Ide untuk menuntaskan masalah harga tiket pesawat yang dipandang “mahal” belakangan ini dengan cara mendatangkan Maskapai Asing untuk menjalani rute domestik, telah memperoleh sambutan yang meriah dari sebagian besar pihak dan bahkan telah di vonis sebagai “obat mujarab” bagi persoalan “harga tiket yang mahal”. Mungkin saja benar dan memberi harapan besar, akan tetapi dipastikan akan tidak mudah untuk dapat mewujudkannya dengan cepat. Salah satu yang menjadi pertimbangan serius tentu saja adalah mengenai hambatan pada regulasi internasional yang tercantum dalam article 7 Konvensi Chicago 1944 yang tidak sejalan dengan ide tersebut. Satu lagi adalah, bahwa sampai sekarang , belum pernah ada satu pun negara dipermukaan bumi ini yang melakukan kebijakan seperti itu.
Pada tanggal 23 April 1784, pihak Kepolisian Perancis melarang Montgolfier Bersaudara untuk menerbangkan balonnya ke udara tanpa memperoleh ijin terlebih dahulu. Berikutnya pada tahun 1910 Balon Jerman dipergoki berkali-kali telah memasuki wilayah udara Perancis tanpa meminta ijin atau memberitahukan sebelumnya kepada pemeritah Perancis di Paris. Peristiwa ini membawa kedua negara ke meja perundingan untuk mencari solusi terbaik. Pertemuan demi pertemuan hanya menghasilkan kesepakatan awal bahwa di udara tidak dikenal teori “Freedom of the Air” seperti halnya yang berlaku di hukum laut pada ketika itu.
Tanggal 8 Februari 1919 penerbangan berjadwal untuk pertama kali diselenggarakan untuk menghubungkan kota Paris dengan kota London di Inggris. Kegiatan yang berlandas kepada perundingan atau negosiasi antara Inggris dan Perancis mengacu kepada soal tidak ada kesepakatan tentang teori Freedom of the Air. Dari rangkaian peristiwa yang mengalir itu, maka lahirlah Konvensi Paris 1919 yang kemudian ditegaskan dalam Konvensi Chicago bahwasanya setiap negara berdaulat “complete” dan “exclusive” di wilayah udara teritorialnya. (Introduction to Air Law ; Pablo Mendes de Leon)
Sudah sejak lama semua negara telah mengkhawatirkan eksistensi negaranya apabila wilayah udara kedaulatannya dapat digunakan secara leluasa oleh negara lain. Seluruh negara merasa perlu untuk menghadirkan aturan secara Internasional yang dapat menjamin tentang kedaulatan negara di udara agar tidak ada ancaman serius bagi pertahanan keamanan negaranya. Teori tentang “Freedom of the Air” dan juga paham mengenai “Open Sky” masih sulit untuk dapat diterima dengan pertimbangan National Security dan juga merambah ke arah persoalan yang berkait dengan bisnis dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan sejak ber-abad-abad yang lalu, jauh sebelum orang mengenal pesawat terbang sudah dikenal tentang pemahaman dalam Hukum Romawi Kuno bahwa “cujus est solum ejus usque ad coelum” yang terjemahan bebasnya adalah bahwa barang siapa yang memiliki sebidang tanah, maka dia juga memiliki hak milik hingga keatas langit diatasnya. Jadi sudah sejak ratusan tahun lalu orang sudah memiliki prinsip yang tidak selaras dengan azas “open sky” policy. (Prof.Dr. Priyatna Abdurrasjid)
Dalam perkembangannya, seluruh negara anggota PBB akan otomatis menjadi anggota ICAO, International Civil Aviation Organization. Fokus dari sasaran kerja dan misi dari ICAO adalah mengenai Safety, Security , Environtment Protection dan Fair Competition.
Disisi lain, dalam pengelolaan wilayah udara kedaulatan negara, Article 7 (Cabotage) Chicago Convention 1944, dengan sangat jelas menyebutkan antara lain bahwa : Each contracting state shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting state to take on each territory passengers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territorry.
Makna dari article 7 Chicago Convention 1944 adalah bahwa bukannya ada peraturan internasional yang melarang penerbangan domestik oleh Maskapai Asing, akan tetapi ada aturan internasional yang memberikan hak (have the right) untuk menolak memberikan ijin (refuse permission) bagi Maskapai Asing untuk beroperasi dalam rute domestik. Terkandung didalamnya , dalam hal ini yang menyangkut erat pada kepentingan nasional sebuah negara (National Interest)
Demikianlah, dari rangkaian uraian diatas terlihat sangat jelas bahwasanya sudah sejak tahun 1700 an hingga sekarang ini, sebagian besar negara tidak menghendaki adanya kegiatan penerbangan negara lain (tanpa ijin dan atau tanpa perjanjian – persetujuan para pihak) diwilayah udara kedaulatannya. Paham Freedom af the Air dan atau azas Open Sky masih akan sulit untuk dapat diterima dengan pertimbangan , terutama sekali mengenai eksistensi sebuah negara. Lebih dari itu, pada hakikatnya jejaring perhubungan udara dalam negeri tidak bisa hanya dilihat dalam perspective sebuah pasar bebas tempat menjual jasa angkutan udara. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa dalam jejaring perhubungan udara domestik berisi didalamnya banyak kepentingan pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan dan sistem pertahanan keamanan nasional. Dalam pengelolaan jaring perhubungan udara domestik terdapat fungsi “cadangan negara” yang dapat digerakkan setiap saat negara mengalami ancaman keamanan (perang) dan menghadapi situasi darurat bencana alam serta terorisme. Itulah sebabnya , maka kehadiran Maskapai Asing pada rute domestik seyogyanya harus terlebih dahulu dikaji dengan mendalam dan hati-hati, terutama dalam merumuskan “basic rules of the game” nya, sehingga tidak akan terjadi penyesalan dibelakang hari bila terjadi kondisi yang justru akan sangat merugikan kepentingan negara dan bangsa.
Ditengah-tengah gegap gempitanya kita menyatakan kemampuan untuk mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam banyak hal untuk tidak tergantung kepada asing, dan ditengah-tengah meriahnya kita mengambil alih kepemilikan asing yang ada di dalam negeri, kiranya akan terlihat sebagai sebuah ironi, bila di kemudian hari nanti pasar penerbangan domestik Indonesia berubah menjadi lahan subur dalam menangguk keuntungan yang tiada tara (karena kedepan dunia penerbangan akan terus berkembang pesat) bagi perusahaan-perusahaan asing yang datang ke Indonesia. Akankah kemudian kita berjuang lagi, nantinya untuk mengembalikan lahan berharga itu (jaring penerbangan domestik) dengan jargon “super patriotik” mengembalikan jalur penerbangan domestik ke pangkuan ibu Pertiwi? Akankah kita, setelah melihat demikian besar keuntungan yang dapat diangkut ke luar negeri oleh Maskapai Asing dari rute domestik , akan menuntut 51% kepemilikan perusahaannya ? Akankah pada satu saat nanti kita juga akan berkata (untuk mengambil alih Maskapai Asing) bahwa kita sanggup menyelenggarakan jejaring perhubungan udara di rumah kita sendiri ? dan masih banyak lagi pertanyaan yang menuntut jawaban agar tidak menyesal di kemudian hari. Jangan-jangan, mudah-mudahan tidak terjadi, setelah menyaksikan sendiri di depan mata tentang betapa besar keuntungan yang diperoleh Maskapai Asing pada rute domestik (karena mereka pada umumnya bekerja profesional), maka kita akan menuduh mereka sebagai Neo Kolonialisme, VOC atau penjarah harta karun di Indonesia. Masalah yang patut diantisipasi adalah tidak ada satu pun Maskapai Asing yang mau masuk ke Indonesia yang hanya digunakan sebagai alat menurunkan harga tiket pesawat terbang rute domestik saja dan kemudian harus keluar dari Indonesia.
Semoga saja kita tidak terlalu cepat beranggapan bahwa Maskapai Asing adalah sebuah obat mujarab dalam mengatasi harga tiket yang tengah melambung tinggi. Harga tiket yang mahal belakangan ini hanyalah puncak gunung Es yang terlihat di permukaan yang menyimpan demikian banyak soal yang menunggu untuk ditangani terlebih dahulu, sebelum kemudian kita dapat menemukan solusi atau cara yang mudah dan tepat untuk menyelesaikannya dengan tuntas.
“Life is really simple, but we insist on making it complicated.” Confucius
Jakarta 9 Juni 2019
Chappy Hakim, Pusat Studi AirPower Indonesia.