Pada setiap pergantian Panglima TNI, selalu muncul banyak pendapat tentang apakah harus dan perlu bergiliran atau tidak. Melihat Undang-undang, regulasi atau ketentuan dan prosedur yang berlaku memang disebutkan antara lain bahwa Jabatan Panglima TNI itu “dapat” atau “tidak harus” bergiliran atau bergantian.
Disebutkan pula bahwa persyaratannya adalah para calon harus Perwira Tinggi bintang 4 yang telah menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan. Lebih jauh lagi calon yang ditunjuk harus mengikuti dan lolos dari “fit and proper test” di DPR.
Jabatan di negeri ini sudah terlanjur dilihat sebagai sesuatu yang hanya diposisikan pada tempat yang “bergengsi”, tempat yang “prestisius” dan bahkan pada sudut pandang tertentu “hanya” dilihat sebagai posisi yang penuh dengan “priviliges” atau “hak-hak istimewa”.
Padahal pada hakikatnya, maka sebuah jabatan itu lebih kepada masalah “tanggung jawab” dan masalah “tugas berat” membawa sebuah organisasi untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan sekaligus mengembangkan unjuk kerja organisasi menuju ke arah yang sesuai kebijakan pimpinan.
Jabatan Panglima TNI adalah sebuah jabatan yang membawahi Angkatan Darat , Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebagai sebuah kekuatan perang yang membutuhkan kekompakan dalam menjalankan tugas, maka yang pertamakali harus dikelola adalah bagaimana setiap Angkatan dapat bekerjasama dengan baik.
Platform untuk dapat bekerjasama dengan baik adalah tentu saja “kesetaraan” antar Angkatan yang harus senantiasa dijaga. Pada posisi pimpinan dari ke 3 Angkatan maka diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam hal mendalami tugas-tugas setiap Angkatan yang memiliki ciri khas dan keistimewaan serta kelebihan dan kelemahannya.
Itu sebabnya , maka pada posisi jabatan Panglima TNI harus dipertimbangkan untuk dijabat secara bergiliran, agar diperoleh pengetahuan lintas angkatan.
Lebih jauh lagi, dalam pemahaman sebuah jabatan itu harus dilihat lebih kepada “pelaksanaan tugas berat” dan “tanggung jawab”, maka secara otomatis orang akan menghindar untuk duduk dalam posisi itu terus menerus tanpa bergiliran.
Setiap orang dalam jajaran pimpinan sebuah organisasi justru menuntut posisi dengan “tugas berat” dan penuh dengan “tanggung jawab” harus dilakukan dengan atau secara bergantian.
Sekedar contoh saja, dalam penugasan sebagai “perwira piket” (posisi jabatan yang jelas sekali tentang tugas dan tanggung jawab) dalam sebuah jajaran satuan yang merupakan gabungan AD, AL dan AU, jabatan yang bergiliran menjadi sebuah keniscayaan, bahkan tuntutan untuk dijabat bergantian akan selalu mengemuka.
Dengan analogi yang seperti ini, melihat posisi jabatan pada sudut yang lebih melihat “tugas berat” yang menuntut “tanggung jawab” maka pertanyaan harus bergantian atau tidak akan dengan sedirinya “lenyap” dari permukaan.
Pimpinan dari 3 organisasi perang yang menuntut kesetaraan karena dibutuhkan kekompakan dalam menjalankan tugas, sekali lagi harus dilihat sebagai “tugas berat” yang menuntut “tanggung jawab” yang besar, jauh dari sekedar dillihat sebagai posisi yang penuh dengan “priviliges” dan sekedar “gengsi”