KONON kabarnya, sebentar lagi jalur penerbangan sipil komersial pada lintasan selatan pulau Jawa akan dibuka. Sebuah peluang yang sudah sejak puluhan tahun lalu dituntut untuk segera dibuka bagi memfasilitasi penerbangan sipil komersial agar menjadi lebih “hemat fuel” atau mengirit bahan bakar.
Walaupun belakangan, justru kini isunya berubah menjadi efisiensi dalam hal pengaturan kepadatan penerbangan sipil komersial yang sudah amat sangat mengganggu. Tidak begitu jelas apa gerangan sasaran utama dari langkah yang kemudian akan sedikit “merepotkan” manajemen latihan pesawat-pesawat terbang tempur Angkatan Udara yang memerlukan ruang “bebas” dalam upaya mencapai sebuah tingkat “combat readiness” tertentu sesuai kaidah universal dari standard praktis siap tempur Angkatan Udara di mana pun.
Dibukanya jalur selatan Jawa hanya akan memberikan perbedaan waktu jam terbang tidak lebih dari 30 hingga 45 menit saja dibanding dengan jalur standar yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Di samping itu, terobosan ini pun bukanlah solusi dalam berhadapan dengan kepadatan penerbangan sipil komersial yang tengah terjadi belakangan ini.
Kepadatan yang terjadi belakangan ini lebih bermuara kepada antrean take off dan landing yang sudah nyaris membuat putus asa para Air Traffic Controller, terutama di Jakarta (Cengkareng dan Halim) dan beberapa kota lainnya di sekitar pulau Jawa dan Bali. Tidak banyak manfaat yang akan diperoleh dari membuka jalur selatan Jawa bila hal tersebut ditujukan untuk mengurangi sekuel antrean take off dan landing di Jakarta , Surabaya, Bali dan sekitarnya.
Pokok permasalahan utama adalah fasilitas infrastruktur pesawat dalam take off dan landing di bandara (di-darat) yang sudah sedemikian “parah”, dan sama sekali bukan pada “airways” atau jalur penerbangannya sendiri.
Sementara itu, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dari pengelolaan “Flight Training” dari sekian banyak skadron “fighter aircraft” yang selama ini berada dalam ruang yang “leluasa” bergerak untuk latihan, sebagai salah satu standar keamanan dan keselamatan terbang.
Fighter Aircraft, pesawat terbang tempur yang manuver-manuvernya adalah jauh di luar manuver yang biasa dilakukan oleh pesawat terbang sipil komersial. Pesawat terbang tempur yang bahkan melakukan sedemikian banyak variasi gerak dan kecepatan yang hingga mencapai lebih dari kecepatan suara.
Manuver-manuver pesawat terbang tempur yang tidak hanya akan terbang solo, sendirian, akan tetapi juga terbang dalam formasi 2 atau 3 atau bahkan lebih dari 4 atau 5 pesawat.
Manuver-manuver yang tidak berada dalam batasan kolom udara tertentu dengan terbang yang hanya lurus-lurus saja layaknya pesawat terbang sipil komersial, akan tetapi juga “un-usual” manuver dalam bentuk aerobatic.
Tidak pula terbatas kepada terbang solo aerobatik, akan tetapi juga latihan-latihan aerobatik dalam formasi beberapa pesawat.
Dipahami bahwa semua itu memang dapat saja dengan mudah diatur bersama, antara lain dengan “distribusi vertikal” kolom udara yang akan dipergunakan.
Pertanyaannya adalah, apakah peralatan Air Trafic Control dan Radar Pemandu serta SDM yang mengawakinya sudah dipersiapkan untuk itu? Apakah perencanaan dari berhamburannya manuver pesawat terbang tempur yang selama ini berada di ruangan tersendiri (steril) untuk dimasuki “jalur penerbangan sipil komersial” di tengah-tengahnya sudah dipersiapkan dengan baik?
Belum lagi bila melihat lebih jauh jenis latihan terbang fighter aircraft yang terkadang melakukan latihan “air to air combat” dan “air to ground strike” (menggunakan peluru, roket dan bom) di wilayah yang selama ini bebas, dan aman dapat dipergunakan. Untuk diketahui, terdapat “air weapon range“, wilayah lapangan tembak-roket dan bom udara untuk latihan di selatan pantai Jawa.
Sekali lagi, memang semua dapat saja untuk dilakukan pengelolaan dalam membagi wilayah latihan dengan jalur airways bagi penerbangan sipil komersial.
Berikutnya, apakah memang sudah diperhitungkan apabila pada satu saat berhadapan dengan kondisi cuaca yang buruk dan atau emergency yang dialami pesawat terbang tempur fighter aircraft yang sedang latihan. Kondisi yang bisa saja terjadi setiap saat.
Apakah sudah dipertimbangkan bahwa dalam salah satu situasi emergency, fighter aircraft prosedurnya antara lain adalah “bail-out”, sang pilot akan keluar dari kokpit dengan “ejection-seat”, kursi lontar?
Pesawat yang sudah tidak ber-pilot dan sang pilot yang sudah keluar dengan “ejection-seat” akan jatuh ketanah yang tidak mustahil akan memotong jalur “airways” penerbangan sipil komersial.
Logikanya adalah mustahil untuk dapat mengatur lintasan jatuhnya pesawat yang sudah ditinggalkan pilot serta parasut sang pilot untuk tidak melintas memotong jalur airways penerbangan sipil komersial. Belum lagi bila saat emergency yang dialami tersebut pesawat sedang menjalankan latihan dengan membawa peluru, roket dan bom sungguhan.
Di mana pun di permukaan bumi ini, merujuk antara lain pada aspek “air-inteligence”, wilayah udara yang dialokasikan bagi Flight Training untuk skadron Fighter Aircraft adalah sebuah kawasan yang terbatas atau “restricted area” dan bahkan “temporary danger area“.
Menjadi sangat ironis jadinya, bahwa ada kawasan jalur penerbangan sipil komersial di daerah wilayah udara kedaulatan kita di selat Malaka di-blocked bagi kepentingan “danger area” negara tetangga, sementara wilayah yang seharusnya menjadi “danger-area” di kawasan latihan dan kandangnya pesawat terbang tempur kita sendiri justru kita buka bagi jalur airways penerbangan sipil komersial.
Kesemua yang diutarakan ini adalah sama sekali bukan hal yang “baru”, melainkan masalah yang sudah disampaikan berulang-ulang kali sepanjang kurun waktu yang berpuluh-puluh tahun lamanya kepada pihak otoritas penerbangan sipil nasional.
Bila kini memang sudah diputuskan demikian, harapannya adalah memang sudah dilakukan kajian yang matang dengan susunan perencanaan yang sudah diuji-coba dengan sasaran bahwa kerangka dari “National Civil Military Aviation Safety” tetap menjadi penjuru bagi keseluruhan kepentingan bagi keputusan yang diambil.
Sekali lagi dapat dipastikan semua yang diutarakan ini pasti sudah disampaikan pada tingkat tertentu dari semua lapisan pemangku kepentingan secara berjenjang.
Dipercaya, bahwa sejatinya bagi Angkatan Udara, apapun yang sudah menjadi keputusan atasan dalam hal ini pemerintah tidak akan ada jawaban, selain dari “siap-kerjakan”.
Beberapa teori menyebut tentang Mid air collision atau tabrakan pesawat di udara, kemungkinannya adalah satu dari juta-an penerbangan, akan tetapi realita menunjukkan bahwa mid-air collision bukan suatu hal yang mustahil. Sejak tahun 1930 hingga tahun 2015, tidak kurang dari 50 civil-miltary mid air collision tercatat dalam sejarah kelam penerbangan dunia.
Semoga derap langkah penerbangan sipil komersial di Indonesia tidak menambah lagi catatan kedalam ukiran sejarah muram penerbangan global.
Jakarta, di pertengahan bulan kemerdekaan RI ke 72.
[wp_ad_camp_1]