Pendahuluan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa, menghadapi tantangan geografis yang luar biasa dalam membangun konektivitas nasional. Wilayahnya yang luas, terdiri dari daratan, laut, dan pegunungan tinggi, membuat kebutuhan akan sistem transportasi udara menjadi sangat vital. Moda udara memiliki keunggulan dalam menjangkau wilayah-wilayah terpencil yang tidak dapat diakses oleh transportasi darat maupun laut, serta berperan penting dalam mempercepat distribusi logistik, layanan kesehatan, pendidikan, dan pertahanan negara. Namun demikian, realitanya sistem perhubungan udara Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan mendasar seperti ketimpangan infrastruktur, dominasi rute-rute komersial besar, kurangnya perhatian terhadap wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), serta lemahnya kedaulatan dalam pengelolaan wilayah udara sendiri. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan dan pelaksanaan sistem perhubungan udara yang komprehensif, adaptif, dan berkeadilan untuk menjawab tantangan strategis ini.
Tantangan Geografis dan Kebutuhan Sistemik. Topografi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan kawasan pegunungan menuntut adanya sistem transportasi udara yang tidak hanya andal tetapi juga responsif terhadap kebutuhan lokal. Banyak daerah, terutama di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara, yang hanya dapat dijangkau melalui jalur udara. Ketimpangan infrastruktur bandara dan layanan udara telah menciptakan kesenjangan mobilitas antarwilayah, yang pada akhirnya mempengaruhi pembangunan ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Transportasi udara yang efektif harus mampu menjembatani wilayah-wilayah yang terisolasi agar tercipta pemerataan akses dan pembangunan.
Tata Kelola dan Kedaulatan Udara. Isu kedaulatan udara menjadi krusial dalam konteks sistem transportasi udara nasional. Hingga saat ini, sebagian wilayah udara Indonesia, terutama di wilayah barat, masih berada di bawah pengelolaan negara lain melalui Flight Information Region (FIR) yang kemudian di kukuhkan melalui perjanjian RI Singapura tahun 2022. Hal ini bukan hanya berdampak pada aspek teknis pengelolaan penerbangan, tetapi juga menyentuh ranah kedaulatan negara dan pertahanan nasional. Pengelolaan wilayah udara nasional harus sepenuhnya berada di bawah kendali Indonesia dengan memperkuat otoritas sipil dan militer dalam pengawasan wilayah udara. Koordinasi yang erat antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan TNI Angkatan Udara menjadi sangat penting untuk menjamin keamanan dan efisiensi lalu lintas udara nasional.
Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi. Pengembangan bandara perintis di wilayah terpencil perlu menjadi prioritas utama pemerintah. Selain itu, diperlukan modernisasi sistem navigasi dan pengawasan lalu lintas udara dengan teknologi seperti ADS-B (Automatic Dependent Surveillance–Broadcast), radar sekunder, dan sistem komunikasi digital. Untuk menjawab tantangan geografis, Indonesia juga perlu mengadopsi dan berusaha untuk mampu memproduksi sendiri pesawat-pesawat kecil STOL (Short Take-Off and Landing), VTOL (Vertical Take-Off and Landing), pesawat amfibi, serta pengembangan drone kargo untuk layanan logistik di daerah pegunungan atau pulau pulau kecil. Inovasi teknologi ini harus didukung oleh kolaborasi antara industri dalam negeri seperti PTDI, lembaga riset, dan perguruan tinggi.
Subsidi, PSO, dan Kebijakan Afirmasi. Untuk memastikan konektivitas yang merata, pemerintah harus terus memperkuat skema Public Service Obligation (PSO) dalam sektor penerbangan. Subsidi ini krusial agar maskapai tetap bersedia melayani rute-rute yang tidak menguntungkan secara komersial tetapi vital secara sosial dan strategis. Evaluasi berkala terhadap efektivitas program PSO harus dilakukan agar dana negara digunakan secara optimal dan benar-benar menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Khusus dalam hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang bahwa Negara harus memiliki Maskapai Penerbangan sendiri dalam perspektif tugas tugas pelayanan masyarakat dan dukungan administrasi logistik tata kelola pemerintahan disamping sebagai bisnis transportasi yang berada dibawah kendali penuh negara.
Integrasi Antar Moda dan Sistem Nasional . Sistem transportasi udara nasional tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus terintegrasi dengan moda transportasi lain seperti pelabuhan laut, jaringan jalan nasional, dan bahkan jalur kereta api di daerah tertentu. Konsep hub and spoke dapat diterapkan dengan menjadikan bandara besar sebagai pusat distribusi utama dan bandara perintis sebagai simpul pendukung yang melayani rute pendek dan cepat. Integrasi ini akan meningkatkan efisiensi logistik dan mempercepat mobilitas barang dan orang. Kesemuanya harus berada dalam sebuah sistem besar secara nasional. Pelajaran mahal dari amburadulnya Soekarno Hatta yang berlanjut menggangu Lanud Halim dan gagalnya pembangunan Kertajati seyogyanya dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk perencanaan sistem perhubungan udara kedepan.
SDM dan Industri Dalam Negeri . Pengembangan sistem perhubungan udara yang ideal juga menuntut penguatan sumber daya manusia dan industri strategis dalam negeri. Pendidikan dan pelatihan bagi pilot, teknisi, petugas ATC, dan manajer transportasi harus diperluas hingga ke daerah. Pusat pelatihan penerbangan di wilayah timur Indonesia perlu dibangun untuk menciptakan kemandirian lokal. Industri kedirgantaraan nasional juga harus didukung agar mampu memproduksi dan merawat sendiri pesawat kecil yang sesuai dengan kondisi geografis Nusantara.
Kesimpulan . Transportasi udara memiliki peran yang sangat strategis dalam menjamin integrasi nasional Indonesia sebagai negara kepulauan. Sistem perhubungan udara yang ideal adalah sistem yang tidak hanya efisien secara teknis dan ekonomis, tetapi juga adil secara geografis dan sosial. Untuk itu, diperlukan sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga sipil dan militer, serta sektor publik dan swasta dalam membangun jaringan udara nasional yang berdaulat, merata, dan berkelanjutan. Pembangunan sistem ini bukan semata-mata proyek infrastruktur, melainkan fondasi utama bagi kedaulatan, keadilan, dan kemajuan Indonesia di abad ke-21. Pembangunan nasional sistem perhubungan udara yang berlandas pada kajian akademik dan masukan dari pengalaman lapangan harus di olah dalam sebuah wadah Think Tank yang terdiri dari mereka yang kompeten dibidang masing masing.
Referensi:
- Soesilo, I. G. M. (2003). Pengantar Transportasi Udara. Erlangga.
- Hakim, C. (2010). Pertahanan Negara di Udara. Penerbit Buku Kompas.
- ICAO (2022). Airspace Management Manual.
- IATA (2020). Smarter Regulations for Aviation Infrastructure in Asia Pacific.
- UNESCAP (2019). Regional Connectivity in Asia and the Pacific.
- Badan Kebijakan Transportasi (2020). Evaluasi Kebijakan PSO Penerbangan Perintis di Indonesia.
- Rodrigue, J. P. (2020). The Geography of Transport Systems.
- Bappenas (2020). RPJMN 2020–2024: Penguatan Industri Strategis Nasional.
- Boeing (2022). Pilot and Technician Outlook.
Jakarta 30 Maret 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia