Pada setiap terjadinya kecelakaan pesawat terbang, semua orang akan segera bertanya, apa gerangan yang menjadi penyebabnya.
Sebagai produk dari sebuah hasil teknologi mutakhir, konon pesawat terbang adalah moda transportasi yang paling aman di dunia. Masalahnya adalah mengapa kecelakaan kerap terjadi juga?
Mungkin tidak begitu banyak yang memahami bahwa pada setiap produk teknologi mutakhir ada sebuah mekanisme yang harus dikerjakan dalam pengoperasiannya. Mekanisme yang tidak bisa ditawar-tawar atau di kompromikan sekecil apapun.
Itu sebabnya maka dalam dunia penerbangan tuntutan akan kepatuhan terhadap aturan ketentuan regulasi dan prosedur tidak mengenal kompromi.
Begitu ada ketentuan, prosedur atau regulasi yang dilanggar, maka hal itu sudah cukup memberikan peluang besar bagi datangnya musibah alias kecelakaan yang sangat tidak kita inginkan.
Untuk menjelaskan tentang hal ini, maka dapat diuraikan sebuah contoh dari kecelakaan Air Asia yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Di awal saat terjadinya kecelakaan, karena lokasi dan waktu itu memang sedang berada dalam keadaan cuaca yang kurang bagus, maka dengan cepat berkembang persepsi bahwa kecelakaan terjadi karena faktor cuaca.
Satu kesimpulan yang dikenal sebagai kesimpulan yang “jump to conclusion”. Karena pada hakikatnya sebuah kecelakaan pesawat terbang tidak akan pernah diketahui apa yang menjadi penyebabnya, sebelum proses investigasi selesai dilakukan.
Pada pengumuman resmi dari KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) tanggal 1 Desember 2015 yang lalu, kemudian disebutkan secara gamblang bahwa komponen yang cacat merupakan faktor utama penyebab kecelakaan pesawat terbang Air Asia.
Dalam uraian lainnya disebutkan bahwa dalam investigasi kecelakaan pesawat terbang Air Asia QZ8501, KNKT menemukan adanya kerusakan berulang pada Rudder Travel Limiter (RTL), bagian dari alat kemudi pesawat.
Bahkan tercatat, 23 kerusakan sepanjang Januari-Desember 2014. Sistem perawatan pesawat di Air Asia ternyata belum memanfaatkan Post Flight Report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada RTL yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas.
Dalam konteks ini, dijelaskan lebih lanjut oleh KNKT bahwa kemudian pihak Air Asia telah melakukan 51 tindakan perbaikan atas kejadian QZ8501 itu.
Rinciannya adalah 22 tindakan di bidang operasi, personel safety dan management system, diikuti pula dengan 11 prosedur perawatan pesawat, prosedur pemanfaatan PFR serta 18 peningkatan kemampuan dibidang meteorologi.
Secara keseluruhan AirAsia telah melakukan 51 tindakan perbaikan (corrective action) atas kejadian musibah penerbangan QZ8501.
Jadi jelas sekali disini adanya kelalaian pihak Air Asia yang kemudian berkontribusi dalam faktor utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Lebih jauh lagi, karena tujuan investigasi yang dilakukan oleh KNKT bertujuan agar kecelakaan serupa tidak terulang kembali, maka dalam pengumuman yang dirilis tersebut KNKT menyampaikan pula beberapa rekomendasi terkait upaya pencegahan terjadinya kecelakaan.
KNKT merekomendasikan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan untuk melakukan perbaikan sistem terkait pengoperasian penerbangan. Hal itu juga menyangkut pelatihan bagi pilot dalam menangani situasi tertentu.
Penekanan KNKT antara lain adalah: “Ditjen Perhubungan Udara harus melakukan pelatihan sesuai dengan training manual.”
Tidak berhenti pada Maskapai penerbangan Air Asia sebagai operator dan Kementrian Perhubungan sebagai regulator, KNKT juga menyoroti pihak Pabrik Pesawat Terbang Airbus.
Kepada Pabrik Pesawat Terbang Airbus, KNKT akan merekomendasikan agar Airbus mewajibkan pilot untuk mengikuti training recovery dalam upset condition, bagaimana mengembalikan pesawat yang mengalami kondisi kehilangan daya angkat.
Dari gambaran itu semua, maka jelas sekali bahwa dalam kasus kecelakaan pesawat terbang Air Asia, KNKT dengan sangat jernih menyampaikan hasil investigasinya bahwa memang telah terjadi kelalaian yang telah dilakukan oleh Maskapai Air Asia.
Dalam hal ini tentu saja kelalaian tersebut tidaklah berdiri sendiri, karena ada kontribusi yang melekat baik dari pihak Kementrian Perhubungan sebagai regulator dan juga pihak Airbus sebagai pabrik pesawat terbang yang digunakan oleh Maskapai Air Asia.
Dengan contoh dari uraian ini maka sekali lagi menjadi jelas bahwa dalam mengoperasikan penerbangan yang sangat erat dengan kemajuan teknologi memang dibutuhkan disiplin yang tinggi dalam mematuhi segala aturan, ketentuan, regulasi dan prosedur kerja.
Sikap taat azas yang tanpa kompromi adalah merupakan modal dasar bagi dapat terselenggaranya operasi penerbangan yang aman.
Sedikit saja terjadi penyimpangan maka itu berarti sudah membuka pintu bagi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Besar harapan, semua pihak yang terkait dapat segera memahami kekurangan masing-masing untuk segera disempurnakan.
Mudah-mudahan dengan diumumkannya hasil penyelidikan dari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang Air Asia beserta rentetan rekomendasi yang menyertainya, kedepan tidak akan ada lagi kecelakaan pesawat terbang di bumi tercinta ini. Insya Allah, Amin YRA. (Sumber : Kompas.com)
Jakarta 4 Maret 2016