Negeri ini tengah berada dalam kondisi yang begitu mencengangkan, bila tidak diperkenankan menggunakan istilah “aneh bin ajaib”. Dari begitu banyak hal-hal yang sangat tidak perlu untuk diperdebatkan besar-besaran di ranah publik belakangan ini, maka yang sedang top adalah isu mengenai reshuffle kabinet. Disela-sela debat terbuka dibanyak panggung tentang reshuffle, muncul juga beberapa pernyataan yang menjelaskan bahwa reshuffle adalah hak prerogatif Presiden. Hak, dalam arti mau reshuffle atau tidak, perlu reshuffle atau tidak adalah “hanya” Presiden yang dapat melakukannya, lalu kenapa juga diributkan oleh orang-orang yang bukan Presiden? Aneh bin Ajaib !
Susunan kabinet sekarang ini, adalah hasil seleksi yang tidak main-main. Mereka melalui begitu banyak tahapan seleksi, antara lain “fit and proper test” di Cikeas dan pula ditambah dengan menu tambahan, antara lain berupa “pakta integritas”. Kesemua itu pun, dilakukan oleh Presiden sendiri yang memang memiliki “hak prerogatif” tersebut ! Lebih jauh lagi, karena memang orang-orang itulah (para Menteri) yang akan menjadi orang-orang kepercayaan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan dalam melaksanakan tugas yang menurut istilah Bung Karno , menjalankan “amanat penderitaan rakyat”. Jadi, sekali lagi disini perlu digarisbawahi, bahwa mau reshuffle atau tidak mau, kesemuanya berpulang kepada Presiden. Sekali lagi, lalu menjadi aneh kalau orang-orang yang bukan Presiden, kini yang meributkan masalah reshuffle !
Bila kemudian terlihat, performa kabinet yang tampak “centang perenang”, maka sebaiknya, dilihat terlebih dahulu akar permasalahan yang melatar belakanginya. Sudah menjadi budaya (sepertinya), dalam menunjuk tim yang setara dengan “jabatan-jabatan bergengsi” di negeri ini, terutama dan atau lebih-lebih pada tingkat “menteri”, maka yang akan menjadi sangat dominan adalah faktor “akseptibiltas” dibanding dengan faktor “kapabilitas”. Dengan pola yang seperti ini, maka harapan tim akan dapat bekerja “professional”, menjadi harapan yang bak “pungguk merindukan sang bulan”. Lebih parah lagi, dengan ujung tombak puncak karier yang selalu diisi oleh para personil “yang ditunjuk”, maka tahapan karier yang berbasis “merit sysytem”, langsung menjadi punah karenanya. Pola meritokrasi dalam konteks bersaing positif dalam arena yang fair dengan menampilkan kemampuan atau kualitas perorangan dibidang masing-masing, serta merta berubah total dengan penampilan orang-orang yang ABS ! Inilah sebenarnya yang terjadi. Selama pola ini tidak dirombak secara mendasar, maka marilah kita semua “bermimpi disiang bolong” untuk melihat Indonesia yang lebih baik.
Gambaran yang lebih detil dan lebih dapat membuka cakrawala pandang tentang ini, dan mengantar pengertian menjadi lebih “terang – benderang” ,dapat disimak dalam tulisan dibawah ini yang saya kutip dari tulisan Tito Sulistio/Iwan Koswadhi yang berjudul “eselon1, investasi republik yang tersiakan”.
Ini tulisannya :
Para politisi kembali bersorak, godaan mereka kembali berhasil, harapan mendapatkan kekuasaan mulai terkuak, peluang penguatan partai lagi lagi melebar. Semua karena reshuffle kocok ulang jabatan menteri sudah diakui akan dilakukan Presiden, walau beberapa politisi senior tetap meragukan ”keberanian” SBY melakukan reshuffle.
Situasinya memang serba salah buat pak SBY. Tidak di-reshuffle, beberapa menteri secara kasat mata tidak berprestasi, membuat buruk kinerja pemerintahan. Di-reshuffle berarti menunjukkan ”kegagalan” Presiden dalam menunjuk para pembantunya, dan tak ada jaminan penggantinya bisa lebih baik.
Reshuffle memang hak prerogatif presiden. Presiden dapat mengganti menteri kapan saja, ”sesuka”-nya. Namun pergantian menteri keuangan 3 (tiga) kali dalam satu periode, pergantian menteri energi ataupun sekretaris kabinet, bagi awam dan para pelaku bisnis, akan memperlihatkan ketidak stabilan kinerja pemerintah dan menimbulkan ketidak pastian. Bagaimana mungkin pembantu presiden yang seharusnya berfikiran strategik, melihat jauh kedepan, melakukan pengawasan kinerja strategik Republik hanya bisa berperan dalam waktu singkat?. Apalagi jika pergantian dilakukan karena presiden merasa tidak berkenan dengan sikap pribadi menteri yang tidak menjilat, sikap menteri yang berani meluruskan kerja ngawur menteri lain, apalagi pergantian dilakukan hanya karena partai asal sang menteri tidak tunduk sujud kepada presiden.
Dalam komposisi kabinet saat ini ada menteri yang mendapat berkah jabatan walau tidak mempunyai rekam jejak di posisi yang dia emban. Menteri yang sujud sukur waktu ditunjuk, karena dirinya sendiri merasa tidak pantas duduk disitu. Menteri yang tersenyum lebar waktu diberi jabatan karena merasa berhasil ber”manuever” mempengaruhi keputusan SBY, walau sebenarnya tidak pantas dapat posisi. Bahkan menteri yang kaget tersengak waktu ditunjuk, walau dari umur serta prestasi sebenarnya sudah tidak layak lagi menjabat. Semua terjadi karena pak SBY sepertinya lebih mengutamakan unsur “keseimbangan” dan bukan kemampuan professional ataupun rekam jejak dalam memilih pembantunya. Kabinet lebih berorientasi pada jatah partai, jatah daerah, jatah agama, jatah kekuatan politik, jatah kekuatan tersembunyi, bahkan jatah pertemanan!. Maka pantas saja jika survey memperlihatkan bagaimana masyarakat dan dunia usaha ,makin tidak puas menilai dan melihat kinerja pemerintahan SBY. Karena kinerja menteri itu terkait dengan kinerja Presiden
Tanpa berpretensi memberi pengajaran. Mungkin perlu dingatkan, bahwa jabatan Menteri itu sama dengan Jabatan Eksekutif suatu perusahaan. Presiden tidak boleh tergoda oleh propaganda yang mengatakan bahwa ”Menteri itu jabatan politis”. Ini keliru!, jabatan politis itu ya Presiden, sedangkan jabatan Menteri (terutama yang teknis strategis) adalah jabatan ”pelaksana”, ”direktur” dan seharusnya hanya dipilih berdasar unsur ”profesionalisme”, kemampuan serta rekam jejak.
Maka menjadi pertanyaan besar mengapa Presiden tidak mendahulukan aspek kapabilitas, pengalaman, dan keterujian profesionalisme dalam memilih para Menteri-nya?. Mengapa presiden mensia-siakan kumpulan manusia profesional yang sudah dimiliki oleh republik ini, sudah ada dalam jajaran birokrasinya. Kumpulan manusia berprestasi yang sudah dibuktikan dengan kenaikan jenjang karir bertahap yang mereka terima, profesional yang jelas berpengalaman karena mengikuti evolusi aktivitas di departemen tempat dia berkarya, kumpulan orang berpendidikan (Master, S3, Phd bahkan professor) yang bergelar karena memakai dana rakyat, disekolahkan oleh Negara, bahkan mereka adalah kumpulan professional yang sudah teruji loyalitasnya berpuluh tahun berbakti mencintai republik ini. Mereka adalah para Eselon 1!.
Presiden Soeharto, adalah presiden yang praktis tidak pernah melakukan ”reshuffle” selama masa periode kepemimpinannya. Penggantian Menteri dilakukan setiap lima tahun sekali. Banyak yang menganggap ini terjadi karena pak Harto sangat mengedepankan profesionalisme para Menteri dengan mengangkat para pejabat Karir di lingkungan departemen terutama dari struktur birokrasi tertinggi, atau setingkat Eselon I. jabatan jatah hanya diberikan kepada departemen non teknis.
Dengan begitu, pemilihan atau rekrutmen menteri oleh presiden seharusnya dapat dilakukan secara sederhana, melalui mekanisme yang lazim dilakukan di dunia bisnis atau di organisasi-organisasi kelas dunia. Yakni, kompetensi dan integritas diatas segalanya.
Karenanya menjadi pertanyaan jika presiden memilih menteri yang jejak karirnya jauh dibawah Eselon 1 yang sudah berkarir didepartemen bersangkutan, yang jauh lebih berpengalaman dalam bidangnya, memilih menteri yang tidak mempunyai network kerja, memilih menteri yang mempunyai gelar akademik jauh dibawah Eselon 1 nya, memilih menteri yang tidak teruji kesetiannya berbakti kepada Negara dibanding Eselon1 yang bahkan sudah menerima bintang perhargaan 20 tahun berbakti. Pilihan salah yang bahkan akan menimbulkan demotivasi, kehilangan gairah bekerja dari para kumpulan professional yang sebenarnya pantas diberi kepercayaan itu.
Seleksi menjadi pegawai negeri adalah seleksi bersaing yang berat, puluhan ribu orang setiap tahun bertarung bersaing disana. Sesudah terpilih, para calon birokrat ini dididik secara langsung, berkarir secara panjang. Beberapa potensi disekolahkan dengan uang rakyat, menjadi master bahkan S3 diluar negeri. Dalam perjalanan karir, mereka menjalin hubungan kerja lintas departemen , mereka ditempatkan lintas propinsi, lintas divisi, sebelum akhirnya dapat ditunjuk menjadi Eselon 1!. Mereka adalah kumpulan manusia professional berprestasi, loyal yang seharusnya dapat diberi kepercayaan lebih!
Penunjukkan menteri secara politis memberi kesan bahwa Eselon 1 adalah jabatan pengabdian tertinggi, ini akan menciptakan dikotomi antara Birokrat Vs. Menteri . Ini berbahaya, karena bisa menimbulkan demotivasi dan penyia-nyiaan investasi republik selama puluhan tahun di bidang kepegawaian.
Karenanya, Stop cara pandang Menteri sebagai jabatan politik!, berikan para menteri kepercayaan berkarya dan tidak lagi membuat organisasi non-struktural, satgas-satgas yang jumlahnya berjibun, yang sepertinya lebih dipercaya ketimbang para menteri. Jika situasinya begini, jangan-jangan yang harus di-reshuffle adalah organisasi non-struktural bentukan Presiden, para satgas !.
Berikan kesempatan Eselon 1 menjadi Menteri, sehingga mulai saat ini, tak ada lagi investasi republik di bidang kepegawaian yang tersia-siakan!!
Jakarta, 23 September 2011
Chappy Hakim