Menjelang hari Angkatan Udara tanggal 9 April, berikut ini saya turunkan cuplikan tulisan dari buku “Saatnya berbagi Pengalaman dan Rasa” yang ditulis oleh Marsekal TNI Purn Sukardi, Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia tahun 1982 – 1986.
Marsekal Purn Sukardi bercerita tentang orang-orang yang luar biasa, sebagai berikut:
Sekitar tahun 1955, sebuah pesawat C-47 DAUM crashed landing di lapangan terbang Singkawang II, Kalimantan Barat. Sayap kiri patah, mesin kiri beserta propeller nya rusak berat dan kedua roda pendarat pesawat Dakota patah. Kesemuanya harus diganti, kerusakannya demikian besar dan melihat kondisi lapangan terbang yang amat sederhana tanpa peralatan dan fasilitas pendukung lainnya, rasanya sulit dibayangkan bagaimana Dakota tersebut bisa diselamatkan.
Hasil penelitian team teknik depo pemeliharaan AU ditempat kejadian sungguh mencengangkan kita semua. Pesawat Dakota yang rusak berat itu masih bisa diselamatkan. Rupanya bagi depo pemeliharaan AU tiada hal yang tidak mungkin. Itulah kenyataannya kemudian. Dan upaya-upaya penyelamatan segera dirancang. Semua kebutuhan alat peralatan suku cadang, mesin, propeller, roda pendarat, teknisi, minyak, bensin dan sayap kiri pengganti yang patah, semuanya harus didatangkan dari Bandung. Bagaimana mungkin? Memang peralatan-peralatan teramasuk mesin pengganti masih bisa diangkut dengan pesawat C-47 Dakota, satu-satunya pesawat angkut yang dimiliki oleh AURI masa itu. Bagaimana dengan sayap kiri pengganti yang demikian gede itu? Melalui darat tidak mungkin, melalui laut juga tidak mungkin. Melalui udara, tidak bisa dibayangkan. Tidak mungkin sayap pesawat itu di potong-potong atau di preteli agar bisa di angkut dengan pesawat C-47 Dakota.
Tetapi lagi-lagi, keputusan yang sangat-sangat mengejutkan diambil. Sayap pengganti harus diangkut melalui udara dengan pesawat C-47 Dakota DAUM sendiri. Bagaimana caranya? Kali ini teknologi dikalahkan oleh akal. Akal orang-orang yang sangat mencintai tugasnya dengan dedikasi tinggi. Mereka adalah teknisi-teknisi yang tergabung dalam bengkel dan satuan-satuan pemeliharaan dijajaran Depo Pemeliharaan AU. Saya sendiri menyaksikan upaya-upaya itu karena semuanya berkaitan dengan Skadron DAUM-Andir pada masa saya bergabung sebagai penerbang muda kurang lebih satu tahun sebelumnya.
Sayap kiri pengganti ditempelkan pada bagian bawah luar perut Dakota dengan kedua roda pendarat tetap diluar (tidak dimasukkan). Selama penerbangan ferry dari Bandung ke Singkawang II di Kalimantan Barat kedua roda pendarat tetap menjulur keluar. Dengan konfigurasi seperti itu kecepatan jelajah Dakota hanya 125 mph (biasanya 145 mph). Bisa dibayangkan hanya akal, tekad, kecerdikan dan kecintaan pada tugas dari para teknisi handal saja yang bisa menyelesaikan masalah yang demikian rumit di lapangan yang terpencil itu. Bravo !
Lalu siapa penerbang pemberani yang sejak awal perencanaan selalu mengikuti dan berada di bengkel pemeliharaan Bandung itu. Ia adalah Kapten Udara Patah, Komandan Skadron DAUM itu sendiri, penerbang transport senior lulusan India. Kita mesti hormat, kagum dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang pilihan dan pemberani yang penuh dedikasi, beserta seluruh teknisi dan crews yang terlibat dalam upaya menyelamatkan aset negara yang sangat berharga dan sangat dibutuhkan waktu itu. Berkat kesigapan orang-orang seperti itulah upaya penyelamatan dan pengoperasian kembali armada angkut DAUM terpulihkan kembali.
Delapan tahun kemudian, pada tahun 1963 dan 1964 terjadi dua kecelakaan terbang dengan dua C-130 B pada lapangan terbang Pekanbaru dan lapangan terbang Ranai di Natuna. Kebetulan kedua kecelakaan tersebut dilakukan oleh Pilot dan Copilot yang sama. Kedua nya terperosok keluar landasan pada waktu mendarat siang hari. Kondisi landasan masih sederhana, dari rumput dengan panjang kurang lebih 1000 meter dan lebar 30 meter.
Kerusakannya pun boleh dikatakan sama yaitu right main landing gear rusak berat, kedua nose wheel juga rusak berat. Dan semuanya harus diganti. Perlu waktu kurang lebih tujuh hari untuk memperbaiki pesawat. Perbaikan yang dilakukan bersifat sementara, karena diperlukan peralatan-peralatan khusus. Nose Wheel dan Main Landing Gear diperbaiki sedemikian rupa supaya pesawat bisa diterbangkan ferry langsung ke Depo 010 di Lanuma Husein Sastranegara. Baik nose wheel maupun landing gear tetap pada posisi down (extended) selama penerbangan ferry dari Pekanbaru dan Ranai ke Bandung. Dengan konfigurasi demikian kecepatan jelajah C-130 B turun menjadi hanya 160 Kts ( normalnya 310 Kts). Selanjutnya perbaikan-perbaikan yang harusnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan peralatan-peralatan dan teknisi-teknisi yang ahli dibidangnya. Sekitar dua minggu kemudian C-130 B tersebut di release kembali untuk tugas-tugas operasional yang waktu itu sedang sibuk-sibuknya.
Sekali lagi itulah karya teknisi-teknisi yang profesional yang sangat bisa diandalkan.
Hal-hal diatas hanya beberapa contoh perbaikan berat/besar yang dilakukan diluar “home base” dengan berhasil. Itu semua adalah prestasi Depo Pemeliharaan AU yang perlu kita ingat dan kita banggakan. Saya tidak akan lupa barang sejenak, karena saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bangga bekerjasama dengan Depo Pemeliharaan AU, satuan pemeliharaan AURI yang handal.
Tiada operasi udara yang berhasil tanpa dukungan yang terus menerus dari satuan-satuan teknik dan bengkel teknik udara. Keberhasilan operasi-operasi udara di Indonesia berangkat dari peran besar yang dimainkan oleh teknisi-teknisi berbakat dan handal.
Operasi-operasi udara penghancuran RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI/Permesta, Trikora (pembebasan Irian Barat) dan Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) semuanya berhasil dirampungkan berkat dukungan-dukungan tenaga-tenaga teknisi berkelanjutan yang tidak kenal lelah.
Operasi Trikora adalah operasi militer besar-besaran dan jangka panjang yang melibatkan alat-alat perang modern dari AD, AL dan AU. Khususnya AU melibatkan kekuatan-kekuatan udara taktis dan strategis. Mulai dari C-47 Dakota, P-51 Mustang, PBY 5 / Albatros, B-25 Mitchell, Mig-17, Il-28, C-130 B Hercules dan TU-16 serta TU-16 KS.
Peralatan modern tersebut, sayangnya tidak didukung oleh infrastruktur didarat yang memadai. Hal ini berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan operasi udara besar-besaran dan berjangka panjang.
Teknisi dibutuhkan kehadirannya sejak dari home base yang kebanyakan berada di Pulau Jawa sampai dengan pangkalan-pangkalan depan yang masih sangat sederhana / terbatas fasilitasnya. Misalnya kurang lebih 20 pesawat Mig-17 mesti dipereteli dan diangkut dengan C-130 B untuk bisa sampai di pangkalan depan seperti Morotai. Satu C-130 B hanya mampu mengangkut satu buah Mig-17 beserta peralatan-peralatan dan teknisinya. Begitu juga teknisi-teknisi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pesawat-pesawat IL-28, TU-16/TU-16 KS. Setibanya di Morotai, pesawat-pesawat Mig-17 yang dipereteli harus secepatnya dipasang kembali menjadi utuh sehingga mampu berfungsi. Itulah teknisi-teknisi handal dari bengkel-bengkel dan satuan-satuan pemeliharaan dijajaran AURI. Tanpa mereke burung-burung besi itu semua tidak bermakna apa-apa. Dan operasi udara akan terhambat bahkan bisa gagal total karenanya.
Ketekunan, semangat kerja yang menyala-nyala dan berani tanding. Hanya kemenangan yang bersemayam dibenak mereka , teknisi yang militan. Itulah sikap yang patut di suri tauladani. Dan saya bangga bekerja bersama mereka, orang-orang tauladan. Tanpa mereka kami hanya deretan burung-burung besi yang tidak berdaya. Bersama mereka kami adalah rajawali yang siap dan siaga menjaga kedaulatan, keutuhan dan keselamatan tanah air dan bangsa. Itulah teknisi terampil, cekatan dan handal yang tergabung dalam satuan-satuan pemeliharaan dan bengkel-bengkel di lingkungan depo pemeliharaan AU. Mereka bekerja penuh semangat tanpa mengenal waktu dan tempat. Ditangan orang-orang terampil dan penuh dedikasi itulah kesiapan operasional burung-burung rajawali terwujudkan. Keberhasilan dan kelangsungan operasi-operasi udara merupakan buah tangan mereka, orang-orang luar biasa. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang saya kagumi, saya puji dan segani.
Jakarta 2 April 2011