Lebih kurang dua minggu lagi, kita semua akan merayakan hari kemerdekaan negara kita. Bagi mereka yang pada tahun 1950-an tinggal di Jakarta, pasti masih ingat bagaimana dan betapa suasana Jakarta dalam merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada waktu itu.
Biasanya, di tanggal 17 Agustus, Presiden Soekarno akan berpidato di Istana Merdeka, kemudian dilanjutkan dengan defile dari barisan pasukan pengikut upacara, antara lain pasukan berbaris melintas dengan senjata yang terhunus bayonetnya. Pagi saat pidato Bung Karno, kota Jakarta seakan terlihat sebagai kota mati, sebagian besar warga Jakarta hadir dan berada di depan Istana Merdeka dan warga lainnya tinggal di dalam rumah , mendengarkan pidato melalui Radio yang saat itu hanya RRI saja yang ada. RRI menyiarkan siaran pandangan mata peringatan hari proklamasi langsung dari Istana Negara. Televisi belum ada. Terkadang juga ada pawai kendaraan berhias keesokan harinya. Petang hari ditanggal 17 itu anak-anak sekolah di seluruh Jakarta berkumpul di Halaman Istana mengikuti kegiatan yang dikenal dengan nama “aubade”.
Ditahun 1954 sampai dengan 1960, saya sekolah di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Petojo Jagamonyet, tidak jauh dari Pabrik Es Sari Petojo. Sejak bulan Mei atau Juni, saya kurang begitu ingat, anak-anak sekolah di Jakarta sudah melakukan latihan aubade di Stadion Ikada, Lapangan Gambir, sekarang sudah menjadi kawasan Monas. Anak-anak sekolah dari seluruh Jakarta, diantar dengan menggunakan Truk terbuka dari sekolah masing-masing menuju ke Stadion Ikada. Dimulai dengan seminggu sekali, kemudian seminggu dua atau tiga kali menjelang bulan Juli dan Agustus. Di Stadion Ikada, anak-anak ini berlatih bernyanyi lagu-lagu perjuangan, diiringi Korps Musik Kepolisian Negara yang dipimpin oleh Bapak RAJ Soedjasmin. Beliau adalah seorang perwira menengah Polisi, memimpin korps musik Polisi dan anak-anak sekolah yang begitu banyak dengan hanya memegang tongkat kecil ditangan kanannya.
Kewibawaan beliau dalam memimpin sangat terasa, begitu beliau mengangkat tongkat kecilnya, segera satu stadion sunyi senyap. Beberapa detik setelah itu, begitu beliau menggerakkan tongkatnya, mulailah berbunyi suara musik sebagai intro lagu. Saat anak-anak harus mulai bernyanyi, Pak Soedjasmin mengubah arah tubuhnya ke tempat duduk anak-anak sekolah, dan lebih bersemangat lagi menggerakkan kedua tangannya sebagai aba-aba, kemudian mulailah mereka bernyanyi. Kenangan yang sangat indah. Anak-anak sangat bersemangat bernyanyi. Lagu-lagu yang dinyanyikan antara lain, 17 agustus tahun 45, Sukur, Padamu Negeri, Berkibarlah benderaku, Indonesia Tanah Airku dan lain-lain. Semua lagu itu dinyanyikan dengan penuh penghayatan. Anak-anak sekolah, tidak terlihat yang bercanda satu dengan lainnya saat menyanyikan lagu-lagu perjuangan itu. Jujur, kami selalu merinding bila tengah menyanyikan lagu-lagu tersebut dengan hikmat. Menjelang magrib, latihan selesai, semua anak sekolah diantar kembali dengan Truk ke sekolah masing-masing. Beberapa ada yang dijemput ayah ibunya, sementara saya dan kakak saya berjalan kaki pulang kerumah yang kebetulan dekat dengan stadion Ikada. Kami tinggal di Jalan Segara 4 nomor 4, sekarang jalan segara bernama jalan Veteran dan jalan Veteran 4 sudah tidak ada karena telah menjadi halaman, bagian dari wisma Negara dan Masjid Baiturrahim.
Aubade di petang hari berlangsung di lapangan rumput, halaman Istana Negara, dekat sekali dengan tangga Istana. Selesai bernyanyi dalam aubade tersebut Presiden menyampaikan Pidato kepada anak-anak semua. Beliau berdiri di mimbar dekat Pot Bunga besar disisi samping panggung kehormatan. Semua anak-anak melaksanakan kegiatan latihan di Ikada dan lebih-lebih aubade di Halaman Istana, dengan penuh semangat , bangga dan juga dengan rasa hati yang senang sekali. Mereka semua merasa bangga selalu menjadi bagian dari kegiatan peringatan hari kemerdekaan negaranya walau baru sebatas cakrawala pandang anak-anak.
Atmosfer dan suasana menjelang perayaan 17 Agustus, selalu sudah terasa, jauh sebelum bulan Agustus. Rasa bangga sebagai Orang Indonesia rasanya tertebar pada dada seluruh orang di Jakarta. Banyak dari mereka yang menjahit sendiri bendera merah putih yang kainnya dibeli di pasar tanah abang untuk kemudian dikibarkan didepan rumah masing-masing. Di kali ciliwung selalu dilangsungkan pawai perahu yang penuh dihias bendera-bendera merah putih kecil bergelantungan pada tali yang dipasang dari depan hingga bagian belakang perahu. 17 Agustus yang selalu penuh gairah membara diseluruh kota dan juga bagi semua warganya.
Kini, semua tinggal kenangan. Kini, menjelang dua minggu lagi 17 Agustus, sama sekali tidak terasa hawa atau gairah akan menjelang peringatan hari kemerdekaan. Kini yang terasa adalah hawa dari panasnya gejolak Nazaruddin dan suasana orang-orang yang tengah berusaha membubarkan atau mempertahankan KPK dan lain sebagainya. Suasana yang hadir adalah nuansa hiruk pikuk, amburadul, jalanan macet serta semua muncul kepermukaan, tidak terkecuali hiruk pikuk para elit yang tengah berebut pengaruh, yang kesemuanya tidak ada hubungannya dengan hari kemerdekaan.
Sekali lagi, kini semua tinggal kenangan. Kenangan yang penuh dengan jiwa dan semangat heroik dari kebanggaan satu bangsa yang “MERDEKA”.
Jakarta 30 Juli 2011
Chappy Hakim