Tidak sampai satu minggu ini, saya ditingalkan tiga orang teman, sahabat karib saya. Pada 26 Januari 2017, datang kabar dari beberapa teman tentang berpulangnya sahabat, teman karib, kawan bermain musik, Philips, pemain Bas Gitar yang cukup dikenal luas terutama dalam blantika masyarakat pencinta musik di Indonesia.
Philips meninggal dunia setelah mengidap penyakit paru-paru yang telah dideritanya beberapa tahun lalu. Masih segar dalam ingatan saya, sosok yang sangat pendiam dan berwajah dingin, menyandang bas gitar yang dimainkan dengan sangat terampil.
Tongkrongan Philip tidak pernah terpangaruh sedikitpun oleh irama lagu yang dimainkan bersama rekan grup musiknya. Tidak perduli dengan irama yang tengah didendangkan dan alunan suara bas gitar dari jari jemarinya yang lincah, sosok tubuhnya bergeming lengkap dengan air mukanya yang menatap dingin.
Jarang tersenyum. Tetapi bila berdua dengan saya atau dengan beberapa teman dekat lainnya, dia bisa juga tertawa tergelak. Artinya, Philips juga memiliki sense of humor yang baik.
Bermula dari pemain bas gitar di “Band Lolipop” kemudian bergabung dengan “Grasshoper” serta beberapa kelompok grup band lainnya di tanah air, Philips termasuk figur pemain bas gitar yang handal.
Dengan sosok yang relatif tinggi tegap dan berambut putih, dia menjadi menonjol saat tampil di atas panggung. Pemain lain akan kelihatan lebih pendek. Rambut mereka akan terlihat lebih hitam.
Di kalangan pemusik Philips dikenal sebagai pemain yang pendiam. Ternyata, anak-anaknya pun mengatakan hal yang sama. Philips tidak pernah bercerita pada anak-anaknya bahwa ia menderita sakit sampai akhirnya ia pergi untuk selama-lamanya.
Beberapa tahun terakhir Philips masih dengan setia memetik bas gitarnya pada setiap malam minggu di Bimasena, Darmawangsa Hotel. Ia tidak muncul lagi di Bimasena sejak awal bulan Januari 2017. Philips, wish You Rest in Peace! Selamat Jalan Philips.
Cecep
Pada 1 Februari 2017, Cecep, yang nama lengkapnya Repudhio Iskak, seorang Kolonel Purnawirawan, sahabat saya sejak masuk Akabri Udara di tahun 1968 berpulang ke rahmatullah dengan tenang.
Cecep meninggal dunia setelah lebih dari lima tahun menjalani proses cuci darah dua hari sekali. Ketabahan Cecep dalam menjalani hidupnya yang harus selalu cuci darah setiap dua hari sekali sangatlah mengagumkan.
Ia tidak pernah kehilangan keceriaannya tiapkali para sahabat menjenguknya. Gelak tawanya tak pernah lenyap barang sekejap di tengah sakit yang dialaminya. Cecep yang tabah, tidak pernah mengeluh tentang sakit yang dideritanya.
Tidak sampai satu minggu sebelum kepergiannya, saya sempat datang ke di rumah sakit. Kala itu dengan tubuh yang sudah renta dan kurus kering, ia tetap berusaha bangun dari pembaringannya dan langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan saya.
Dengan wajah yang terlihat pucat serta mata yang cekung didera sakit, ia masih saja berusaha tersenyum dan menyapa saya sambil memberikan selamat seolah dia sedang sehat. Sedih sekali hati saya melihat Cecep. Tubuhnya kurus, kakinya bengkak, Wajahnya pucat dengan cekung mata yang dalam.
Ia masih saja mencoba bercanda. Tak sanggup saya menjawab sapaannya. Saya benar-benar hanya mampu mengajaknya berdoa bersama agar dapat diperoleh yang terbaik dari yang Maha Kuasa. Masih segar ingatan saya saat kami berempat, saya, isteri saya, Cecep, dan istri Cecep, membaca Al Fatihah dan dilanjutkan dengan doa bagi Cecep dan keluarga.
Tidak sampai satu minggu berlalu setelah itu Cecep meninggalkan dunia yang fana ini setelah 70 tahun bermukim di permukaan bumi. Inalilahi WainaIlaihi Rojiun, semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT sesuai dengan amal dan ibadahnya. Bagi keluarga yang ditinggalkan kiranya dapat diperoleh kekuatan lahir batin dalam menghadapi kenyataan hidup ini, Amin YRA.
Laurence
Pada 2 Februari 2017 pukul 16.57 wib di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur telah berpulang ke haribaan-Nya Laurence Manaba. Sahabat saya, seorang vokalis berkebangsaan Philipina yang sempat mencetak sebuah album bersama Almarhum Pak Setiyoso dan saya dalam grup vokal “The Airman Trio”.
Laurence yang lahir di San Juan City, sebelah timur kota Metro Manila, 30 Mei 1960, tinggal di Indonesia sejak berumur 28 tahun. Ia menikah dengan perempuan Indonesia bernama Karina Karim pada tahun 1990 di Philipina.
Seperti halnya Philips, Laurence dikenal luas di kalangan pemusik Indonesia, terutama yang beraliran Jazz. Ia kerap bergabung dengan “Band Grasshoper”, “Flashback”, grup band dari Ireng Maulana dan beberapa lainnya.
Yang mengagumkan dari seorang Laurence adalah kemampuannya beradaptasi dengan masyarakat musik di Indonesia serta talenta vokalnya yang sanggup memenuhi selera dari banyak penggemar lagu-lagu jazz dan pop di se-antero Jakarta dan Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ia mengidap sakit ginjal. Tapi, ia tetap terlihat tabah dan tegar mengarungi hidup ini. Penampilannya terakhir adalah beberapa hari sebelum Natal 2016 lalu. Laurence masih bernyanyi sebuah lagu dari tempat duduknya. Suara vokalnya yang kuat memang tidak lagi terdengar sepert dulu, tapi spirit jiwanya masih menyala-nyala.
Bersama Amarhum Pak Setiyoso, Laurence dan saya sempat menyanyikan lagu-lagu yang diabadikan dalam sebuah CD. Disamping lagu “Tanah Airku”, ciptaan Ibu Soed, sebuah lagu yang dapat membuat merinding siapa saja yang mendengarkannya, Airman Trio juga sempat menyanyikan beberapa lagu Philipina antara lain “Dahil Sayo” yang terkenal itu.
Yang istimewa, Laurence pernah menciptakan sebuah lagu dalam bahasa Indonesia untuk dinyanyikan oleh saya dan Isteri saya. Teknik vokal yang dikuasainya membuat Laurence banyak berbagi pengetahuan dalam olah vokal atau teknik bernyanyi kepada saya dan almarhum Pak Setiyoso.
Sekarang ia telah tiada. Jasadnya telah diperabukan. Menurut isterinya, abu Laurence akan dibawa ke tanah kelahirannya, San Juan Philipina. Selamat Jalan Laurence! Semoga Laurence diterima disisi-Nya dengan baik, serta sanak keluarganya diberikan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan ini. Amin.
Hidup ini memang sebuah misteri. Kita tidak tahu kapan meninggalkan dunia yang fana ini. Pertemanan, persahabatan kadang begitu melekat sehingga selalu saja rasa sedih datang saat teman atau sahabat kita pergi satu persatu meninggalkan kita semua.
Teman memang selalu beriring bersama berjalannya waktu. Best friends are formed by time. Everyone is someone’s friend, even when they think they are all alone. (Vera Nazarian)
Ikuti Tulisan Chappy Hakim tentang Musik
- Musical Instrument Museum, 15.000 Alat Musik yang Menyatukan Manusia
- Musik Kemerdekaan
- Silver Threads Among the Gold
- Kikuk Menikmati Musik Klasik di Jakarta