Pendahuluan
Pada Maret 2011 pesawat komersial milik maskapai Pakistan International Airlines yang melintas di langit Indonesia tanpa izin diberi peringatan TNI AU. Namun peringatan diabaikan sehingga TNI AU mengirim dua pesawat tempur Sukhoi untuk mencegat (intercept). Dua Sukhoi RI itu lantas memerintahkan pesawat Pakistan mendarat paksa di bandara terdekat, yakni Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Setelah mendarat, diketahui pesawat jenis Boeing 737-300 itu membawa 49 personel militer Pakistan dan hendak terbang ke Dili, Timor Leste, kemudian Kuala Lumpur, Malaysia. Pesawat carteran tersebut kemudian ditahan di Lanud Hasanuddin dan baru dilepaskan ketika Kementerian Luar Negeri Pakistan selesai mengurus izin terbangnya.
Desember 2010, TNI AU juga menahan pesawat Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur, karena tidak mengantongi izin melintas. Pesawat yang membawa 81 penumpang dan sebagian besar di antaranya merupakan keluarga Kerajaan Negeri Melaka itu ditahan selama lima jam. Termasuk di antara penumpang ialah putra PM Malaysia Najib Razak.
November 2011, pesawat jenis Dassault Falcon 900 bercat putih dengan logo merah yang melintas tanpa izin di sekitar Balikpapan, Kalimantan Timur, juga dicegat dua Sukhoi TNI AU. Pesawat asing yang tertangkap radar Komando Pertahanan Udara Nasional itu segera diapit kedua Sukhoi. Di dalam pesawat itu ternyata Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah. Setelah dipepet Sukhoi selama 37 menit, pesawat akhirnya dilepas dan batal ditembak jatuh atas instruksi Komando Pertahanan Udara Nasional.
September 2012, pesawat Cessna 208 Caravan milik AS menerobos batas wilayah RI sehingga dipaksa mendarat di Makassar, Sulawesi Selatan, oleh TNI AU. Namun pilot Cessna tak mau mengikuti perintah, sehingga dikerahkanlah Sukhoi Su-27 dan Su-30 untuk mencegatnya. Setelah diapit Sukhoi, akhirnya pilot Cessna menurunkan pesawat di Pangkalan Udara Balikpapan, Kalimantan Timur.
Pada tahun 2014, pesawat tempur Sukhoi 27/30 TNI AU kembali memaksa mendarat sebuah jet pribadi dengan operator Saudi Arabian Airlines pada Senin (3/11/2014). Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Mersekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto Pesawat jet pribadi jenis Gulfstream IV dengan no HZ-103 ini berangkat dari Singapura menuju Darwin Australia sebelum menuju tujuan akhir Brisbane.
“Sempat mencoba melarikan diri dengan kecepatan tinggi namun tetap dapat disergap oleh flight Sukhoi pada jarak 150 km timur laut Kupang pada ketinggian 41.000 kaki dan kecepatan 450 kts dari Makasar,” ujarnya. Operasi penyergapan dilaksanakan di bawah kendali Pangkosek Hanudnas II yaitu Marsma TNI Tatang Herlyansah di Pusat Operasi Sektor Hanudnas II di Makassar, dengan di bawah komando penuh Pangkohanudnas Marsda TNI Hadiyan Sumintaatmaja dari Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional di Lanud Halim Perdanakusuma.
Serangkaian berita diatas adalah merupakan kutipan dari beberapa media yang memberitakan banyaknya pelanggaran wilayah udara yang berupa penerbangan tanpa ijin yang melintas diwilayah ruang udara Indonesia. Masih banyak lagi sebenarnya penerbangan liar yang melintas diwilayah udara nasional Indonesia. Disamping kemampuan Indonesia masih belum cukup untuk dapat mendeteksi keseluruhan penerbangan liar tanpa ijin yang melintas di ruang udara kita, perangkat hukumnya pun belum memadai dalam aspek pengelolaan ruang udara nasional. Disisi lain hingga sekarang masih cukup rancu tentang regulasi yang menjelaskan siapa sebenarnya yang berhak dan berkompeten untuk dapat bertindak sebagai penyidik, ketika penerbangan liar tersebut berhasil dicegat dan dipaksa mendarat.
Dasar Hukum atas Kedaulatan Negara di Udara
Ditinjau dari Ilmu Negara, sebagaimana juga dinyatakan dalam Konvensi Montevideo 1933, keberadaan suatu negara disyaratkan memiliki 4 (empat) unsur utama, yaitu wilayah tertentu, pemerintahan yang efektif, penduduk yang tetap, dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain atau sering juga dikatakan adanya pengakuan internasional.
Wilayah negara adalah suatu wilayah dimana negara memiliki kedaulatan untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya. Secara umum, wilayah suatu negara terdiri dari tiga dimensi, daratan , laut dan ruang udara. Namun perlu dicatat bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memiliki wilayah daratan dan ruang udara (2 dimensi), namun banyak negara yang tidak memiliki wilayah laut (perairan) yang biasa disebut land lock state, seperti Laos, Kamboja, Nepal, Bhutan, Afghanistan, Kazakstan, Uzbekistan, Swiss , Austria, Hongaria dan beberapa negara di Afrika. Sedang beberapa negara memiliki wilayah yang lengkap (3 dimensi) yaitu wilayah daratan, ruang udara dan laut, misalnya Indonesia, Malaysia, Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Mesir, Argentina dan lain lain.
Meskipun Indonesia memiliki wilayah negara yang lengkap (3 dimensi) yaitu daratan, laut (perairan) dan ruang udara, namun anehnya negara kita biasa disebut sebagai “Tanah Air” (darat dan laut/perairan), tanpa menyebut “ruang udara”. Hal ini bukan hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari saja di kalangan rakyat biasa, tapi juga dalam peraturan perundang-undangan tertinggi di negara kita, Konstitusi kita yaitu Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Tidak jelas apa yang melatar belakangi para pendiri negara (founding fathers) ini sehingga tidak menyebut “ruang udara” sebagai bagian dari wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia yang secara ekspilisit disebut dalam UUD kita. Apakah mereka sadar atau tidak bahwa ruang udara juga sama dengan wilayah negara lainnya (darat dan laut) memiliki potensi yang sangat strategis, baik dilihat dari segi politis, ekonomis maupun pertahanan keamanan negara. Padahal saat itu (tahun 1945) Jepang menyerah setelah berhasil menguasai Asia Timur dan Tenggara akibat kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh pasukan udara Sekutu. Tanpa melalui serangan udara, belum tentu tentara Jepang menyerah dengan begitu cepat, karena melalui darat dan laut mereka cukup kuat.
Apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini, ruang udara memiliki peranan yang sangat penting ditinjau dari berbagai aspek kehidupan kenegaraan, bukan saja dari aspek politik dan pertahanan keamanan negara melainkan dari aspek perekonomian, sosial budaya dan hubungan antara bangsa.
Dewasa ini pengaturan mengenai kedaulatan negara di ruang udara Indonesia memang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah dari UUD, misalnya Bab 1, pasal 1 poin 2 Ketentuan Umum dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa “wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia”. Dalam Bab IV, Pasal 5 undang undang tersebut menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”. Pernyataan tentang kedaulatan negara Republik Indonesia di wilayah ruang udara juga tercantum dalam Bab II Pasal 4 Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang berbunyi “Kedaulatan Negara Republik Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut territorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya temasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Mengingat permasalah wilayah bagi suatu negara merupakan salah satu unsur utama bagi keberadaan (the existence) suatu negara, maka perlu pengaturan secara jelas dalam UUD. Karena Indonesia memiliki wilayah daratan, laut/perairan dan ruang udara sebagai satu kesatuan, maka ketiga unsur wilayah negara tersebut perlu dicantumkan dalam UUD.
Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi menyadarkan kita bahwa penataan wilayah ruang udara Republik Indonesia semakin perlu dan mendesak untuk segera dilakukan. Dari aspek ekonomi, misalnya sumber daya alam di ruang udara sangat potensial bagi menunjang pembangunan perekonomian negara diantaranya sebagai sarana penerbangan (angkutan udara), sumber energy (surya dan angin) , telekomunikasi, radio, pemotretan dari udara dan sebagainya. Secara politis dan pertahanan keamanan negara, wilayah ruang udara memiliki fungsi yang sangat strategis karena wilayah ruang udara Indonesia begitu luas dan terletak dalam jalur penerbangan dari Eropa dan Asia ke Australia, New Zealand dan atau negara negara lain di Pasifik Selatan. Juga bagi kapal kapal perang (kapal induk) yang bergerak dari Samudera Pasifik yang akan ke Samudera Hindia dan sebaliknya yang biasanya disertai dengan armada pesawat tempurnya (ingat kasus Bawean).
Demikian juga dengan mobilitas sosial budaya, baik antar daerah di dalam negeri atau antara Indonesia dengan negara negara lain dewasa ini lebih banyak menggunakan sarana penerbangan di banding dengan sarana darat atau laut karena faktor kecepatan, jangkauan jarak dan kenyamanan.
(kutipan dari : Laporan Akhir – Penulisan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional tentang Tata Ruang Wilayah Udara RI dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia – Suatu Tinjauan Akademis – Oleh Prof.Dr.E. Saefullah Wiradipradja, SH. LL.M)
Selanjutnya yang khusus mengenai kedaulatan negara di udara, pada Laporan Akhir tersebut dinyatakan sebagai berikut :
Ketentuan dalam Pasal 3 huruf c) Konvensi Chicago menyatakan bahwa pesawat udara negara (pesawat militer, bea cukai dan polisi) peserta konvensi tidak boleh terbang di atas wilayah negara lain atau mendarat di wilayah negara lain tanpa ijin. Ketentuan tersebut berbunyi :
“No state aircraft of contracting state shall fly over the territory of another state or land thereon without authorization by special agreement or otherwise, and in accordance with the term thereof”.
Pada bulan Mei 1960 ketika sebuah pesawat mata mata Amerika Serikat U2 ditembak jatuh di atas Uni Sovyet. Uni Sovyet menunda Konferensi Tingkat Tinggi dengan Amerika Serikat sebagai protes atas pelanggaran wilayah udaranya. Amerika Serikat tidak melakukan protes atas penembakan pesawat U2 nya tersebut.
Sedangkan mengenai penerbangan sipil berjadwal (scheduled air services) juga dilarang terbang di atas wilayah suatu negara tanpa ijin khusus, sebagai mana dinyatakan dalam pasal 6 Konvensi Chicago sebagai berikut :
“No scheduled international air services may be operated over or into the territory of a contracting State, except with a special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization”
Demikianlah dari penjelasan diatas , maka sangat terang benderang di uraikan mengenai kedaulatan negara di udara.
Berikutnya adalah, ketika selesainya perang dunia pertama, pada tanggal 8 Februari 1919 untuk pertamakalinya dibuka perhubungan udara dalam jejaring antara negara yaitu penerbangan rute Paris – London pulang pergi. Penerbangan yang melewati batas negara segera saja mengundang tentang kebutuhan regulasi internasional yang harus dipatuhi masing masing negera.
Atas nama pertahanan dan keamanan dalam aspek National Security Awareness, kewaspadaan nasional maka secara bertahap disepakati bersama tentang kedaulatan negara di udara. Selanjutnya maka kedaulatan negara di udara telah menjadi peran sentral dalam masalah penerbangan. Hal ini nyata sekali terlihat dalam persetujuan yang dicapai pada Paris Convention 1919 yang membicarakan tentang regulasi dari Aerial Navigation.
Persetujuan itu kemudian dikukuhkan dalam Chicago Convention on International Civil Aviation di tahun 1944 yang menggaris bawahi bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif. Kesepakatan ini diakui sebagai sebuah persetujuan yang garis besarnya “sangat” berlatar belakang pemikiran militer dalam arti kepentingan pertahanan keamanan negara. (Introduction to Air Law-tenth edition- Pablo Mendes de Leon – publish by Kluwer Law Interntional B.V. The Netherlands – hal 3 dan 9. In France for instance, a police directive was issued on 23 April 1784 aimed directly and exclusively at the balloons of the Montgolfier Brothers, flight may not to take place without prior authorization, etc, etc )
Sangat jelas bahwa kedaulatan negara di Udara adalah “komplit dan eksklusif”, yang berarti tidak ada peluang yang dapat digunakan bagi penerbangan yang melintas di atas wilayah terirori sebuah negara tanpa ijin. Berlainan dengan rezim Hukum Laut, maka di Udara tidak dikenal alur lintas damai atau semacam “innocent sea lane passage”
Masalah dalam Pengelolaan Kedirgantaraan Nasional
Permasalahan Aktual yang tengah dihadapi Indonesia dibidang kedirgantaraan sampai dengan saat ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
Yang pertama adalah belum tampilnya sebuah Kesadaran bersama sebagai bangsa terhadap pentingnya wilayah atau ruang udara nasional sebagai bagian utuh dari kedaulatan sebuah negara . Belum disadari benar bahwa wilayah udara kedaulatan sebagai salah satu Sumber Daya Alam yang memiliki potensi yang sangat besar. Belum disadari benar bahwa ruang udara memiliki arti penting dalam aspek pertahanan keamanan negara. Maka dengan demikian hingga kini menjadi tidak jelas siapa atau institusi mana yang mengelola wilayah udara nasional. Dalam UUD 1945 yang sudah beberapa kali di amandemen pun, wilayah udara diatas wilayah territorial NKRI tidak atau belum disebut dengan jelas sebagai wilayah udara kedaulatan Indonesia.
Berikutnya adalah masih merebaknya kesimpangsiuran dalam tata kelola penerbangan nasional di Indonesia pada kegiatan operasional sehari-hari antara penerbangan sipil dan penerbangan militer. Beberapa masalah tentang penggunaan bandara dan pangkalan udara militer belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Demikian pula masih ada wilayah udara nasional yang belum sepenuhnya berada dalam manajemen otoritas penerbangan nasional. Disisi lainnya pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh banyak kegiatan penerbangan tanpa ijin belum juga dapat diatasi, baik dalam upaya pencegahan, lebih lebih dalam aspek penegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran yang telah berhasil ditindak.
Dewan Penerbangan Nasional
Sebenarnya sudah sejak tahun 1955 telah ada upaya untuk menunjuk sebuah institusi yang diharapkan dapat berperan dalam mengelola wilayah udara nasional. Tanggal 3 Februari 1955 dengan PP nomor 5 tahun 1955 telah ditetapkan sebuah badan bernama Dewan Penerbangan.
Sebuah langkah cemerlang berangkat dari visi yang sangat mengagumkan, karena di tahun 1955 itu Republik Indonesia sebagai negara sangat luas dan berbentuk kepulauan serta berpenduk banyak, masih belum memiliki Dewan Maritim akan tetapi sudah memiliki Dewan Penerbangan. Mengagumkan, karena Indonesia yang baru saja pada bulan Mei tahun 1950 menyatakan dirinya untuk menjadi anggota ICAO (International Civil Aviation Organization), di tahun 1955 sudah mulai menyusun undang-undang yang berkait dengan peraturan penerbangan.
Selanjutnya pada tahun 1963 berdasar PP nomor 24 tahun 1963 didirikan Dewan Penerbangan dan Angkasa Luar Republik Indonesia. Yang paling mutakhir adalah pada tahun 1993 dengan keputusan Presiden Republik Indonesia telah dibentuk DEPANRI, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia.
Pada tanggal 4 Desember 2014 dengan PP no 176 tahun 2014 DEPANRI secara resmi dibubarkan. Maka selesailah sudah riwayat dari sebuah Dewan yang sebenarnya diupayakan untuk dapat menangani pengelolaan ruang udara nasional.
Sebuah perjalanan yang sangat ironis terutama dalam aspek visi pada perspektif kedirgantaraan. Sebuah sikap yang sangat visioner pada rentang waktu negeri ini baru saja memperoleh kemerdekaan telah memikirkan tentang betapa penting dan strategisnya wilayah udara territorial sebagai bagian utuh dari ujud eksistensi sebagai sebuah bangsa. Sementara setelah lebih dari 70 tahun merdeka dan ditengah kemajuan teknologi yang demikian pesat dibidang penerbangan belakangan ini justru terlihat perhatian terhadap wilayah udara nasional justru meredup.
Otoritas Penerbangan Nasional
Amerika Serikat dalam perangkat hukumnya terdapat ketentuan mengenai institusi mana yang bertanggung jawab dalam mengelola wilayah udara nasionalnya. Hal tersebut tercantum sangat jelas dalam U.S. Code 49. Bagian 40103 tentang Sovereignty and use of airspace. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa The Administrator of the Federal Aviation Administration (FAA) harus mempunyai rencana dan kebijakan dalam hal penggunaan navigasi ruang udara dan menetapkan regulasi atau perintah dalam penggunaan ruang udara untuk meyakinkan keselamatan pesawat terbang dan efisiensi penggunaan ruang udara.
Setelah peristiwa 911 di tahun 2001, Amerika Serikat masih memandang perlu untuk menambah institusi baru yang harus turut betanggung jawab dalam penggunaan ruang udara nasional yang terbukti dapat dengan mudah ditembus oleh para teroris. Amerika Serikat pasca 911 membentuk Department of Homeland Security dan juga Transportation Security Administration. Disamping itu mereka juga menata ulang mekanisme keselamatan penerbangannya dengan me-restrukturisasi pengaturan lalu lintas penerbangan sipil dan militernya. Amerika memadukan Civil Military Air Traffic Flow Management System, dalam kerangka mengamankan Ruang Udara Nasional nya.
Australia dalam hal mengelola ruang udara nasionalnya memiliki Undang-undang ruang udara tersendiri dengan nama Airspace Act 2007 No. 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang regulasi, administrasi dan tujuan yang terkait dengan ruang udara kedaulatan Australia. Target dari undang-undang No. 38 Tahun 2007 adalah untuk melindungi lingkungan udara, efisiensi penggunaan ruang udara, akses yang adil terhadap semua pengguna ruang udara, dan untuk keamanan nasional. Pasca 911, Australia juga membentuk Civil Military Air Traffic Flow Management System dalam antisipasi ancaman teroris yang menggunakan sarana penerbangan sipil komersial. Sebuah langkah yang ditujukan bagi pengamanan Ruang Udara Nasional nya.
Indonesia sendiri, setelah menguapnya Dewan Penerbangan dari bumi ibu Pertiwi hingga kini belum memiliki undang undang yang secara spesifik menangani pengelolaan ruang udara nasional yang komprehensif. Otoritas penerbangan nasional Indonesia masih berada dalam tubuh Kementrian Perhubungan. Indonesia masih belum memiliki Indonesia National Civil Aviation Authority yang independen. Walaupun khusus mengenai hal ini telah tercantum dalam Undang Undang No.1 tentang Penerbangan tahun 2009, seperti yang tertera dalam pasal 64.
Kesimpulan
Dari kesemua itu maka dengan mudah dipetik kesimpulan sederhana tentang diperlukannya sebuah Undang Undang yang mengatur pengelolaan ruang udara nasional bagi kesejahteraan masyarakat luas dan sekaligus mencakup penanganan berbagai permasalahan dari manajemen pertahanan keamanan negara. Mungkin saja Undang Undang tentang pengelolaan wilayah udara nasional tersebut akan melengkapi dan menyempurnakan beberapa undang undang yang telah eksis belakangan ini seperti antara lain Undang Undang nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Dalam hal ini perangkat undang undang yang diharapkan adalah bertujuan agar upaya penegakkan kedaulatan negara di udara benar benar dapat dilaksanakan dengan baik. Penegakkan kedaulatan negara di udara harus benar benar memiliki dasar hukum yang jelas dan lengkap sehingga tidak membingungkan insitusi dan aparat yang berperan dalam tugas tugas penegakan kedaulatan negara di udara.
Penutup
Sebagai penutup, kiranya patut menjadi catatan kita semua, bahwa perjuangan Indonesia dalam mewujudkan wawasan nusantara untuk dapat diakui sebagai sebuah negara kepulauan berlangsung puluhan tahun untuk dapat mencapainya. Hal yang sangat masuk akal karena regulasi, hukum atau konvensi internasional yang mendukung wawasan nusantara tidak atau belum ada.
Sangat jauh berbeda dengan visi dirgantara yang sudah sejak tahun 1944 secara internasional dituangkan dengan tegas mengenai kedaulatan negara di udara yang komplit dan eksklusif. Dalam posisi yang seperti ini, justru Indonesia belum juga terlihat di permukaan untuk mau memperjuangkan hak kedaulatannya di udara. Sampai dengan hari ini, harus digaris bawahi bahwa negara Indonesia belum berdaulat di udara di atas tertitori nya, sesuai isi dan kesepakatan yang tercantum dalam konvensi Chicago 1944.
Salah satu jalan menuju Indonesia yang berdaulat di udara secara komplit dan eksklusif adalah dengan menyusun terlebih dahulu Undang Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional. Sebuah undang undang yang dapat menjadi rujukan bagi Indonesia untuk dapat menegakkan martabat bangsa di panggung global pada upaya menjaga kedaulatanya secara utuh, di darat, laut dan udara.
Jakarta 6 Februari 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia