Pesawat terbang bermesin pertama terbang di dunia adalah pada tanggal 17 Desember 1903, oleh Wright Brothers di Kill Devil Hill North Carolina , Amerika Serikat. Empat puluh empat tahun setelah itu, pada tanggal 17 Desember 1947, saya lahir di Jogyakarta. Tidak begitu jelas pada umur berapa kemudian saya dan keluarga pindah ke Jakarta, akan tetapi yang saya masih ingat adalah, bahwa saya dan kakak saya Bachrul Hakim, menempuh sekolah taman kanak-kanak di Jakarta. Kami tinggal di Jalan Segara IV nomor 4 Paviliun, Jalan Segara sekarang ini telah berubah nama menjadi Jalan Veteran.
Jalan Segara IV sendiri, saat ini telah tiada, yang masih eksis sampai sekarang adalah Jalan Segara I, Segara II dan jalan Segara III, tentu saja namanya sekarang menjadi jalan Veteran I, II dan III. Seingat saya, menjelang menyelesaikan SR, Sekolah Rakyat, kini istilahnya SD, Sekolah Dasar, di awal tahun 1960-an, kami sekeluarga pindah rumah ke Jalan Bendungan Hilir IX Nomor 5 dekat kawasan yang bernama Pejompongan. Semua penghuni Jalan Segara IV pada waktu itu dihimbau untuk pindah, karena akan ada proyek perluasan halaman Istana. Yang santer diketahui saat itu adalah keinginan Bung Karno membangun Mesjid Baiturrahim di kawasan lapangan tenis Istana. Berkembang berikutnya adalah, dibangunnya Wisma Negara yang diperuntukkan bagi tamu-tamu setingkat Kepala Negara.
Saya dan Bachrul, mengikuti Sekolah Taman Kanak-kanak dihalaman Istana, yaitu diruang terbuka yang terletak antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Disekolah yang mengambil tempat di ”kupel” tersebut, memang diperuntukkan bagi sekolah taman kanak-kanak yang para muridnya cukup unik. Mereka terdiri dari anak-anak Presiden, anak-anak yang tinggal di jalan Segara IV dan sekitarnya serta anak-anak pelayan istana yang tinggal di Mess Pelayan yang terletak di halaman Istana, kini adalah lebih kurang lokasi dari Bina Graha.
Di kala itu Jakarta masih sepi sekali, bila dibandingkan dengan sekarang. Angkutan umum di dalam kota adalah Trem dan Becak. Seingat saya, ada rute Trem yang melintas di depan Istana Negara, yaitu sepanjang jalan Segara, Veteran sekarang menuju kawasan kota yang juga sampai ke daerah Senen. Dikawasan Senen ini terletak Pool dari Trem, yang rute satunya lagi adalah menuju ke Jatinegara.
Bepergian di Jakarta saat itu sangat mudah. Bisa menggunakan Trem, dan juga bisa menggunakan becak. Bagi kami yang kebetulan tinggal di Jalan Segara, maka itu berarti tinggal dipusat kota. Tidak jauh dari jalan segara terdapat pusat perbelanjaan Pasar Baru dan tidak jauh dari situ ada Gedung Kesenian. Diseberang Kali Ciliwung, terbentang jalan Nusantara, dengan banyak toko-toko yang berjajar disana, antara lain Van Dorp, Toko Oen dan Toko Olivetti Soekardi. Di ujung jalan Nusantara, menyeberang rel Kereta Api, terdapat dua buah bioskop berseberangan yaitu Capitol dan Astoria. Di Jalan Segara sendiri, terdapat Hotel Rijswijk dan di Jalan Segara I, terdapat restoran terkenal yang menjajakan eskrim ”Italian Ice” . Di Jalan Segara III agak berbatasan dengan Istana, mengahadap ke Jalan Merdeka terdapat Hotel Lainnya yang bernama Hotel Dharma Nirmala, yang kemudian pernah menjadi Mess Pasukan Cakrabirawa. Ujung lainnya yang menghadap ke jalan Segara, ada gedung USIS ( United States Information Service).
Bila dari jalan Segara IV menuju ke arah jalan Majapahit, disana terletak kedutaan besar India, yang sesekali tiap hari Rabu malam memutar film untuk warga sekitar. Di jalan Majapahit sendiri terdapat Hotel Majapahit, kemudian diseberangnya adalah toko dan show-room Philips, sekarang Ralin. Ada juga beberapa toko, antara lain tukang cukur terkenal untuk kalangan atas yang bernama Maharim. Di penghujung jalan Majapahit inilah terdapat simpang Harmoni yang khas dengan patung telanjang nya yang bertengger diatas jembatan kali ciliwung. Berseberangan dengan patung tersebut ada sebuah Hotel lain yang bernama Hotel Des Indes.
Tidak jauh dari jalan Segara IV, dijalan Merdeka Barat, terletak gedung RRI dan juga sebuah kantor dengan bentuk yang unik yaitu terpajang dua buah baling-baling pesawat terbang dihalaman muka nya. Berseberangan dengan lokasi RRI terdapat kantor Polisi yang saat itu terkenal dengan nama Hoofdbureau Van Politie atau Kantor Besar Kepolisian. Orang-orang kala itu menyebutnya sebagai Hofbiro. Jalan Medan Merdeka Barat dahulu namanya adalah Koningsplein West. Di jalan yang sama terdapat pula Museum yang dikenal dengan Gedung Gajah yang didalamnya terdapat perpustakaan nasional. Berseberangan dengan museum terdapat Lapangan Ikada dengan stadion yang cukup megah untuk ukuran saat itu dan disampingnya ada lapangan terbuka yang masih terdapat pohon-pohon beringin besar, dikenal sebagai lapangan Gambir, dimana terdapat pula lapangan Deca Park. Konon di jaman Belanda, sebenarnya Jakarta yang bernama Batavia hanyalah sebuah Kota Keresidenan. Kantor Keresidenan Batavia berada di Gedung Fatahilah yang sekarang menjadi Museum Fatahilah.
Demikianlah lebih kurang suasana di kawasan sekitar Jalan Segara IV. Pada beberapa kesempatan, ayah saya kerap membawa saya dan kakak saya jalan-jalan dengan menggunakan sepeda. Kadang ke Lapangan Gambir dan kadang juga ke Kemayoran. Nah, di Kemayoran inilah, terdapat lapangan terbang yang dapat dilihat dari pagar luarnya. Dari salah satu sisi didekat lapangan terbang Kemayoran ada satu tempat dipinggir jalan yang dapat melihat pesawat terbang parkir dalam jarak yang agak dekat. Ayah saya biasa memparkir sepedanya dan mengajak saya untuk melihat dari kejauhan pesawat terbang yang berjejer disitu. Pagar pembatas tempat parkir pesawat dengan pinggir jalan hanyalah berupa tanaman yang tebal hijau dan dirawat dengan rapih. Disalah satu sisinya terdapat tiang dengan papan nama menyebutkan larangan untuk menerobos batas pagar lengkap dengan nomor dari undang-undang serta ancaman hukumannya. Dalam beberapa kesempatan Ayah saya juga sempat mengambil foto saya dan kakak saya dengan latar belakang pesawat terbang. Kala itu pesawat terbang yang ada di tempat parkir adalah pesawat jenis DC-3 Dakota dan juga pesawat amphibi Catalina. Saya, kakak saya sering mendiskusikan seraya bertanya kepada ayah saya tentang mengapa pesawat terbang yang terlihat kecil di udara akan tetapi ternyata sangat besar terlihat saat di darat. Pembicaraan yang menarik tentunya, karena dalam beberapa kesempatan kami melihat pesawat terbang saat terbang di udara dan pada kesempatan lainnya kami melihatnya parkir di darat, di pelabuhan udara Kemayoran.
Pada beberapa kesempatan melihat pesawat terbang di darat, dan kerap sempat juga melihat ada penerbangnya di balik kaca kokpit, muncul rasa kagum yang luar biasa membayangkan alangkah hebatnya orang itu yang dapat menerbangkan pesawat yang sebesar itu. Disela-sela menikmati pesawat terbang yang diparkir disitu, sesekali terlihat juga satu dua pesawat terbang yang take off dan landing, walau agak jarang terlihat. Momen-momen yang seperti inilah, diawal-awal saya melihat dengan mata kepala sendiri sebuah pesawat terbang yang sebesar itu didarat, juga dengan bagian kokpitnya terlihat samar-samar wajah sang Pilot lengkap dengan topinya yang khas itu, muncullah keinginan atau mungkin impian untuk menjadi Pilot kelak bila sudah besar. Saya kemudian sering dan selalu berulang-ulang mengutarakan keinginan saya itu kepada ayah dan ibu saya. Muncullah banyak pertanyaan dibenak pikiran saya mengenai segala sesuatu yang berkait dengan pekerjaan Pilot. Saya membayangkan dan kemudian bertanya dalam hati, bagaimana rasanya menjadi pilot? Bagaimana ya rasanya membawa atau mengemudikan pesawat terbang yang besar itu? Bagaimana ya bentuk setir kapal terbang itu dan banyak lagi. Sering juga , atau mungkin beberapa kali pertanyaan-pertanyaan itu saya tanyakan kepada ibu saya, yang tentu saja ibu saya tidak dapat menerangkannya. Dikala kanak-kanak saya memang lebih banyak bertanya hal-hal detil kepada ibu saya, karena ayah saya selain sibuk, juga agak sulit untuk dapat berdiskusi dengannya. Ayah saya sangat tegas dan hanya berbicara pada hal-hal yang penting saja. Jarang ayah saya berdiskusi apalagi bergurau, beliau orang yang sangat serius, walau sekali-sekali ada juga candanya.
Begitulah, pertama kali dalam hidup saya, melihat pesawat terbang dari dekat adalah di Kemayoran, diajak ayah saya dengan membonceng sepeda dari rumah. Dua jenis pesawat yang saya ingat dan kemudian hari diketahui sebagai pesawat Dakota dan pesawat Catalina. Tidak terbayang sedikit pun, pesawat yang saya lihat dari dekat itu, salah satunya Dakota, menjadi pesawat yang dikemudian hari saya terbangkan sendiri. Saya yang lahir pada tanggal yang bersamaan dengan diterbangkannya pesawat terbang pertamakali di dunia, kemudian menjadi penerbang, dan dimasa kecil melihat pesawat Dakota kemudian sempat pula menjadi penerbang Dakota. Apakah kesemua itu suatu hal yang ”kebetulan” sifatnya? Walahualam. Saya teringat kata-kata Pak Ginanjar Kartasasmita, dalam salah satu ceramahnya di markas besar Angkatan Udara yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu kejadian di dunia ini yang ”kebetulan”. Saat itu, beliau baru saja memulai ceramahnya dengan memberikan bio data singkat , yaitu berkait dengan tanggal lahir beliau yang jatuh tepat tangal 9 April. Tanggal tersebut adalah ”Hari Angkatan Udara”, dan beliau adalah seorang Perwira Tinggi Angkatan Udara yang berpangkat Marsekal Madya TNI. Cukup terpana saya dibuatnya…………”di dunia ini tidak ada yang kebetulan” !
Jakarta 1 Januari 2011
Chappy Hakim