Isu yang tengah menarik dibicarakan belakangan ini adalah tentang presiden baru pada 2014. Kelemahan umum yang dimiliki seorang pemimpin adalah gagalnya mengomunikasikan bahwa apa yang tengah dan akan dikerjakannya kepada masyarakat luas merupakan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk mereka semua.
Satu hal yang memang tidak mudah. Inilah salah satu penyebab yang memunculkan penilaian dari banyak orang awam mengenai seorang pemimpin lebih baik dari pemimpin lainnya. Inilah pula yang juga menjadi salah satu sebab tumbuhnya pendapat bahwa pemimpin masa lalu akan menjadi terlihat lebih baik dari pemimpin yang sedang menjabat. Sekali lagi karena mereka sesungguhnya tidak atau kurang memperoleh keyakinan dari sang pemimpin bahwa dia dan timnya sejatinya tengah bekerja keras untuk kepentingan mereka.
Salah satu contoh sederhana adalah menyangkut para pemimpin yang tengah bekerja di parlemen. Betapapun pimpinan dan anggota DPR menjelaskan berulang-ulang kepada masyarakat luas tentang pentingnya DPR memiliki gedung baru, tetap saja mayoritas rakyat menolak dengan keras rencana tersebut. Alasan yang sangat sederhana yaitu karena para anggota parlemen telah gagal mengomunikasikan apa yang tengah dan akan dikerjakannya selama ini untuk dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Penilaian terhadap pemimpin memang selalu akan berpola seperti itu dengan tidak memandang apakah dia di legislatif, eksekutif, atau yudikatif sekalipun. Sebagian besar orang dan bahkan mungkin semua orang menginginkan untuk memiliki pemimpin yang benar-benar dapat mewakili hati sanubarinya dalam menuju ke arah yang lebih baik dan dalam menuju ke kondisi yang menuju ke-kesetaraan atau keadilan.
Semua orang atau sebagian besar orang pasti menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup yang berkeadilan. Orang juga ingin memiliki pemimpin yang tidak berjarak dengan mereka, pemimpin yang mempunyai perhatian besar terhadap masalah keseharian yang dihadapinya.
Kekerasan dalam menjalani hidup, terutama di era masa kini, telah menuntut orang untuk dapat cepat meraih kesempatan mengadu bila berhadapan dengan kesulitan. Kecemburuan sosial telah memicu banyak emosi dari sebagian besar masyarakat terutama di kota-kota besar. Itulah semua yang telah menjadi gambaran umum dari kehidupan masyarakat sehari-hari, menyongsong 2014.
Fenomena Jokowi
Tiba-tiba saja belakangan ini berkembang satu fenomena yang sangat menarik perhatian kita semua yaitu munculnya seorang mantan wali kota dari Solo yang langsung saja dapat dengan “relatif mudah” mengambilalih kursi gubernurJakarta. Tiba-tiba juga muncul hasil dari berbagai jajak pendapat dan survei yang memberikan indikasi bahwa Jokowi, sang gubernur baru Jakarta, memiliki elektabilitas tertinggi untuk kursi orang nomor satu di negeri ini.
Aneh bin ajaib? Sama sekali tidak. Jokowi secara sadar atau tidak sadar telah berhasil dengan sangat mengagumkan dalam mengomunikasikan apa yang telah, tengah, dan akan dikerjakannya adalah sejatinya identik dengan apa yang diinginkan masyarakat luas, masyarakat akar rumput, rakyat yang selama ini tidak melihatnya dari sosok pemimpin mana pun. Belum cukup setahun menjabat, dia telah gagah berani menandatangani kontrak MRT yang sudah ramai “hanya” diperbincangkan bertahun-tahun lamanya.
Demikian pula perhatian kepada sarana angkutan publik lainnya seperti monorel, angkutan sungai, rusun, pengobatan gratis bagi rakyat miskin, serta dana pendidikan anak sekolah. Semua dilakukan tanpa banyak gembar-gembor dan saat banjir melanda Ibu Kota, sang gubernur tidak segan “masuk” ke dalam got. Kampung-kampung kecil dan kumuh di pelosok yang nyaris tidak pernah mendapat perhatian didatangi satu persatu.
Pelantikan pejabat daerah dilakukan di kawasan kumuh yang jauh dari kemewahan dan upacara yang gemerlap. Hampir setiap hari Jokowi menyempatkan diri untuk mau mendengarkan keluh kesah warganya dan banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang menunjukkan empati kepada mereka yang tidak atau kurang berdaya. Merayakan tahun baru dan konon nanti Jakarta Fair akan disulap menjadi “pesta rakyat” yang jauh dari hal yang “glamour” dan “luxurious”.
Semua yang dikerjakannya telah berhasil mewakili aspirasi hampir seluruh warga Jakarta. Jokowi telah berhasil dengan sangat mengagumkan dalam mengomunikasikan apa yang telah, tengah, dan akan dikerjakannya adalah memang benar sebagai sesuatu yang diinginkan masyarakat luas. Dengan hal itu, tampak seolah-olah orang tidak terlalu pusing dengan apakah pekerjaannya itu akan berhasil atau tidak, namun yang penting bahwa tindakan sang gubernur ini benar-benar telah mewakili hati nurani mereka semua.
Ekstremnya, Jokowi (dengan tindakan-tindakannya) seolah berkata dengan meyakinkan bahwa dia tidak punya kepentingan apa pun sebagai gubernur DKI, selain hanya bekerja untuk kepentingan warganya belaka. Dalam perjalanan dinasnya di lapangan dia bahkan menolak menggunakan “ngoeng-ngoeng” serta hanya menggunakan Kijang Innova. Itulah semua yang menyebabkan orang kemudian merindukan Jokowi untuk menjadi Presiden 2014.
Namun, dalam melihat fenomena ini, minimal ada dua catatan yang muncul selalu yaitu Jokowi populer hanya karena telah menjadi “media darling” dan Jokowi harus membuktikan keberhasilannya terlebih dahulu memimpin Jakarta sebelum memimpin Indonesia. Faktor media memang tidak dapat dibantah bahwa media adalah miliknya orang-orang tertentu yang juga sarat dengan kepentingan.
Namun, harus diingat bahwa para wartawan yang bekerja di media pada umumnya berasal dari lingkungan akar rumput yang pasti sangat tertarik dengan gaya kepemimpinan sang gubernur. Tentang harus memimpin Jakarta dulu sebelum Indonesia, kiranya rakyat banyak sudah tidak sabar lagi untuk memiliki pemimpin sekelas Jokowi. Mereka sudah sangat kesulitan untuk dapat melihat yang “lain”-nya.
Mereka merindukan pemimpin yang merakyat, pemimpin yang telah “berhasil” meyakinkan akan bekerja hanya untuk mereka. Jokowi telah mempertontonkan unjuk kerjanya yang penuh kejujuran dan kerendahan hati dalam satu “show-room” yang layak berlabel “country before self” ! Untuk negeriku dulu sebelum untuk diriku. Itu sebabnya survei dan jajak pendapat menunjukkan elektabilitas tinggi dari sang Jokowi.
Kesimpulannya adalah, bukan masalah dia seorang Jokowi atau bukan Jokowi,(bukan pula masalah Tua dan Muda, Independen atau dari Parpol, Tentara atau Sipil , Ganteng atau “Jelek” dlsb) akan tetapi lebih kepada “sikap” atau “attitude”, yaitu siapa saja yang memiliki unjuk kerja seperti itu, dipastikan akan memiliki elektibilitas yang tinggi sebagai “The President of Choice” di tahun 2014 !●
Jakarta 5 Juni 2013
Chappy Hakim
Sumber: Koran Sindo tanggal 5 Juni 2013.
1 Comment
KJS = Kalogitu Jokowi Saja !