PERINGATAN HUT TNI tanggal 5 Oktober 2017 telah menjadi catatan sejarah tentang bagaimana momentum hari bersejarah itu telah secara tidak langsung dapat saja dianggap sebagai “telah menaikkan” elektabilitas Presiden Jokowi.
Yang pertama adalah bagaimana atau betapa sambutan singkat Presiden pada upacara yang megah itu telah menciptakan persepsi sebagai konfirmasi dari telah selesainya “gonjang-ganjing” berita simpang siur tentang Panglima TNI, yang dianggap oleh sementara pihak sudah mulai berpolitik.
Hal ini menjadi lebih tegas dan gamblang lagi dengan pernyataan Panglima TNI sendiri tentang kesetiaan TNI terhadap negara.
Dengan sederhana, maka tanggal 5 oktober 2017 dapat saja dianggap sebagai hari di mana gonjang-ganjing pemberitaan mengenai Panglima TNI menjadi selesai. Kesimpulan lainnya adalah menggarisbawahi tentang kekuasaan Presiden atas angkatan perangnya menjadi “jelas kembali”.
Berikutnya adalah tentang Presiden Jokowi yang terjebak macet dan harus berjalan kaki sepanjang jarak yang katanya tidak kurang dari 2 kilometer.
Apa pun yang menjadi penyebabnya, maka hal tersebut pasti masuk dalam catatan negatif dari proses kaji ulang nantinya tentang penyelenggaraan HUT ke-72 TNI.
Yang menjadi istimewa adalah munculnya beberapa komentar dari sebagian orang yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi sudah sepatutnya menyampaikan terima kasih kepada Panglima TNI, dalam hal ini Panitia Perayaan HUT TNI 5 Oktober 2017 yang telah “memaksa” Presiden berjalan kaki sepanjang jarak 2 kilometer dengan kostum upacara kenegaraan jas dan dasi.
Persoalannya adalah Presiden Jokowi mendapatkan nilai yang sangat mahal harganya dari pengamatan rakyat akar rumput bahwa betapa rendah hatinya Presiden Republik Indonesia.
Bukannya “marah besar” karena harus berjalan kaki jauh, dengan pakaian jas dan dasi di tengah teriknya matahari, akan tetapi justru menikmati olahraga jalan kaki sambil tidak lelah menyapa masyarakat yang berkumpul di sepanjang jalan menuju tempat upacara.
Pemilihan presiden (pilpres) memang masih lama, masih 2 tahun lagi, dan pemilihan Presiden ini adalah adegan pemilihan presiden untuk periode kedua bagi Presiden Jokowi.
Tidak diperlukan banyak analisis tentang bagaimana Presiden Jokowi menjalani masa jabatan periode pertama kepresidenannya dalam hal strategi menghadapi pilpres masa jabatan kedua pada 2019.
Masalahnya menjadi sangat menarik, apabila diperhatikan tentang bagaimana dulu Wali Kota Solo Jokowi menghadapi proses pemilihan Pilkada Wali Kota Solo untuk masa kedua kalinya.
Dalam salah satu bagian ceramahnya tentang leadership di Yogyakarta, semasa masih menjabat Wali Kota Solo, Pak Jokowi menceritakan bagaimana kejadian sesungguhnya dari proses pilkada tersebut. Pilkada untuk masa jabatan kedua wali kota Solo.
Pak Jokowi mengatakan kepada seluruh staf terdekatnya bahwa ia akan mengakhiri masa jabatan Wali Kota Solo pada masa jabatan yang pertama saja. Kontan, serta-merta seluruh staf pendukung dekatnya mengatakan, “Jangan Bapak, Bapak tetap harus mencalonkan diri lagi karena Bapak masih dibutuhkan oleh masyarakat Solo sebagai Wali Kota”.
Kata-kata inilah kemudian yang dikembalikan lagi kepada para stafnya itu dengan penutup, “Bila memang benar apa yang kalian katakan, buktikan itu!”
Tindakan kelanjutan dari ucapan beliau adalah Pak Jokowi masuk dalam pemilihan wali kota untuk putaran kedua dengan “tanpa kampanye”. Itu merupakan sebuah refleksi dari keinginan beliau melihat bahwa apa yang diucapkan para staf dan pendukungnya itu “benar” adanya.
Singkat cerita, Jokowi terpilih lagi sebagai Wali Kota solo dengan perolehan suara yang lebih dari 90 persen, sekali lagi tanpa kampanye.
Pertanyaan sederhana sekali, yang akan menutup uraian ini adalah, akankah Presiden Jokowi akan mengulang peristiwa di Solo beberapa tahun yang lalu itu?
Yang jelas dan loud and clear adalah momentum 5 Oktober memberikan pengaruh yang sangat positif bagi fundamental elektabilitas Jokowi sebagai seorang presiden. Dirgahayu TNI.
[wp_ad_camp_1]