Dirut Pertamina dianggap tidak tahu “adat”? Melanjutkan tulisan tentang DPR dan Pertamina, menarik untuk dapat ditelaah lebih dalam tentang Rapat Dengar Pendapat atau kerap dikenal juga dengan istilah RDP.
Dari pengalaman saya pribadi, RDP ini sangat mengganggu pekerjaan institusi terkait. Karena biasanya pihak DPR selalu menentukan sendiri jadwalnya dan bahkan kadangkala memaksa atau memberikan pilihan yang sulit untuk dapat dikompromikan. Yang pasti , biasanya sebagian besar instansi kemudian mengalah untuk mengikuti saja kemauan DPR.
Berikutnya, yang membuat RDP itu menjadi tidak karuan berjalannya adalah kenyataan bahwa RDP di DPR tidak pernah bisa dilangsungkan tepat waktu sesuai dengan apa yang tertera di undangan mereka sendiri. Sudah molor waktunya, kemudian biasanya dimulai bila para anggota sudah mulai dianggap memenuhi quorum .
Pelaksanaan sidang sangat tidak tertib dan sambil sidang berjalan, mereka mulai berdatangan satu persatu. Begitu sesi tanya jawab dimulai, maka mereka berebutan untuk bertanya. Pertanyaan biasanya dilakukan dengan kata-kata yang tidak sopan dan kasar dan juga terkadang tidak berdasar fakta. Tidak semua anggota DPR, akan tetapi sebagian besar demikian adanya. Lebih gawat lagi, banyak yang bertanya panjang lebar nggak karuan dan, kemudian setelah itu meninggalkan ruang sidang seenaknya.
Itulah gambaran dari sebagian besar para anggota yang “terhormat” itu menunjukkan kekuasaannya.
Luar biasa ! Mereka itu sama sakali tidak menghargai tamunya. Kembali kepada saat mereka menghadapi Pertamina, dan saya percaya juga terjadi dengan instansi –instansi lainnya, pada umumnya pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan “kekuasaan” semata. Sangat Arogan.
Mereka menempatkan dirinya sebagai penguasa yang tiada tara dan memberlakukan mitra nya sebagai terdakwa atau pesakitan di pengadilan. Pada umumnya sebagian besar instansi mitra DPR bersikap mengalah saja, dengan moto “yang waras lebih baik mengalah”. Kemungkinan besar, Pertamina kali ini tampil berbeda dengan jajaran pimpinan sebelumnya. Inilah yang membuat para anggota DPR “shocked”. Mereka terlanjur terbiasa dengan sikap mengalah atau takut terhadap mereka. Mengapa yang satu ini koq “berani” ?
Arogansi mereka, sangat sering kita saksikan diberbagai media dengan suara-suara yang lantang berkata “Saya akan panggil itu si A ! “, “saya akan panggil itu si B!” dan lain-lain. Konon beberapa waktu yang lalu mereka kena batunya, karena Menhan Yuwono Soedarsono, menjawabnya dengan “saya tidak akan datang bila dipanggil DPR !” “saya hanya akan datang bila di undang” Ini sebenarnya kan sebuah teguran keras dari seorang pejabat terhadap tingkah laku yang tidak sopan dari mereka itu. Namun, ya dasar memang mereka tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa memahami nya sebagai satu teguran.
Karena kesombongan dan sikap yang sangat melecehkan itu juga, maka mereka tidak pernah mau membuat satu tata cara dan tata tertib dan atau mekanisme pelaksanaan RDP dan atau juga “fit and proper test”. Sehingga dengan demikian, terlihatlah bagaimana “ngawur” nya pelaksanaan rapat-rapat di DPR tersebut. Mungkin kita masih ingat pada saat “fit and proper test” Calon Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto. Sidang itu, selain sudah molor pada waktu memulainya, kemudian pelaksanaannya sampai berlangsung lebih dari 12 jam ! Rapat macam apa itu ? Lebih-lebih lagi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selain tidak bermutu juga dilakukan berulang-ulang. Sama sekali tidak ada pertanyaan yang cerdas dan berpola dan ada hubungannya dengan syarat pelaksanaan tugas seorang Panglima TNI.
Kemudian kalau kita bandingkan dengan “fit and proper test” lain yang ada sesuatunya dibelakang layar, maka rapat akan berjalan lancar dan sama sekali tidak memerlukan waktu sampai dengan 12 jam lebih. Buktinya ? Sudah dibeberkan dengan sangat jelas oleh salah satu anggota DPR itu sendiri yaitu saudara Agus Condro. Nah, dengan demikian sulit sekali kita untuk dapat membantah kecurigaan orang awam tentang apa yang terjadi pada RDP dengan Pertamina tempohari itu. Bisa saja , kemudian orang menghubung-hubungkan proses terpilihnya Dirut Pertamina dengan apa yang telah dibeberkan oleh Agus Condro. Sidang yang tidak ada “isi” nya biasanya akan berlangsung “alot” dan lama sekali serta penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang kurang sedap didengar, atau juga ternyata tidak mustahil akan berakhir dengan pengusiran ?
Sebaliknya dari itu, sidang akan berlangsung dengan sangat nyaman, bila sesuatu sudah atau akan segera diselesaikan secara “adat”. Sampai disini tentu menjadi jelaslah apa yang dimaksud dengan “adat” itu. Itu pula lah sebabnya, mungkin, maka sampai dengan saat ini, sidang RDP dan fit and proper test tidak pernah dibuatkan semacam petunjuk pelaksanaannya agar dapat berlangsung praktis dan efisien, dan juga dapat diselesaikan secara adat. Jadi , kesimpulannya saya sangat khawatir, kemungkinan besar Dirut Pertamina yang baru ini adalah pejabat yang dianggap oleh DPR sebagai figur baru yang tidak tahu “adat” ? !