Mengambil keputusan adalah sesuatu yang harus dilatih. Latihan mengambil keputusan seharusnya sudah dimulai dari sejak usia dini. Professor Diran, guru besar Institute Teknologi Bandung, dalam salah satu ceramahnya, memberikan satu ilustrasi yang sangat menarik.
Prof. Diran mengatakan, salah satu kelemahan orang Indonesia adalah dalam mengambil keputusan. Mereka pada umumnya selalu kalah cepat dengan rekan-rekannya dari negara lain, terutama dari negara maju tentu saja. Mengapa? Sebabnya sederhana sekali. Beliau memberikan contoh bagaimana anak-anak kecil orang Indonesia, seolah tidak boleh menentukan sendiri kemauannya.
Dari sejak kecil sudah “familiar” bahwa hanya orang tua lah yang memutuskan segala sesuatunya dalam setiap aspek kehidupan. Mungkin, lebih kurang, kita semua juga mengalami hal seperti itu.Contoh sederhana adalah bila kita bersama-sama makan di sebuah restoran, maka biasanya yang memilih menu terlebih dahulu, akan kemudian diikuti oleh seluruh teman-temannya. Apalagi bila itu terjadi di Luar Negeri. Satu orang memilih “orange Juice”, maka biasanya diikuti dengan “same” ! dan akhirnya semua nya “same” ! Celakanya, walaupun ada juga yang tidak doyan dengan “orange juice” ya tetap saja memesan “orange juice”. Mengapa ? ya itu tadi, tidak biasa mengambil keputusan sendiri, dan juga merasa sungkan untuk menjadi lain sendiri. Tapi yang inti adalah “tidak biasa mengambil keputusan”!
Nah, setelah beliau berkeluarga, atas persetujuan dengan isteri, maka beliau melatih anak-anaknya dari sejak usia dini untuk mengambil keputusan sendiri terhadap segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka sendiri, tentunya. Disinilah, mereka belajar memutuskan sesuatu dan kemudian dipersilahkan menikmati hasil keputusannya itu. Memutuskan masalah dengan solusi “A”, yang kemudian berakibat enak atau tidak enak, atau memutuskan dengan solusi ”B” , juga dengan akibat yang dihadapi kemudian senang atau tidak menyenangkan. Inilah proses pembelajaran yang kemudian menjadi bekal pengalaman bagi sang anak untuk mengambil keputusan selanjutnya atau yang akan datang.
Demikianlah, tentu saja dengan bimbingan yang mendidik dari orang tuanya, anak-anak pak Diran menjadi terlatih dalam soal mengambil keputusan sendiri. Kesemuanya tentu saja melalui tahapan-tahapan yang diperkirakan sesuai dengan usia sang anak. Mereka menjadi “well trained” dalam soal mengambil keputusan. Celakanya, masih kata Prof Diran, pada satu waktu anak nya ulang tahun, dibawa ke satu toko dan disuruh menentukan sendiri kadonya mau apa, dan keputusan yang diambil oleh sang anak adalah sesuatu/barang/mainan yang digemarinya, yang…cukup mahal harganya?! Apaboleh buat, saya harus konsisten dan harus konsekuen, karena ini adalah proses mendidik anak, dimana faktor tanggung jawab juga harus paralel diberikan dengan contoh atau keteladanan. Jalan keluarnya, ya kalau sang anak ulang tahun selalu dibawa ke toko yang kira-kira harganya terjangkau, he he he he , lanjut beliau sambil bergurau.
Ilustrasi itu sangat sederhana, namun mengandung makna yang sangat dalam. Saya sendiri, kemudian mencontoh apa yang disampaikan Professor Diran. Anak saya , alhamdullilah sudah terbiasa dengan mengambil keputusan sendiri, sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. Saya dan isteri hanya memberikan saran, pertimbangan dan berbagi pengalaman dengan mereka dan kemudian mereka putuskan sendiri. Tentu saja pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Manusia tidak ada yang sempurna, namun paling tidak, kemudian terlihat bedanya anak saya dengan beberapa anak teman saya.
Semasa anak-anak masih sekolah dan kuliah, beberapa teman dekat saya , sering mengeluhkan selalu banyak pertanyaan dari anaknya yang nyaris tiada henti tentang apa – apa yang harus dia putuskan dalam beberapa kegiatan disekolahnya. Anak-anaknya selalu gagal untuk dapat memutuskan sendiri pilihan-pilihan yang mereka hadapi selama sekolah/kuliah. Anak-anak mereka selalu menunggu orang tuanya mengambil keputusan untuk dirinya. Beda sekali dengan anak saya, mereka hanya bertanya, bila betul-betul dibutuhkan kepada ayah dan ibunya untuk mendapatkan pertimbangan, lalu segera saja mereka memutuskan sendiri keinginannya.
Tidak ada sedikitpun keraguan baginya, karena mereka sudah sangat “biasa” mengambil keputusan. Tentu saja melalui proses panjang “trial by error” untuk dapat mencapai kemantapan diri yang seperti itu. Sebagai manusia biasa, terkadang ada juga beberapa hal yang kami sesali sebagai orang tua terhadap keputusan yang telah diambil oleh anak-anak. Lho, kenapa yang itu yang dipilih? Lho kenapa begitu diputuskannya dan lho, lho yang lainnya. Saya kemudian selalu menghibur isteri saya, sambil juga sebenarnya menghibur diri sendiri, bahwa semakin dewasa anak-anak kita, maka akan semakin berbeda dalam melihat referensi yang digunakannya untuk mengambikl keputusan. Ini tidak dapat kita hindari, namun paling tidak didalam hati saya bersukur, bahwa anak-anak saya sanggup mengambil keputusan sendiri. Berbeda ? saya pikir itu alamiah dan manusiawi sekali, dan mungkin itulah yang kerap terdengar sebagai “generation gap” .
Minimal dalam memberikan bimbingan kepada anak, kami, saya dan isteri sudah membekalinya dengan “visi” yang ideal. Demikian pula pada proses pengambilan keputusan salah satu hal yang juga sangat penting sebagai bekal bagi sang anak adalah sikap yang ”selalu berfokus pada misi“, sifat yang “mission oriented” ! .Itulah : Visi dan misi, dan bukan popularitas !