Pesawat MA 60 Merpati Nusantara Airlines (MNA), 10 Juni 2013, yang terbang dari Bajawa dengan mengangkut 50 penumpang “terkapar” di runway Bandara El Tari, Kupang. Dalam kecelakaan ini tidak ada korban jiwa, sementara dua orang cedera serius dan pesawat rusak parah. Pesawat MA 60 adalah sebuah pesawat angkut penumpang dengan dua buah mesin turboprop buatan Xi’an Aircrafft Industrial Corporation, China.
Pesawat ini merupakan versi “lebih panjang” dari pesawat Y7-2001 yang berbasis pesawat Antonov An-24 buatan Rusia. MA 60 terbang pertama kali pada 25 Februari 2000. Sejak 2009 hingga 2013 ini sudah terjadi tujuh kali kecelakaan pesawat MA 60 yang semuanya terjadi saat akan mendarat, masing- masing di Filipina, Bolivia, Myanmar, dan Indonesia. Tidak ada korban jiwa kecuali yang terjadi di Kaimana 7 Mei 2011, seluruh 22 penumpang dan 4 awak pesawat meninggal dunia. Sebagai catatan, pesawat MA 60 adalah sebuah pesawat yang telah menerima sertifikat dari Civil Aviation Administration of China pada 2000 dan hingga kini tidak atau belum memiliki sertifikat dari Federal Aviation Administration (FAA) otoritas penerbangan Amerika Serikat yang paling berpengaruh dan kredibel di dunia.
MA 60 dan Merpati Nusantara Airlines
Bagi MNA, kecelakaan pesawat MA 60 adalah kecelakaan yang kedua kali. Di tahun 2011 tanggal 7 Mei MA 60 MNA masuk laut saat akan mendarat, 500 meter sebelum landasan. Tidak ada satu pun penumpang dan awak pesawat yang selamat. Untuk kasus kecelakaan yang pertama di Kaimana, KNKT sampai pada kesimpulan bahwa hal itu adalah kecelakaan pesawat yang disebabkan kesalahan pilot. Dalam uraiannya disebut oleh KNKT bahwa kecelakaan terjadi karena faktor koordinasi pilot dengan awak pesawat. Di samping itu disebabkan kedua pilot memiliki jam terbang yang sedikit. KNKT kemudian merekomendasikan kepada MNA untuk meningkatkan manajemen pelatihan pilotnya. Khususnya menyangkut masalah manajemen pelatihan pilot. Sebenarnya Indonesia kini berada dalam kondisi bisnis penerbangan yang sedang meningkat fantastis.
Akan tetapi di sisi lain tengah berhadapan dengan masalah kekurangan jumlah pilot. Setiap tahunnya Indonesia membutuhkan 800 pilot, sementara yang dapat dihasilkan sendiri di dalam negeri hanya berkisar pada angka 350 hingga 400 pilot saja. Jadi setiap tahunnya Indonesia kekurangan sekitar 400 pilot. Sebagai gambaran, dengan pasar angkutan udara yang tengah berkembang pesat di Indonesia saat ini, terdapat lebih kurang 5.000 pilot dan 500 di antaranya adalah pilot asing. Tidak hanya itu, Kementerian Perhubungan pun tengah mengalami kekurangan tenaga inspektor yang bertugas mengawasi pelatihan dan standar kualifikasi pilot yang beroperasi di Indonesia. Nah, dengan kondisi yang seperti itu, jelas sekali masalah latihan, jenjang karier, dan bahkan pengadaan pilot terutama dalam aspek standar kualitas telah menyulitkan semua maskapai penerbangan.
Ini semua menggambarkan dengan sangat jelas betapa standar kualitas pilot di Indonesia sedang berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah untuk dapat segera diatasi. Pada kejadian MA 60 MNA di Kupang, beruntung tidak jatuh korban dari penumpang dan awak pesawat. Akan tetapi kejadian kecelakaan tersebut sangat fatal, ditandai dengan pesawat terbang MA 60 yang totalloss alias rusak sempurna. Untuk diketahui, Kupang dikenal dengan anginnya yang bertiup kencang. Bagi para penerbang senior yang akrab terbang ke Kupang, mereka dipastikan tidak akan sembarangan untuk coba-coba memberikan kesempatan kopilotnya untuk landing. Salah satu kemungkinan dari banyak kemungkinan lainnya, faktor kecepatan angin saat mendarat telah menyebabkan pilot MA 60 kesulitan mendaratkan pesawatnya dengan mulus. Berkait dengan kecelakaan yang terjadi di Kupang itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara menjelaskan dalam konferensi persnya antara lain bahwa sang kopilot MA 60 adalah seorang penerbang asal Korea yang baru tiga bulan di Merpati dan dia masih dalam training. Apabila kita kaitkan rekomendasi KNKT pada kejadian kecelakaan MA 60 yang pertama di Kaimana, setidaknya kita sudah dapat menangkap kirakira apa yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat terbang MA 60 yang kedua di El Tari Kupang beberapa hari yang lalu itu.
Pilot yang jam terbangnya sedikit, pelatihan yang kurang, dan faktor koordinasi antara pilot dengan awak pesawat lainnya berhadapan dengan tuntutan pasar dan persaingan dalam bisnis angkutan udara yang tengah meningkat serta faktor pengawasan yang cenderung lemah. Hal itu semua adalah sajian “potensi” untuk terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang terhidang di meja kita hari-hari belakangan ini. Penyebab sebenarnya, tentu saja masih harus menunggu penyelidikan KNKT, apakah terkait dengan desain pesawat yang belum meraih sertifikat FAA atau kondisi di dalam negeri yang tengah kita hadapi saat ini. Sementara itu kecelakaan demi kecelakaan yang terjadi sejak awal 2013 ini sama sekali menjadi tidak menguntungkan bagi upaya keras yang tengah dikerjakan Kementerian Perhubungan untuk dapat keluar dari kategori 2 Federal Aviation Administration (FAA) yang merujuk pada regulasi International Civil Aviation Organization (ICAO) tentang persyaratan keamanan terbang sipil internasional.
Apabila tidak ada kerja keras untuk segera mengatasi masalah yang sangat fundamental dalam dunia penerbangan nasional, akan sulit Indonesia dapat meraih keuntungan dari terbukanya peluang pasar angkutan udara di negeri sendiri. Kecelakaan kecelakaan yang terjadi telah memberikan satu “konfirmasi” bahwa memang Republik Indonesia belum/tidak dapat memenuhi persyaratan keamanan terbang internasional.
CHAPPY HAKIM
Jakarta 12 Juni 2013
Sumber : Koran Sindo.Rabu 12 Juni 2013