Di tengah dinamika dari cepatnya perubahan global hari ini, dua konsep klasik dalam ilmu hubungan internasional kembali mencuat ke permukaan: geopolitik dan geostrategi. Keduanya bukan semata-mata istilah akademik, melainkan kunci penting untuk memahami mengapa dunia bergerak seperti sekarang—dan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia bersikap. Perkembangan yang pesat itu hendaknya dipahami sebagai lonceng peringatan bagi kita semua, terutama para elit bangsa untuk sadar dan bangkit dari lamunan belakangan ini. Lamunan untuk mencapai Indonesia Emas 2045 tetapi hanya sibuk beraktivitas dengan pola visi yang hanya terbelengu dengan kesibukan menyusun kekuatan bagi kepentingan diri sendiri dan golongan dalam relung waktu 5 tahunan pilkada dan pilpres semata.
Harus di ingat bahwa Geopolitik adalah seni membaca dunia melalui peta kekuasaan. Negara bukan sekadar entitas hukum, tetapi organisme yang berjuang untuk bertahan dan mendominasi di lingkungan yang terus berubah. Sekedar contoh saja, Halford Mackinder, seorang tokoh geopolitik pada awal abad ke-20, pernah menegaskan bahwa siapa yang menguasai Eurasia, akan menguasai dunia. Maka tak heran jika wilayah seperti Ukraina dan Laut Cina Selatan terus menjadi medan perebutan kekuatan besar.
Bagi Indonesia, pemahaman geopolitik artinya memahami bahwa lokasi geografis adalah modal politik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di jalur laut tersibuk global, posisi Indonesia bukan hanya strategis—melainkan amat sangat strategis. Tapi, apakah kita telah benar-benar menyadari dan memanfaatkannya?
Jika geopolitik adalah diagnosa, maka geostrategi adalah terapinya. Inilah sebuah seni dalam menyusun langkah-langkah konkrit untuk menggunakan posisi geografis demi kepentingan nasional. Dalam konteks Indonesia, geostrategi artinya bukan sekadar membangun pangkalan militer, tetapi merancang pertahanan menyeluruh: dari sistem radar, interoperabilitas TNI, hingga kebijakan luar negeri yang adaptif dan proaktif. Menyusun sebuah rencana strategis jangka panjang berbasis kajian akademik. Kita harus menyusun Blue Print atau buku putih dengan ujung tombak rencana pertahanan keamanan nasional yang terpadu dan terperinci secara detil.
Tanpa geostrategi, kita hanya jadi “raksasa geografis” yang tidur. Sejarah membuktikan bahwa kekayaan letak tidak otomatis menjadi kekuatan, kecuali dikelola dengan visi strategis dan keteguhan eksekusi.
Mendalami pertarungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok ternyata bukan sekadar soal tarif atau defisit perdagangan. Ini adalah ekspresi keras dari konflik geopolitik dan geostrategi dua kekuatan global yang saling menegaskan pengaruhnya. Tiongkok dengan Belt and Road Initiative berupaya menancapkan pengaruhnya ke Asia Tengah, Afrika, hingga Eropa. Sebaliknya, Amerika Serikat merespons lewat aliansi Indo-Pasifik dan pembatasan akses teknologi strategis bagi Beijing.
Pertarungan ini bukan hanya di arena ekonomi. Jalur logistik, kontrol data, dominasi semikonduktor, hingga pengaruh militer di Laut Cina Selatan—semuanya menjadi bagian dari paket geostrategis yang kompleks. Yang perlu kita sadari, semua itu terjadi tidak jauh dari halaman rumah kita sendiri: kawasan Indo-Pasifik.
Bagi Indonesia, konflik ini adalah panggilan untuk bangun. Kita hidup di persimpangan lalu lintas dunia, dikelilingi oleh perairan vital, dan memiliki ruang udara yang menjadi rebutan kendali. Sayangnya, kita masih sering terjebak dalam respons reaktif, bukan perencanaan strategis jangka panjang. Celakanya adalah bahkan ruang udara paling strategis yang berlokasi di seputaran Selat Malaka, malah didelegasikan wewenang pengelolaannya pada negara tetangga untuk 25 tahun dan akam diperpanjang. Sebuah refleksi dari masih rendahnya pemahaman kita terhadap geopolitk dan geo strategi.
Kini saatnya Indonesia harus mulai sadar dan merumuskan doktrin geostrategi nasional yang jelas dan operasional. Kita tidak bisa hanya menjadi objek permainan kekuatan besar. Kita harus menjadi subjek—aktor yang tahu apa yang diinginkan, tahu bagaimana mencapainya, dan sekaligus harus mampu untuk mempertahankannya.
Seperti kata pepatah lama sangat jelas bahwa: siapa yang tidak punya strategi, akan dijadikan bagian dari strategi orang lain. Kelihatannya kita memang sudah terjebak dalam posisi yang seperti itu.
Geopolitik dan geostrategi bukan hanya bahan kuliah atau sekedar pengetahuan umum yang nice to know belaka. Ia adalah kompas bagi sebuah bangsa yang ingin bertahan dan unggul. Tanpa pemahaman keduanya, Indonesia akan terus berada di pinggiran sejarah. Sulit untuk dapat mencapai Indonesia Jaya di tahun 2045.
Indonesia harus bangkit. Menyusun langkah dengan disiplin. Berpikir jauh ke depan. Membangun sistem pertahanan keamanan nasional tertama dalam hal pertahanan udara dan laut yang kokoh. Menyusun aliansi dan posisi tawar yang cerdas. Sebab di dunia yang penuh ketidakpastian ini, hanya bangsa yang berpikir strategis yang bisa tetap tegak berdiri.
Bila kita masih tetap seperti sekarang ini, dengan visi yang hanya terbatas pada putaran pilkada dan pilpres yang hanya memiliki rentang waktu 5 tahunan , maka bersiaplah untuk memasuki jalan raya bebas hambatan menuju negara gagal. Visi Indonesia Emas 2045 otomatis akan menjadi sebuah khayalan semata. Sebuah cita cita bagaikan Burung Pungguk yang merindukan sang Rembulan.
Jakarta, April 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia