakota, terutama sekali pada rute tertentu yang melewati daerah pegunungan. Ditahun 1985 pada bulan Juni, saya menerbangkan pesawat C-130 H Hercules dengan nomor registrasi A-1319 dari Jayapura ke Wamena.
Dipagi hari yang cerah, lebih kurang jam 0600 waktu Papua, saya take off dari Sentani di Jayapura menuju Wamena. Berbeda saat menerbangkan pesawat Dakota yang terbang pada ketinggian dibawah ketinggian puncak pegunungan Jayawijaya, maka dengan Hercules saya dengan mudah dapat terbang diatas ketinggian pegunungan Jayawijaya untuk kemudian baru turun menuju lembah baliem dimana terletak kota Wamena.
Masalah yang cukup berbahaya adalah pada saat pesawat melewati jajaran pegunungan Jayawijaya sebelum mencapai lembah Baliem, lokasi dari Wamena. Untuk pesawat-pesawat yang tidak memiliki kemampuan terbang tinggi maka caranya adalah dengan terbang diantara celah-celah dilereng pegunungan Jawawijaya tersebut. Celah-celah ini disebut sebagai Gap yang diikuti dengan nama tempat disitu. Beberapa diantaranya adalah Gap Bokondini, North Gap dan lain-lain. Salah satu yang populer adalah Gap Bokondini karena posisinya yang sangat menguntungkan dengan kawasan yang cukup luas untuk bermanuver dan secara statistik, cuaca di Bokondini juga mewakili kondisi cuaca di atas Wamena. Demikianlah disalah satu Gap menuju lembah Baliem, saya melihat sebagian gumpalan awan menutupi dengan sedikit ruang di sebelah kanan dari lereng gunung yang tinggi itu ada daerah yang terbuka. Pelahan saya menurunkan pesawat menuju kearah lereng gunung yang terbuka dengan harapan dapat langsung masuk kearah kawasan lembah Baliem.
Filosfi terbang di daerah pegunungan, terutama dalam proses mendekat ke lapangan terbang adalah harus terbang visual. Sepintas kolom udara yang terang tadi terlihat bersih dari awan. Ternyata setelah saya mendekat, lereng gunung seluruhnya tertutup awan yang berwarna putih menyilaukan. Saya telah salah melihat dinding lereng itu dari ketinggian, yang ternyata setelah dekat tidak ada sedikitpun celah yang dapat ditembus secara visual. Semua tertutup awan, namun sudah terlambat, saya terlanjur masuk awan. Saya sadar, ini adalah keputusan yang sangat berbahaya. Tidak berpikir panjang saya segera “open throttle”, menambah power dan mengangkat pesawat untuk menanjak kembali keketinggian untuk keluar dari awan. Suara dari empat mesin yang bergemuruh dan gerakan yang agak kasar dari pesawat yang saya angkat dipastikan membuat crew lainnya dan penumpang bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Mereka semua tidak mengetahui apa yang sebenarnya tengah berlangsung.
Hanya saya dan Kopilot yang tahu persis kondisi penerbangan yang tengah dihadapi. Tidak sampai satu menit, pesawat segera keluar dari dalam awan yang pekat dengan gerakan yang laksana mobil di jalan penuh berlubang cukup dalam. Kokpit yang saat itu sangat dingin, tetapi saya berkeringat , panik. Dalam kondisi bergejolak keras, pesawat berada dalam posisi menanjak dan miring kearah kanan, sementara terlihat jelas , ujung sayap sebelah kiri yang sangat dekat bahkan hampir menyenggol lereng gunung. Sekuat tenaga saya mengangkat hidung pesawat sambil kembali menambah power mesin untuk dapat segera terbebas dari kungkungan lereng gunung yang tertutup gumpalan awan di pegunungan Jayawijaya yang terlihat anggun, dingin dan menyeramkan, ditambah dengan suara deru mesin pesawat yang mengaum dan alhamdullillah, keluar dengan selamat terbang visual kembali diatas puncak gunung. Sementara didepan terlihat lembah Baliem yang indah membentang dihadapan pesawat tanpa ada awan sedikit pun.
Hanya sedikit saja kurang sabar, saya masuk kedalam awan, kedalam posisi yang sangat berbahaya. Mungkin hanya satu atau dua detik saja saya terlambat mengambil keputusan untuk segera menaikkan pesawat sesaat masuk awan tadi, tidak tahu apa yang akan terjadi, karena sayap pesawat akan menyenggol lereng gunung disitu. Tidak habis saya bersukur, selamat dari maut. Maut yang sebenarnya merupakan kesalahan saya sendiri dalam mengambil keputusan yang keliru saat menembus Gap di pegunungan Jayawijaya. Sejak itu, bila terbang di daerah pegunungan, sedetik pun saya tidak akan ambil risiko untuk menembusnya. Pelajaran mahal yang saya alami di penerbangan menuju lembah Baliem.
Jakarta 17 Mei 2012 (diambil dari isi buku :”saya pengen jadi pilot”)
Chappy Hakim
5 Comments
Halo pak Chappy 🙂
Terima kasih sudah berbagi cerita yg menakjubkan ini 🙂
Satu pertanyaan saya habis baca tulisan bapak, kalau seandainya melewati pegunungan ketika didepan ada awan pekat lebih baik langsung menaikan ketinggian ketika menembusnya atau putar arah menghindari awan?
salam
purwo
pengalaman yang sangat mencekam sekali pak, kalimat yang paling menarik yaitu suasana kokpit dingin tapi keringat keluar betapa panik nya saat itu disisi lain penumpang tidak tahu apa2……
…..,saya rutin bolak balik qatar-indonesia menggunakan pesawat tentunya…hanya cukup berdoa saja…Ya Allah hanya engkau yang bisa menundukkan kendaraan ini….sesungguhnya kami tidak kuasa menundukkan sama sekali kendaraan ini….amin…
tetap semangat untuk terus menulis demi kemajuan penrbangan kita…
Sharing yang sangat menarik pak….terima kasih.
pengalaman yang luar biasa Pak, dituturkan dengan cara yang luar biasa.
Terus menulis Pak,
-salam-
Saya bisa membayangkan ketegangan Bapak. Penggambaran yang luar biasa Pak.
Seandainya semua perwira tinggi diharuskan bisa menulis dan berkarya untuk naik pangkat sebagaimana seorang doktor untuk bisa jadi profesor ……tentu akan banyak bahan bacaan yang menarik yang bisa ikut mencerdaskan bangsa ini.
Terus berbagi Pak….Insya Allah bermanfaat