Pada tahun 1962, dikenal satu badan bernama DEPANRI, Dewan Penerbangan Republik Indonesia yang ketuanya adalah Menteri Pertama RI, Ir. H. Djuanda dan sekretarisnya dari Angkatan Udara RJ Salatun. Sekedar untuk diketahui salah satu lingkup dari kegiatan DEPANRI adalah tentang “Pengembangan Kebijakan Kedirgantaraan Nasional”.
Di era itulah, sampai dengan lebih kurang tahun 1980-an terlihat, arah perkembangan industri penerbangan nasional yang tergambar dalam konsep dan konteks yang jelas. Untuk penerbangan domestik rute utama dan penerbangan Internasional diberikan tanggungjawab pengembangannya kepada Maskapai sang pembawa bendera , Garuda Indonesian Airways. Ditangan Garuda inilah, kehormatan dan kebanggaan serta promosi bangsa Indonesia dipanggung global dalam penyelenggaraan angkutan udara dipertaruhkan.
Garuda dipimpin oleh seorang Pilot kawakan bernama Wiweko, penerbang Asia pertama yang pernah menembus samudra pasifik (dari Auckland, AS ke Jakarta) seorang diri dengan pesawat terbang. Itu sebabnya, sebagai pimpinan sebuah Maskapai dia mampu berorientasi kepada bidang penerbangan secara total. Sebagai Pilot, dia tau saat membeli banyak pesawat sekaligus dia persiapkan SDM-nya.
Wiweko tidak hanya menganalisis dan membahas tuntas dalam hal memilih pesawat terbang yang cocok untuk digunakan di Negara kepulauan ini bersama dengan pabrik pesawat kenamaan didunia, akan tetapi juga merancang disain kokpit pesawat yang sangat spektakuler sepanjang sejarah.
Wiweko telah merubah awak kokpit menjadi hanya dua orang saja.(two men forward facing crew cockpits) Disain yang tadinya ditentang habis-habisan oleh FAA, Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan Amerika Serikat, kini justru telah menjadi standar baku dari disain kokpit pesawat angkut internasional. Saat itu Garuda sang pembawa bendera melesat maju di angkasa Asia, Eropa dan bahkan pernah sampai ke Amerika Serikat.
Didalam negeri sendiri, sebagai Negara yang berbentuk kepulauan terbesar di dunia, tentu saja moda angkutan udara menjadi sarana sangat penting dalam pengelolaan Negara dalam konteks pembangunan dan pemerataan pembangunan.
Pemerintah memulai upaya menembus isolasi pada daerah-daerah terpencil dipelosok tanah air dengan memanfaatkan penerbangan Angkatan Udara yang saat itu menyelenggarakan DAUM, Dinas Angkutan Udara Militer. Berlanjut dari itu, kemudian dikenal Maskapai Penerbangan Merpati yang melayani rute-rute domestik dengan terminologi penerbangan perintis.
Dibawah kepemimpinan antara lain Marsda TNI Santoso, Merpati Nusantara sukses dalam mengelola penerbangan perintis di Indonesia kawasan Timur terutama Papua dan Maluku dengan pesawat-pesawat kecil Twin Otter buatan Canada. Disamping itu berkembang pula beberapa Maskapai penerbangan lainnya, menopang kebutuhan angkutan udara Indonesia yang memang tidak bisa hanya dilakukan oleh Garuda dan Merpati saja.
Paralel dengan itu, Kementrian Perhubungan dengan API, Akademi Penerbangan Indonesia nya, secara reguler menghasilkan para penerbang, teknisi pesawat terbang dan juga tenaga ATC, Air Traffic Control sesuai kebutuhan yang berkembang. Disamping itu antisipasi pembangunan infra struktur penerbangan terlihat menjadi perhatian yang cukup baik dari pemerintah dengan antara lain pembangunan banyak pelabuhan-pelabuhan udara di daerah serta rencana pembangunan Soekarno Hatta International Airport di Cengkareng. Nah, itulah semua gambaran masa lalu dari dunia penerbangan kita yang sangat berorientasi pada pengembangan bidang aviasi secara profesional, tidak semata-mata kepada pertimbangan komersial belaka.
Berubah Arah
Lima belas sampai dua puluh tahun terakhir ini, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan bidang angkutan udara nasional. Hal tersebut tidak saja sebagai akibat dari begitu pesatnya kemajuan teknologi penerbangan, akan tetapi juga pertumbuhan arus pergerakan orang dan barang terjadi begitu fantastis diseluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sayangnya, fenomena ini hanya dihayati sebagai gejala pertumbuhan di bidang ekonomi dan atau finansial semata. Dengan demikian sangat mudah mencermati apa yang terjadi. Orang berlomba-lomba mendirikan Maskapai Penerbangan, yang dengan sendirinya membuat perlombaan juga terjadi dalam hal pengadaan pesawat terbang.
Pada kondisi konsentrasi yang hanya tertuju pada upaya mencari keuntungan belaka, maka yang terjadi adalah hal-hal yang sangat merugikan khalayak ramai pengguna jasa angkutan udara. Bertambahnya dengan pesat Maskapai Penerbangan dan jumlah pengadaan pesawat dalam waktu yang relatif singkat, maka sarana pendukung penerbangan menjadi kedodoran.
Pilot, teknisi, tenaga ATC, Inspektor Penerbangan dan tenaga kerja bidang aviasi menjadi defisit. Demikian pula sarana infra struktur penerbangan seperti bandara, alat bantu navigasi, radar pengawas lalu lintas udara, pesawat kalibrasi dan alat komunikasi menjadi jauh dari memadai. Kondisi ini juga menghasilkan banyak orang yang me-manage maskapai penerbangan dengan latar belakang pengetahuan yang sangat kurang dibidang “aviation”.
Persaingan usaha yang ketat dibidang angkutan udara telah disikapi secara vulgar sebagaimana layaknya persaingan usaha dibidang niaga semata. Kemungkinan terhadap terjadinya pelanggaran dari aturan dan ketentuan yang berlaku menjadi sangat besar.
Itulah yang kita saksikan sekarang ini, penambahan yang luar biasa dari Maskapai Penerbangan dan pengadaan besar-besaran pesawat terbang yang tidak seirama dengan rencana pengadaan sdm serta pengembangan infra struktur penerbangan yang dimiliki.
Saat ini dapat dikatakan bahwa hampir semua bandara mengalami “over” kapasitas dan hampir semua Maskapai “kekurangan” Pilot dan Teknisi, disamping Kementrian Perhubungan yang memang sudah kekurangan Inspektor dibidang Penerbangan. Hasil yang harus dinikmati adalah, peluang akan terjadinya begitu banyak kecelakaan pesawat terbang dinegeri ini, sebagai akibat dari unsur keamanan terbang yang menjadi terabaikan.
Pembinaan Penerbangan di Indonesia telah berubah arah orientasi, dari industri aviasi sebagai bagian dari pembangunan nasional ke aspek “cari-untung” belaka. Arah yang menuju “bahaya”.
Mencari Solusi
Dari uraian itu semua, kira-kira sudah waktunya untuk mengkaji ulang kondisi ini dan melihat apakah peran satu institusi sejenis Depanri dijaman dulu harus kembali lagi dalam kancah penataan penerbangan nasional di Indonesia. Dengan sdm dan infra struktur yang tersedia apakah tidak sebaiknya kita hanya memiliki 4 atau 5 saja Maskapai Penerbangan yang jelas visi dan misinya bagi rakyat banyak dinegara kepulauan ini. Mana Maskapai yang ditugaskan untuk rute domestik terbatas dan internasional dan mana yang harus mengembangkan penerbangan perintis. Jenis pesawat apa dan dalam jumlah berapa yang memang sangat diperlukan untuk rute internasional, domestik dan perintis.
Tidak sekedar mendorong Maskapai mengadakan pesawat besar beratus-ratus jumlahnya tanpa tujuan yang jelas. Demikian pula pertimbangan yang menyeluruh dari antisipasi penyiapan infra struktur dan sdm termasuk petugas ATC tidak boleh luput dari perhatian. Penerbangan Nasional memang butuh penataan ulang secara komprehensif, yang tidak hanya berorientasi kepada pola mencari keuntungan semata. Dengan demikian dapatlah kiranya diharapkan, bom waktu yang kini tengah bergulir jalur detiknya terutama di Soekarno Hatta dapat segera dijinakkan. Mudah-mudahan.
Jakarta 21 Desember 2011
Chappy Hakim,
Chairman, CSE Aviation.
Sumber : Artikel di Koran Kompas halaman 7 tanggal 20 Desember 2011
3 Comments
Permasalahannya di-regulasi pak.. dan kendalanya di negara ini regulasi bisa “dinegosiasikan”.. perlu ada seseorang yang berani dan tidak mudah goyah untuk mendobrak kebiasaan ini..
salam kenal & hangat Pak Chappy.
mengenai hal tersebut diatas, yang harus berbenah itu pihak Angkasa Pura II sebagai Pengelola Bandara atau Pihak Dirjen Perhub.udara sebagai regulator?
terima kasih
Yang paling bertanggung jawab sebenarnya Kementrian Perhubungan, tetapi dilapangan pihak AP 2 yang harus menindaklanjuti dan juga senantiasa mengantisipasi dalam menghadapi masalah penerbangan yang selalu bergerak dinamis ! terimakasih atas perhatiannya.