Beberapa hari yang lalu secara kebetulan saya berkumpul di kantor teman. Secara kebetulan juga yang berkumpul ini rada-rada lengkap mewakili banyak bidang kegiatan. Ada teman yang orang bisnis, ada teman orang politik, teman penggiat agama dan juga teman sesama pensiunan. Pendek kata relatif lengkaplah, sipil militer dan lain-lain.
Setelah ngalor ngidul berbicara, sampailah pada topik yang sangat menarik yaitu berandai-andai siapa gerangan yang akan terpilih menjadi presiden di tahun 2009 ?.
Setelah tiga sampai empat teman, terutama teman orang politik menguraikan analisis analisis yang akan terjadi, lengkap dengan teori-teori yang tidak ketinggalan mengacu kepada data statistik dan juga menggunakan referensi lembaga-lembaga survey kenamaan maupun kagetan, sampailah mereka masing-masing kepada kesimpulan bahwa yang akan terpilih nanti adalah ya orang yang mereka inginkan untuk jadi presiden. Mulanya, saya hanya senang saja mendengarkannya. Saya memang senang mengikuti acara-acara talk show di televisi maupun dalam kesempatan lain.
Diluar dugaan, mungkin mereka juga sudah merasa jenuh dengan analisis-analisis nya, saya diminta pendapat tentang siapa yang akan terpilih menjadi presiden 2009 nanti. Teman-teman tahu betul bahwa saya memang orang yang tidak suka berpolitik, namun senang juga mengikuti perkembangannya dan saya juga dikenal sebagai orang yang tidak begitu berminat untuk menganalisis sesuatu yang berhubungan dengan antara lain pemilihan presiden. Tetapi saya senang saja untuk mendengarkan debat-debat yang penuh argument mulai dari yang ilmiah sampai dengan mistik sekalipun. Saya menolak untuk memberikan pendapat, namun saya katakan saya akan meramal saja.
Mereka agak keget, sejak kapan saya menggeluti dunia ramal meramal? Lalu siapa yang akan di ramal akan menjadi presiden 2009? Langsung saja saya jawab bahwa yang akan terpilih menjadi presiden 2009 adalah SBY.
Saya bukan anggota tim sukses SBY, bukan anggota partai Demokrat dan juga bukan orang yang mengharapkan sesuatu bila SBY terpilih. Itu tadi, makanya saya namakan saja ini ramalan. Ramalan itu bisa benar dan juga terutama sekali bisa salah atau jauh panggang dari api. Karena ramalan saya ini tidak ada dasar atau argument ilmiah maupun menggunakan referensi badan atau lembaga survey professional atau bayaran dan pesanan. Ramalan ini juga tidak menggunakan data statistik yang dibuat dengan dukungan hitungan yang matematis.
Ramalan ini saya sebut saja, hanya menggunakan pendekatan yang “biasa-biasa saja”. Mari kita mulai !
Dalam pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung, maka yang akan menentukan adalah suara yang datang dari mereka yang berada di akar rumput. Siapakah mereka dan bagaimana mereka, itulah sebenarnya yang harus dipelajari dengan seksama. Dari pengamatan biasa dan dalam kurun waktu yang cukup lama, maka saya sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang ada di akar rumput ini adalah ternyata dari golongan orang yang biasa.
Mari kita dalami lebih dalam lagi. Kita mulai dengan melihat kondisi sarana transportasi kita. Lalu lintas semrawut, padat tidak keruan, angkutan masyarakat yang minim dan jumlah motor yang selalu bertambah terus seperti deret hitung, sehingga jalan-jalan sudah tidak kita ketahui lagi mana rambu-rambu yang benar dan mana yang salah. Jalanan macet nggak keruan, dan tiba-tiba saja ada sirene motor dan atau mobil meminggirkan orang-orang yang telah lama antri untuk hanya sekadar memberi jalan kepada kendaraan pejabat dan atau juga bukan pejabat, tapi yang pasti “bos”. Lampu lalu lintas sudah menjadi dekorasi saja karena tidak ada lagi yang mematuhi nya dan juga tidak ada tindakan bagi mereka yang melanggar nya.
Motor dan angkot lalu lalang seenaknya saja, menurunkan ditengah jalan, berhenti tunggu penumpang di tikungan dan lain dan lain lain, seolah dianggap biasa saja. Tidak ada perhatian dari pemda untuk coba mengatasinya dengan komprehensif, biasa. Apabila ada ya hanya basa basi saja, biasa juga. Tidak ada yang memprotes. Kalau ada pun ya hanya satu dua orang saja.
Moda transportasi lainnya ya setali tiga uang. Tiap hari ada kereta api anjlok, ya biasa saja. Pesawat terbang bolak balik celaka, sekali-sekali masuk laut, gelosor keluar landasan, bawa masuk lagi terus terbang lagi ya nggak apa-apa juga. Pesawat terbang kesasar, mendarat di landasan yang salah, berangkat lagi walaupun belum diperiksa KNKT, ya biasa aja. Di ban UE, di down grade oleh FAA dan ICAO ya biasa-biasa saja. Kapal laut tenggelam, ribuan meninggal dunia dan hilang, kemudian diketahui muatan yang terlalu banyak, ya biasa juga. Tidak lama setelah itu ya di muat lagi, penuh lagi. Biasa.
Minyak tanah antri, gas antri, bensin antri, biasa. BBM naik karena harga minyak dunia naik, kemudian harga minyak dunia turun, BBM tidak ikut turun, biasa. Kemudian ternyata turun setelah banyak desakan, tetapi hanya sedikit turunnya, ya nggak pa-apa, biasa.
Ada pemboran yang kemudian ternyata memindahkan Kuala Lumpur dari Malaysia ke Sidoarjo, biasa. Kesalahan bor dikatakan bencana alam, biasa. Ganti rugi menyalahi janji, biasa.
Ada organisasi olah raga bergengsi, dipimpin oleh nara pidana, biasa juga. Jadi ya semuanya itu biasa.
Jangan salah sangka, untuk kali ini ,kesemuanya ini tidak ada hubungannya dengan “protes” atau mengkritik, karena dengan ini saya hanya ingin memotret gambaran utuh dari masyarakat akar rumput kita. Mereka ternyata adalah orang biasa. Dan mereka juga mempunyai perasaan yang biasa juga. Biasa dalam arti, semua yang dihadapi itu ya biasa, jadi ya diterima saja.
Kesemua itu juga tidak akan dilihat sebagai kesalahan atau tanggung jawab seorang presiden. Karena mereka orang biasa, maka melihat masalah dengan biasa, jadi mereka tahu bahwa semua masalah yang dihadapi tersebut seharusnya ya hanya akan dapat diatasi oleh kita semua yang berkepentingan, semua orang yang biasa itu. Akan tetapi karena tidak ada yang memelopori atau mengajak nya berbuat mengatasi kesulitan tersebut ya mereka pun bersikap biasa lagi. Dengan ini saya hanya akan tegas kan, bila mereka disuruh memilih presiden pada pemilihan presiden nanti ya mereka akan memilih presiden, siapa? Ya… presiden ….SBY.
Mengapa ? ya itu tadi, mereka melihat SBY sebagai presiden biasa juga, presiden yang punya perhatian kepada rakyat nya, pintar mencipta lagu dan menyanyi, tinggi besar, gagah, santun dan seterusnya dan seterusnya , seperti biasanya seorang presiden yang setiap hari mereka saksikan di TV dan surat kabar. Mereka tidak melihat bahwa kesulitan hidup yang mereka alami ini sebagai kesalahan seorang presiden, mereka beranggapan tidak ada hubungannya sama sekali antara kesulitan hidup dengan figur seorang presiden.
Salah satu bukti dari ramalan dengan pendekatan biasa ini adalah, pada saat banyak para elit menggiring orang untuk membenci TNI yang dengan jurus dwifungsinya telah menyengsarakan rakyat selama lebih dari 30 tahun, mereka justru, dalam pemilihan presiden langsung(yang sulit untuk dapat direkayasa) memilih Tentara menjadi presiden nya. Karena sebagai orang biasa, kalau harus memilih pemimpin ya mereka harus cari tentara yang biasa memimpin. Jangankan Presiden, untuk memilih ketua RT saja, kalau ada anggota atau mantan anggota Tentara, maka pilihan utamanya pasti ya tentara itu. Jadi itu lah ramalan saya.
Mudah-mudahan, pak Pepih tidak memuat ulang tulisan saya ini nanti di tahun 2009.
Ternyata kita ini, terutama lapis dari akar rumput negeri ini terdiri dari orang yang biasa. Orang biasa dengan pendekatan yang biasa dan juga dengan reaksi yang biasa biasa saja. Mereka cukup nyaman dengan kondisi yang biasa ini. Buktinya, tidak ada gejolak apapun dengan kondisi yang seperti ini. Agar kita tidak menjadi frustrasi, saya pikir marilah kita membiasakan diri juga untuk menjadi orang biasa. Sampai jumpa di 2009 !