Lebih kurang 10 – 15 tahun terakhir, harga tiket pesawat terbang di Indonesia terlihat “murah” dan sekaligus dilayani dengan pesawat terbang yang relatif baru. Di banyak negara maju untuk penerbangan dibawah 2 atau 1 jam, mereka pasti dilayani oleh pesawat terbang baling-baling, tidak demikian hal nya di Indonesia, selama ini penerbangan dibawah 1 jam pun sebagian besar menggunakan pesawat Full Jet produk terbaru, dengan harga tiket murah.
Harga tiket pesawat terbang memang selalu berubah-rubah antara lain karena menyesuaikan dengan musim “padat” atau “sepi” penumpang. Menjelang hari raya Lebaran dan Natal serta Tahun Baru misalnya, dipastikan harga tiket akan naik melambung tinggi, sesuai teori “supply and demand”. Demikianlah, maka menjelang masuk bulan puasa dimana arus “nyadran” terlihat di permukaan, maka naiklah harga tiket pesawat terbang yang kebetulan juga diiringi dengan meningkatnya harga bahan bakar pesawat, kurs US Dollar serta tarif jasa pendukung operasi penerbangan. Maka meradanglah banyak pihak , antara lain para konsumen pengguna jasa angkutan udara yang pastinya diikuti oleh para pengusaha hotel dan jasa pariwisata di daerah. Pemerintah pun kemudian terpaksa turun tangan. Ditengah-tengah perundingan antara pemerintah dan maskapai tentang harga tiket yang melambung, tanpa disangka-sangka muncul ide yang bergulir tentang kemungkinan di “undang” nya Maskapai Penerbangan Asing untuk masuk ke Indonesia melayani rute domestik. Hal tersebut serta merta disambut baik, karena terlihat sangat masuk akal dan akan membuat harga tiket pesawat bersaing. Pertandingan “adu murah” seperti yang terjadi dalam dua dekade terakhir akan terulang kembali. Dalam hal ini kurang disadari bahwa perang tanding “adu murah” yang telah terjadi di Indonesia tersebut, walau sudah sangat berhasil memanjakan konsumen angkutan udara pada realitanya telah memakan korban. Banyak Maskapai Penerbangan Domestik termasuk yang sudah berkiprah puluhan tahun, jatuh bangkrut. Dari puluhan Maskapai Penerbangan Domestik di awal tahun 2000-an, kini sudah menciut dalam hitungan jari saja. Semua “musnah” dimakan permainan “adu murah” yang sekaligus dan pasti merembet pada pergumulan “rebutan slot penerbangan rute gemuk”.
Demikian pula langgam “adu murah” tiket pesawat terbang telah menyebabkan meningkatnya pertumbuhan penumpang yang sangat fantastis sehingga banyak bandara kedodoran akibat kapasitas penumpang yang melebihi kemampuan dari fasilitas pelayanan yang tersedia. Persaingan “adu murah” juga telah menghasilkan “regulasi” baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam dunia penerbangan, berjudul peraturan harga tiket dengan pola batas atas dan batas bawah. Dengan hanya tinggal dalam hitungan jari saja jumlah Maskapai Domestik, maka lahan untuk bertanding “adu murah” harga tiket menjadi lenyap dan otomatis berubah dengan pola “kerja sama” dalam menetapkan besaran harga tiket. Lebih jauh lagi , karena sudah masuk dalam perangkap aturan harga tiket yang berada dalam tabung batas atas dan batas bawah, maka tidak bisa dihindari munculnya tuduhan “kongkalikong” dalam bersama-sama menaikkan harga tiket pesawat terbang. Sesuai norma “perang” dalam medan yang multi lateral, maka bila sudah tidak ada lagi yang harus di “musnahkan”, pilihannya ya hanya berdamai dan bekerjasama. Nah, sekarang muncul formula “canggih” untuk menurunkan harga tiket pesawat menjadi “murah” kembali yaitu dengan mengundang Maskapai Penerbangan Asing masuk untuk melayani rute domestik. Walau tidak mudah untuk dapat dilaksanakan segera, karena banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, antara lain karena bertentangan dengan regulasi internasional bertajuk “cabotage” (article 7 Chicago Convention 1944), namun paling tidak ide ini sudah menjadi satu diantara solusi yang akan dipilih. Apakah formula ini akan berhasil atau tidak, tentu saja hanya sang waktu yang akan dapat menjawab. Idealnya, memilih solusi dalam menghadapi sebuah permasalahan adalah dengan melakukan investigasi, audit, analisis dan atau diagnosa terlebih dahulu mengenai “kenapa” permasalahan tersebut bisa terjadi. Setelah diketahui penyebabnya, maka dengan sendirinya akan jauh menjadi lebih mudah dalam memilih solusi untuk dapat menyelesaikan persoalan dengan tuntas. Analoginya adalah, untuk menyembuhkan penyakit, seorang dokter pasti akan memeriksa terlebih dahulu pasiennya sebelum menuliskan resep berisi “drug of choice” untuk dapat dibeli (obat nya) di apotik. Ketika persaingan yang tidak sehat dalam perang “adu murah” tiket pesawat terbang, tidak terlihat adanya penyelidikan terlebih dahulu, sementara yang terjadi adalah keluarnya ketentuan mengenai aturan tarif batas atas dan batas bawah harga tiket. Dalam perjalanannya kemudian memang tampak bahwa kebijakan peraturan harga tiket dengan batas atas dan batas bawah tidak banyak membantu menyelesaikan masalah yang berkembang di lapangan. Lebih kurang pada era perang tarif adu murah tiket pesawat terbang dan “rebutan slot penerbangan rute gemuk” terjadi, maka serangkaian peristiwa yang mengiringinya adalah banyak terjadi kecelakaan pesawat terbang dan pada akhirnya disusul dengan gulung tikarnya banyak Maskapai Penerbangan domestik yang justru sudah berusia cukup panjang dan matang pengalaman. Pada titik ini, karena tidak diselidiki dengan cermat penyebabnya, maka kita menjadi tidak pernah tahu tentang apakah ada hubungan antara harga tiket murah, banyaknya kecelakaan pesawat terbang dan tutupnya sejumlah Maskapai Penerbangan Domestik, termasuk MNA, Maskapai Penerbangan Perintis milik Pemerintah.
Demikian pula saat terjadi membludaknya jumlah penumpang di SHIA (Soekarno Hatta International Airport) beberapa tahun lalu, tidak diketahui mengenai apa penyebab sehingga penumpang bisa begitu berlebihan yang kemudian mengakibatkan delay yang sangat parah. Yang terjadi adalah sebuah solusi dengan memindahkan saja kelebihan penumpang di Cengkareng ke Halim. Contoh dari solusi yang tidak berbasis kepada investigasi – penyelidikan – diagnosa tentang mengapa masalah muncul kepermukaan, sementara yang muncul adalah solusi yang menimbulkan masalah baru di Halim. Tabrakan pesawat terbang sipil komersial kemudian terjadi di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma tidak lama setelah dipindahkannya kelebihan traffic dari Cengkareng. (15 April 2016 Batik Air dengan Transnusa). Untuk itu kiranya akan lebih baik bila dikaji terlebih dahulu serta diselidiki secara mendalam apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi dengan harga tiket pesawat yang melambung tinggi. Baru setelah itu, akan menjadi jauh lebih mudah upaya mencari solusi sebagai “problem solving” masalah tersebut. Solusi yang berbasis kepada penyelidikan , investigasi dan atau diagnosa yang cermat pasti akan memberikan harapan besar bagi keberhasilan dalam mengatasi dan menuntaskan permasalahan. Sebagai penutup, mungkin perlu pula direnungkan sejenak apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein bahwa : “If I had an hour to slove a problem, I’d spend 55 minutes thinking about the problem and 5 minutes thinking about solutions”
Jakarta 6 Juni 2019 Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia
Catatan :
“Dalam format yang sudah di edit, artikel diatas ini sudah dimuat di Koran Kompas Sabtu tanggal 15 Juni 2019”.