Gonjang ganjing Bibit dan Chandra serta kasus Bank Century telah melibatkan begitu banyak perhatian dari banyak orang dinegeri ini. Gerah rasanya berada di Indonesia saat ini. Semua orang , kayaknya kini tengah berbicara. Berbicara dengan keras. Membingungkan untuk mendengarnya.
Begitu hiruk pikuknya situasi saat ini, sehingga mungkin sekali ada banyak kerja penting yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama kemudian menjadi luput. Katakanlah saja, tentang berita tenggelamnya kapal di Riau yang pemberitaannya justru turut tenggelam pula oleh pemberitaan mengenai KPK versus Polisi dan juga tentang Bank Century.
Dua bulan terakhir ini, kita semua serasa terlibat pada gemuruhnya pertengkaran yang muncul dari satu kasus yang sangat memukau khalayak ramai. Lebih gegap gempita lagi , yaitu setelah diperdengarkannya rekaman KPK di Mahkamah Konstitusi tentang seorang yang bernama “Anggodo”, seorang yang terkesan “un-touchable”.
Semua yang tersaji dimasyarakat luas itu sebenarnya belumlah lengkap, baru berupa puncak gunung es yang mengandung demikian banyak data yang belum terungkap. Namun, karena puncak gunung es itu sudah membentuk satu bangunan yang sangat tidak disukai orang banyak, maka caci maki dan ketidak sabaran orang telah membuat hiruk pikuk ini mencuat secara luar biasa.
Talk show di televisi, yang menghadirkan begitu banyak Pakar dan juga mereka yang merasa dirinya Pakar, serta pengamat dan juga mereka yang merasa dirinya pengamat, seakan berlomba dengan waktu yang hanya tersedia 24 jam sehari untuk mengisinya dengan mengutarakan pendapat-pendapat mereka sendiri-sendiri.
Jujur, saya bingung. Bingung, karena dalam mengikuti talk show dan juga pemberitaan luas dimana-mana, saya merasa semuanya benar dengan argumentasi masing-masing. Lalu siapa yang salah ?
Langkah berikut SBY pun membentuk tim – 8 yang terdiri dari para pakar dan senior yang diharapkan dapat memberikan masukan berupa solusi dari situasi dan kondisi yang tengah kita hadapi bersama. Waktu diberikan 2 minggu. Tim – 8 pun bekerja, dan tentu saja berada dibawah tekanan “public opinion” yang sangat dahsyat, yang setiap detik tersaji dalam berbagai media.
Setelah dua minggu, SBY menerima Tim-8 dan memerlukan waktu untuk mempelajarinya, selain juga memberikan hasil evaluasi dan klarifikasi itu kepada Polisi dan Kejaksaan Agung.
Senin malam lalu, Presiden SBY, sesuai janjinya menyampaikan sikap pemerintah dalam menangani masalah yang sangat amburadul ini.
Berpidatolah beliau, dengan susunan kata-kata yang diuntai secantik mungkin, dan disampaikan dengan lancar dalam satu sajian yang diusahakan semaksimal mungkin untuk dapat “komunikatif” dengan seluruh rakyat yang mendengarnya (dalam hal ini beliau menggunakan “teleprompter), agar semua yang ingin disampaikannya menjadi mudah untuk dicerna. Namun apa yang terjadi ? Hampir seluruh media dan seluruh tokoh memberikan komentar sangat negatif. Hampir semua mereka menyampaikan bahwa mereka “bingung” dengan apa yang disampaikan oleh Presidennya. Semua berkomentar dengan gaya bahasa nya sendiri-sendiri, dan kesimpulan besar yang dapat dipahami adalah , mereka semua “bingung”.
Nah, sampai disini, saya ingin mengutarakan beberapa hal yang terlihat dari sudut pandang saya. Okay, semua orang bingung dengan pernyataan SBY, akan tetapi (saya tidak dalam posisi membela SBY, saya juga bukan tim sukses SBY, saya juga tidak mempunyai interest apapun dari kejadian ini), tidakkah kita menyadari bahwa SBY pun tengah “bingung”?
Saat ini, serasa Republik Indonesia tengah menjadi ajang “pengadilan” yang luas dan terbuka. Rakyat Indonesia seolah-olah tengah mengikuti satu persidangan besar tentang Bibit Chandra dan Bank Century sekali gus.
Sayangnya, selain kompetensi yang masih harus di-uji, kita semua juga tidak tahu, siapa yang menjadi Hakim, siapa yang menjadi Jaksa, siapa yang menjadi Pembela dan juga yang paling fatal adalah, siapa pula yang harus dijadikan Tersangka dan atau Terdakwa. Sayangnya lagi, sepertinya semua orang telah menjelma menjadi Hakim, semua orang telah menjadi Jaksa, semua orang telah menjadi pembela, sehingga sayangnya sekali lagi, siapa yang harus berperan sebagai Terdakwa?
Jadilah, semua berbicara keras, semua berbicara tentang “diri” nya yang benar, semua berbicara tentang kesalahan orang lain, semua berbicara tentang orang lain yang tidak tegas, semua berbicara tentang orang lain yang lambat, semua berbicara tentang orang lain yang tidak punya aturan. Semua bicara dan semua bicara keras. Lalu…. siapa yang harus mendengar? Bila semua bicara keras, siapa pula yang harus menjadi pendengarnya? Bila semua merasa benar, lalu siapa pula yang harus ditempatkan sebagai yang salah?
Layaknya sebuah orkestra, maka semua instrument saat ini “volume” nya tengah dibesarkan sekuat-kuatnya sesuai selera masing-masing. Biola keras, gitar keras, piano keras, cello keras , terompet keras, saxophone keras, drum keras, semuanya keras ….. lalu lagu apa yang akan terdengar?
Ibarat Sebuah kertas putih, saat ini penuh dengan tulisan. Tulisan dari huruf-huruf besar semua, terdiri dari bentuk huruf yang ditebalkan, terdiri dari huruf dengan garis bawah semuanya, tulisan yang semuanya diberi tanda baca……..lalu apa yang dapat dibaca?
Itulah yang terjadi saat ini. Ada satu masalah yang terdiri dari beberapa persoalan yang baru sedikit saja mengandung kebenaran yang masih memerlukan “alasan-alasan” yang kuat untuk dapat tersaji sebagai sesuatu yang benar dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi semua orang telah berteriak-teriak sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Pemahaman yang awam, pemahaman yang belum dapat 100% menjadi satu hal yang “benar”.
Saya pikir, kita semua harus “di reset”. Kembali terlebih dahulu pada posisi masing-masing. Berikanlah kesempatan terlebih dahulu bagi mereka-mereka yang profesional dan kompeten dibidangnya untuk bekerja terlebih dahulu.
Kini, semua orang bersuara lantang, yang seolah-olah, dirinya sendiri lah yang “benar”. Kita semua sudah lupa akan ajaran agama masing-masing, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, bahwa tidak ada manusia yang tanpa salah. Marilah kita bersabar sejenak, memberikan ruang bagi mereka yang berprofesi dan berkompeten untuk kerja terlebih dahulu. Sehingga dengan demikian , maka mereka bisa bekerja dengan lebih profesional dan bertanggung jawab.
Mari kita coba memahami SBY sang pemimpin. Sekali lagi, saya bukan pemilih SBY dan juga bukan anggota tim sukses SBY. Saya juga tidak berkehendak membela siapa-siapa. Saya hanya berpikiran sederhana, apabila kita sudah tidak percaya lagi kepada pemimpin kita sendiri, lalu siapa yang harus kita berikan otorisasi untuk mengambil alih pekerjaan besar ini? Sekali lagi marilah kita semua menyelesaikan permasalahan kita sendiri terlebih dahulu, agar situasi yang amburadul ini tidak kemudian berlanjut menjadi anarkis. Apabila toh terjadi, maka kita sendiri pula yang akan menanggung akibatnya.
Adakah cara lain? Sedangkan terhadap musuh sekali pun, untuk dapat menundukkannya kita harus terlebih dahulu memahami diri nya. Mari kita coba memahami SBY, berikan terlebih dahulu kesempatan untuk bekerja sambil dengan kelebihan masing-masing, dapat memberikan saran tindak tentang bagaiman sebaiknya solusi tepat dalam memecahkan masalah ini. Sebab, apabila tidak, maka hal ini akan banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk dapat “mengail di air keruh”, meraup keuntungan ditengah-tengah badai ini.
Bila sampai pada waktunya, Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan solusi terbaiknya, yang kita semua tidak akan pernah tahu sebelumnya ! Dan juga yang kita semua tidak akan kuasa untuk menolaknya !
Jaman memang harus dan akan tetap bergulir, kekuasaan pun selalu juga akan tetap mengalir, mengikuti akan takdirnya masing-masing.
Sabar, sebagaimana tata surya yang tersusun rapih, walaupun terdiri dari benda langit yang tidak terhitung banyaknya, mereka semua terlihat indah dalam harmony karena mereka semua berada dalam “orbit” nya masing-masing. Untuk itu, mungkin ada juga baiknya bila kita semua untuk sementara waktu kembali ke “orbit” masing-masing, agar tata surya dari galaksi kita ini dapat kembali terlihat dan berada dalam satu wadah yang harmonis !
Mudah-mudahan, badai akan cepat berlalu.
Jakarta 25 Nopember 2009