Semasa masih tinggal di jalan Segara IV, walaupun saya dan keluarga tinggal di rumah nomor 4, akan tetapi tepatnya adalah nomor 4 paviliun. Di nomor 4 itu ada tiga rumah, masing-masing rumah utama dan dua lainnya yang agak kebelakang letaknya, dengan ukuran bangunan yang agak lebih kecil.
Rumah utama sering disebut-sebut oleh ayah atau ibu saya dengan sebutan dalam bahasa Belanda, kalau tidak salah tulisannya “hoft gebow” , yang berarti rumah utama, sedangkan dua lainnya dibelakang disebut dengan paviliun. Di Rumah utama itu tinggal sepasang suami isteri orang Belanda yang bernama Wienner, sering disebut dengan Meneer dan Mevrouw Wienner. Mereka memiliki dua orang anak yang bernama masing-masing Royke dan Dieneke. Keluarga ini adalah keluarga yang baik hati, sering pada siang hari yang panas , mengirim es batu ke rumah saya. Sesekali ayah dan ibu saya terlihat berbicara sangat akrab dengan menggunakan bahasa Belanda. Kedua orang tua saya sangat fasih berbahasa Belanda , karena keduanya memang lulusan sekolah Belanda. Saya sendiri dan abang saya sama sekali tidak mengerti bahasa Belanda, akan tetapi karena sering sekali mendengar bahasa Belanda yang digunakan ayah dan ibu saya, maka ada juga beberapa patah kata yang kemudian bisa kita mengerti.
Di era tersebut, belakangan baru saya ketahui bahwa karena rasa kebangsaan dan nasionalisme yang demikian besar, ada golongan para orang tua yang walaupun sangat fasih berbahasa Belanda, mereka mengharamkan untuk mengajarkan bahasa Belanda kepada anak-anak nya. Mereka tidak mau mengajarkan Bahasa Penjajah kepada anak-anak nya.
Jalan Segara IV sendiri, terdiri dari dua sisi yang agak berbeda. Di jalur kiri, bila kita membelakangi jalan Nusantara, berbatasan langsung dengan pagar Istana, hanya ada satu rumah tinggal dan sisanya adalah bangunan dari Kementrian Kehakiman, lengkap dengan pool dan bengkel kendaraannya. Rumah tinggal tersebut adalah kediaman dari keluarga Mr Soedaryo. Beliau adalah satu dari hanya sedikit ahli hukum Indonesia saat itu. Anak-anaknya antara lain adalah Iwan, Imul, Didit, Dodi dan satu atau dua adiknya yang masih kecil-kecil. Imul sebaya dengan abang saya dan Didit lebih kurang seumur dengan saya sedangkan Dodi beberapa tahun lebih muda. Keluarga Mr Soedaryo kemudian pindah rumah ke Jalan Sukabumi di Menteng, hampir bersamaan dengan keluarga kami yang pindah ke Bendungan Hilir.
Di jajaran kanan jalan Segara IV, terdapat banyak rumah dan dua buah berujud Mess dari RRI dan Kementrian Penerangan. Beberapa teman, anak-anak yang tinggal di jalan segara IV antara lain adalah dari keluarga Efendi, seorang pegawai Kementrian Penerangan. Anak-anak nya antara lain Adi Teruna, Arizal dan Ipah. Kemudian beberapa teman lain seperti Arifin, Budi, keluarga Wewengkang yang menempati rumah nomor lima. Di rumah nomor 6 tinggal antara lain, keluarga bapak Soekirman, beliau adalah Kepala RRI dan kita semua anak-anak masih ingat betul dengan mobilnya yang bagus bermerek “Studebaker” warna abu-abu tua, dengan anaknya bernama Lis. Anak-anak Mr Soedaryo dan Lis bersekolah di Perguruan Cikini, pulang pergi diantar supir dengan mobil ayahnya. Lis dengan studebaker abu-abu dan anak-anak Mr Soedaryo menggunakan mobil Chevrolet berwarna hitam. Saya dan abang saya serta anak-anak keluarga Pak Efendi bersekolah di SR Negeri 47 yang terletak di Jalan Petojo Jagamonyet, dekat Pabrik Es Sari Petojo. Kami semua berangkat dan pulang sekolah berjalan kaki.
Begitu pembangunan dari perluasan halaman istana akan dimulai, maka berpindahlah semua keluarga yang tinggal di Segara IV. Semua berpencar, entah kemana. Beberapa tahun yang lalu sempat juga kami anak-anak segara IV bertemu kembali atau paling tidak saling memonitor keberadaan masing-masing. Imul menjadi pegawai Lembaga Pemasyarakatan, adiknya Didit masuk Akabri Kepolisian, demikian juga adiknya Dodi. Adiknya ini yang bernama lengkap Dodi Sumantiawan, terakhir pensiun dari Polri dengan pangkat terakhir Irjenpol dengan jabatan terakhir, kalau tidak salah Kapolda Jawa Tengah. Adi Teruna, menjadi dokter spesialis penyakit dalam, kini masih praktek di Bogor dan merupakan salah satu dari sedikit dokter Indonesia yang melakukan penelitian mendalam tentang penyakit demam berdarah. Adiknya Arizal Efendi almarhum, sempat sukses berkarya di Kementrian Luar Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh RI di Perancis. Tidak sampai setahun sebelum meninggal dunia di Jakarta, saya sempat jumpa dengan Arizal di Paris.
Yang masih sangat teringat oleh saya adalah, keluarga kami dengan keluarga lainnya di jalan Segara IV, berbeda kelas sosial dan tingkat ekonomi satu dengan lainnya, akan tetapi pergaulan anak-anak Segara IV, termasuk para orang tuanya begitu akrab dan tidak terlihat sama sekali kecanggungan dalam bergaul. Para orang tua, umum nya berbicara cas cis cus dengan bahasa Belanda, sementara anak-anak mereka asik bermain bola dekat bengkel Kementrian Kehakiman tanpa ada jarak yang memisahkan antara anak-anak yang sekolah di Petojo berjalan kaki dengan mereka yang sekolah di Perguruan Cikini dengan naik mobil Chevrolet dan Studebaker. Persahabatan yang hangat dan sangat akrab, penuh nuansa kekeluargaan.
Berbicara tentang media saat itu, penerbitan koran masih sedikit. Dari beberapa yang terkenal adalah koran Indonesia Raya, Koran Kengpo, Koran Sinpo, Koran Merdeka dan koran mingguan yang bernama Berita Minggu dan terkenal dengan rubrik gambang Jakarta. Kala itu, karya-karya Firman Muntaco yang dimuat di mingguan Berita Minggu dengan judul Gambang Jakarta sangat digemari para pembaca. Tidak heran kalau mingguan itu dapat mencapai teras ratusan ribu eksemplar berkat daya tarik tulisan Firman. Untuk majalah yang sangat dikenal saat itu adalah majalah Star Weekly, walaupun namanya menggunakan bahasa Inggris akan tetapi isinya adalah bahasa Indonesia. Di rumah ayah saya membaca bulletin Antara yang setiap pagi di drop oleh loper yang menggunakan sepeda motor, dikenal sebagai motoris. Ibu saya membaca majalah berbahasa Belanda Libelle . Majalah libelle ini adalah majalah mingguan khusus untuk kaum wanita yang isinya lebih kurang sama dengan isi majalah Femina sekarang, namun dalam bahasa Belanda.
Dari majalah Libelle inilah, pada satu hari ibu saya menerangkan bagaimana Pilot itu bekerja mengemudikan pesawat terbang serta bagaimana bentuk setir dari kapal terbang. Karena saya seringkali bertanya kepada ibu saya tentang bagaimana Pilot menerbangkan pesawat terbang, sesuatu yang pasti ibu saya tidak dapat menjawabnya, ternyata diam-diam ibu saya berusaha juga mencari tahu tentang hal tersebut. Begitulah pada satu hari sepulang sekolah saya diberitahu ibu tentang bentuk setir pesawat terbang adalah mirip setir mobil, akan tetapi lingkarannya hanya separuh saja. Demikian pula saya diberitahu bahwa bila sang Pilot hendak menerbangkan pesawatnya keatas, maka setir pesawatnya itu ditarik. Sebaliknya bila hendak menurunkan pesawat sang Pilot akan mendorong setir pesawatnya. Wah, saya terkagum-kagum dengan penjelasan ibu saya itu dan muncullah lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya berkaitan dengan cara menyetir pesawat terbang. Ibu saya langsung menutup diskusi dengan mengatakan bahwa ia hanya tahu sebatas bentuk setir dan cara manaik dan turunkan pesawat saja. Waktu saya kejar lagi, ibu saya mengatakan bahwa ia hanya tahu sebatas itu dari secara kebetulan ada satu artikel di Majalah Libelle yang sedikit menyinggung tentang Pilot. Saya masih mengejar lagi, coba baca lagi dong Ma, mungkin ada penjelasan lainnya? Ibu saya mengatakan tidak ada , karena artikel itu sebenarnya tidak menyajikan tulisan tentang cara-cara menerbangkan pesawat, hanya secara kebetulan ada penjelasan yang terkait dengan itu. Sabar ya, nanti kita cari lagi kalau ada pada penerbitan majalah yang akan datang , mungkin ada lagi jelasnya, menutup pembicaraan. Tidak habis kagum saya membayangkan, ternyata menyetir pesawat itu mirip dengan menyetir mobil, satu kesimpulan saya sendiri setelah menerima penjelasan singkat tentang bentuk setir pesawat dari ibu saya. Malam harinya, dan berhari-hari setelah itu kepala saya penuh dengan angan-angan bagaimana rasanya mengemudikan pesawat terbang. Pesawat terbang yang terlihat sangat besar itu yang kerap saya lihat di Kemayoran, yang ternyata dikemudikan oleh orang biasa yang terlihat kepalanya di jendela kokpit yang kecil dibagian depan pesawat. Sungguh menakjubkan, dan saya kagum sekali dengan ibu saya yang berhasil mengetahuinya dari majalah Libelle, bukan main. Keinginan untuk menjadi Pilot semakin hari semakin menjadi-jadi. Impian untuk bisa menggapai cita-cita seolah makin terbakar dari hari ke hari. Semua karena disebabkan informasi yang saya peroleh dari ibu saya. Saya sangat percaya, bahwa pasti penjelasan tentang Pilot itu hanyalah merupakan bagian kecil saja dari topik bahasan di Libelle yang kebetulan terkait dengan profesi seorang Pilot. Sekali lagi, Libelle memang adalah majalah Wanita.
Jakarta 2 Januari 2011
2 Comments
senang membaca artikel ini pak…
jadi teringat dgn cita2 saya sendiri semasa kecil yg ingin jadi pilot, penerbang tempur khususnya…
sayang tidak tercapai…
Terimakasih, tidak jadi penerbang kan bukan The end of the world ! Wish You All the best !