Chappy yang memang senior di bidang penerbangan Indonesia menyatakan bahwa terdapat dua hal yang menjadi garis merah hikmah dari musibah SSJ 100. Pertama, berkaitan dengan standar kualitas penerbangan Indonesia di mata global. Meski Indonesia telah menjadi bagian dari PBB yang dengannya pun menandai ketergabungannya dalam ICAO (International Civil Aviation Organisation), tetap kita tidak dikategorikan lulus ICAO Standards. Perlu diketahui, ICAO Standards menjadi landasan FAA (Federal Aviation Administration), sebuah institusi penguasa administrasi penerbangan Amerika yang berwenang kuat dalam kancah penerbangan dunia.
Indonesia oleh FAA dikategorikan menjadi kelas 2. Kelas 2 yakni kategorisasi penerbangan bagi negara yang tidak memenuhi kelayakan standar ICAO. Negeri kita tercinta ini masih kalah dengan Malaysia, Singapura, Suriname, Nigeria, Brunei, bahkan Fiji, salah satu negara kecil dunia.
Kedua, terkait dengan lemahnya ATC Indonesia. ATC (Air Traffic Control) merupakan pihak yang kuasa mengatur jalannya lalu lintas penerbangan dan bertanggung jawab atas kontrol laju pesawat. Di Indonesia, ATC masih berada di bawah beberapa instansi yang menyebabkan pengaturannya tidak optimal. Dunia internasional menyetandarkan agar pelayanan ATC, navigasi penerbangan, dan pelayanan di airport terpisah menjadi single provider. Sayangnya negara kita belum sanggup memenuhinya sehingga tak jarang ini menyebabkan kacaunya lalu lintas penerbangan kita.
Dunia penerbangan memiliki progresivitas sangat tinggi. Pada tahun 2011 saja terdapat 800 pesawat baru masuk dalam lalu lintas udara tanah air. Masyarakat semakin membutuhkan akses transportasi yang satu ini demi kemudahan migrasi yang kian padat lajunya. Itulah mengapa kita perlu konsen terhadap permasalahan dunia aviasi ini. Masalah penerbangan di negeri ini bukan lagi sekedar perihal teknis. Ia telah menyangkut permasalahan kebijakan. Dalam diskusi IP tersebut terumuskan bahwa banyak gap (jurang) terjadi dalam sistem hukum negeri. Ada perbedaan antara UU yang berlaku dengan kebijakan yang keluar. Pun ada jenjang antara kebijakan dengan pengimplementasiannya di kehidupan nyata.
Yang menjadi keterdesakan dalam hal ini adalah pertama, perlunya upaya menekan pemerintah (pushing the government). Tak dipungkiri, segala ihwal kehidupan negeri tak lepas dari andil pemerintah sebagai decision law maker and executor.
Kedua, penyadaran tingkat tinggi pada masyarakat. Kesadaran tersebut berkaitan dengan peningkatan awareness masyarakat bahwa mereka akan terbang. Terbang berarti siap menerima segala risiko atasnya. Pesawat jauh berbeda dengan alat transportasi darat yang jika macet dapat dibenahi di pinggir jalan. Pesawat jauh memiliki risiko kaitannya dengan keselamatan jiwa. Dengan begitu, masyarakat akan benar obey the rule (menaati aturan). Hal-hal seperti keterlambatan datang ke bandara, overload barang, dan ketidakpatuhan lain layaknya dihapuskan jika memang ingin perbaikan pada dunia aviasi negeri.
Dunia aviasi negeri memiliki masa depan panjang yang sayang jika terputus lantaran ketidakprofesionalan kita. Bila tak ada perbaikan signifikan, bisa jadi wewenang aviasi negeri seluruhnya diserahkan pada negara tetangga. Ke depan mungkin kita akan kelimpungan jika ini terjadi. Bayangkan saja. Kita harus meminta izin terbang dari Singapura jika ingin terbang dari Jakarta-Makassar. Jika tidak, izin kita harus jauh-jauh mohonkan pada Australia yang memang telah kredibel dalam penerbangan negaranya.
Tiga hal utama yang diberi garis tebal oleh moderator yakni kedisiplinan, pengawasan, dan law enforcement (penguatan hukum) menjadi pemungkas agenda diskusi Institut Peradaban tentang Sukhoi. Ketiganya menjadi klimaks kunci pembenahan dunia aviasi Indonesia tercinta.
Jakarta 30 Juni 2012
Ditulis Oleh :
Sofistika Carevy Ediwindra,
Pada Tanggal : 28 – 06 – 2012 | 10:11:45
(Sofistika Carevy Ediwindra/Wasathon.com)