Tanggal 9 Mei 2012, sebuah pesawat Sukhoi Super Jet (SSJ) 100, mengalami musibah di gunung Salak. Pesawat total loss dan tidak ada seorang pun awak pesawat dan penumpang yang selamat. Pesawat SSJ-100 adalah sebuah Regional Jet Airliner, buatan Rusia yang di disain oleh Sukhoi Civil Aircraft dan pertama kali terbang pada bulan Mei tahun 2008.
Pesawat bermesin Jet dua buah ini adalah merupakan kerjasama dengan pihak Boeing dibawah perjanjian jangka panjang yang telah dimulai sejak tahun 2000. SSJ-100 memang tengah diusahakan oleh pihak Rusia untuk dapat menembus pasar global. Itu sebabnya, walau bekerjasama dengan pihak Boeing dalam rancang bangunnya, akan tetapi cockpit layout dan perlatan aviation electronic serta engine, Sukhoi Civil Aircraft ini justru bekerjasama dengan banyak perusahaan Eropa antara lain Perancis dan Italia. Februari 2012, pesawat SSJ-100, dengan disain cockpit yang mirip dengan cockpit Airbus, Fly By Wire System lengkap dengan Joystick nya, berhasil mengantongi sertifikat kelaikan terbang dan ramah lingkungan dari EASA, European Aviation Safety Agency. Singkat kata SSJ-100 telah siap maju dalam ajang persaingan yang sangat ketat dalam industri penerbangan dunia yang kini tengah dikuasai oleh Boeing dan Airbus.
Kecelakaan di Gunung Salak, jelas merupakan pukulan berat bagi Rusia. Patut diingat bahwa, berdasarkan pengalaman, bila sebuah pesawat total loss dan tidak menyisakan satu orang pun awak maupun penumpangnya, maka faktor penyebab kecelakaan yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diungkap. Itu sebab, antara lain, hasil penyelidikan selalu menggunakan istilah “most probable cause” atau penyebab yang paling mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, “most probable cause” ini pun hanya bisa diungkap bila kotak hitam berhasil ditemukan dan dalam kondisi yang masih dapat dibaca. Berita terakhir, menyebutkan bahwa dari dua komponen Black Box pada pesawat SSJ-100, ternyata hanya satu saja (Cockpit Voice Recorder ) yang berhasil ditemukan. Dengan ini maka sudah dapat diperkirakan KNKT akan kesulitan dalam melakukan investigasi terhadap penyebab kecelakaan SSJ-100 di Gunung Salak.
Terlepas dari itu semua, karena kecelakaan ini terjadi di wilayah Otoritas Penerbangan Nasional Republik Indonesia, maka mata dunia dipastikan akan melihat kejadian ini dengan 1001 pertanyaan tentang apa gerangan penyebab kecelakaan tersebut. Kredibilitas KNKT dan juga tentu saja Kredibilitas Pemerintah sebagai pemegang otoritas penerbangan berada di posisi yang menjadi fokus perhatian dunia. KNKT jelas memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan penyelidikan penyebab kecelakaan, terlebih dengan kondisi Flight Data Recorder, bagian lain dari Black Box yang tidak atau belum dapat ditemukan.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang otoritas penerbangan di negeri ini, tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap terjadinya kecelakaan pesawat SSJ-100. Tanggung jawab dalam arti luas, yaitu minimal dapat menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan antara lain melalui hasil kerja KNKT. Masalahnya adalah, kini sudah beredar luas pendapat yang berkembang mengenai peran dari ATS, Air Traffic Control Services dalam kecelakaan tersebut. Jelas , terlalu dini untuk mengatakan bahwa pihak ATC, Air Traffic Control bersalah atau berkontribusi dalam kecelakaan ini. Sekali lagi, tentang hal tersebut kita semua harus bersabar menunggu hasil kerja KNKT.
Disisi lain, apapun alasannya, kiranya wajib bagi kita semua untuk mendapatkan pelajaran dari peristiwa ini, agar peristiwa serupa tidak terulang lagi.
Khusus tentang tudingan terhadap ATC yang diduga melakukan kesalahan, sudah banyak bantahan yang disampaikan melalui media masa. Berulang-ulang pihak ATC mengatakan bahwa ijin untuk turun dari 10000 ft ke 6000 ft diberi berdasarkan posisi pesawat yang berada di area aman. Lagi-lagi pembuktian hanya dapat diperoleh nanti setelah KNKT selesai mengerjakan proses penyelidikan. Polemik dan perbantahan tentang salah atau tidaknya ATC akan menjadi menarik, bila kita berani mencoba bertanya pada diri kita sendiri, apakah selama ini memang ada masalah dengan ATC kita? Agak kurang menguntungkan, karena jawabannya adalah memang kita punya masalah dalam urusan ATC di Indonesia. Sejak tahun 2007 yang lalu, disaat begitu banyak kecelakaan terjadi, ICAO (International Civil Aviation Organization) mendapatkan lebih dari 100 temuan dalam dunia penerbangan kita. Berdasarkan temuan ICAO tersebut FAA (Federal Aviation Administration) menurunkan posisi Republik Indonesia ke kategori 2.
Ini bermakna Republik Indonesia dinilai tidak “comply” (memenuhi persyaratan) dengan International Civil Air safety regulation seperti yang ditetapkan oleh ICAO. FAA hanya mengenal dua kategori yaitu kategori 1 adalah Negara yang memenuhi syarat keamanan terbang Internasional mengacu pada standar ICAO, sedangkan kategori 2 adalah mereka yang tidak memenuhi syarat. Lebih-lebih lagi, sejak tahun 2009, Undang-undang Penerbangan no 1 telah mengisyaratkan tentang langkah-langkah penyempurnaan yang harus dilakukan. Satu diantaranya adalah, diharuskannya setelah dua tahun sejak diundangkan, Indonesia harus membentuk pengorganisasian ATC yang satu atap.
Kini sudah lebih dari dua tahun dan hal tersebut masih belum juga terwujud. Sekarang ini ATC masih berada terpecah-pecah di bawah beberapa organisasi lain seperti Angkasa Pura 1 dan Angkasa Pura 2. Ditambah lagi urusan ATC pun masih tergabung dalam struktur manajemen yang mengurus fasilitas Airport, terminal dan sekitarnya dalam pola “business as usual”. Pengelolaan ATC yang berbasis safety, harus berada dibawah satu manajemen yang tidak tercampur baur dengan urusan bisnis lainnya. Demikianlah, ditengah-tengah pertumbuhan jumlah penumpang domestik yang fantastis, yang terlihat adalah infra struktur penerbangan menjadi tertinggal dan organisasi ATC pun, masih terpecah-pecah. Jumlah sdm yang dimiliki, konon juga masih belum mencukupi, dan peralatan yang digunakan juga masih menuntut penyempurnaan yang belum tuntas dilaksanakan. ATS single provider seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang belum juga ter-realisasi.
Pengorganisasian satu atap atau single provider sebenarnya dapat lebih mudah menjawab tantangan mengenai jumlah sdm, kaderisasi, kesejahteraan dan juga peralatan yang digunakan. Pengelolaan ATC yang terpisah dari urusan airport dan terminal serta tetek bengek lainnya pasti akan membuat kinerja para controller akan lebih fokus ! Sampai disini, sangat masuk akal, kemudian bila kita harus mengakui bahwa sorotan terhadap jajaran ATC menjadi sesuatu yang sangat logis sifatnya. Disadari atau tidak kita memang tengah menghadapi masalah serius dalam dunia penerbangan. Tidak saja ATC kita yang bermasalah, akan tetapi juga beberapa bidang terkait lainnya. Semua itu tengah menunggu langkah perbaikan dan penyempurnaan, langkah problem solving !
Namun apa mau dikata ? DR. Judith Orasanu Ph.D seorang peneliti NASA yang kesohor itu pernah mengatakan bahwa :
“You can’t solve a problem unless you recognize you’ve got a problem and you understand the nature of the problem ! “
Pada kenyataannya, memang hanya mereka yang sadar bahwa dirinya tengah bermasalah yang akan tergerak untuk berusaha memecahkan masalah, itupun kalau dia menguasai masalahnya !
Jakarta 26 Mei 2012
Chappy Hakim
Pengisi kolom “defense & aviation”
Sindo, Selasa 12 Juni 2012