Safety, menurut kamus bahasa Inggris – Indonesia terbitan PT Gramedia, susunan John M. Echols dan Hassan Shadily terbitan April 1977, berarti keselamatan.
Sedangkan pada Webster’s New World Thesaurus oleh Charlton Laird yang di up dated oleh Williem D.Lutz terbitan tahun 1971, safety diartikan sebagai freedom from danger.
Dimasyarakat dirgantara, dikenal istilah flying safety, satu terminologi yang mengandung makna keselamatan dan atau keamanan terbang.
Flying safety suatu hal yang menentukan, dan tidak bisa ditawar-tawar, bila kita mengkaitkannya dengan keberhasilan suatu misi penerbangan. Tidak perduli apakah itu misi penerbangan latihan dan atau lebih-lebih suatu penerbangan operasi.
Flying safety harus dimulai dari diri sendiri. Air Crew yang “physically fit“/ sehat secara fisik, jelas akan lebih memiliki kemungkinan berhasil dalam melaksanakan tugas dibanding dengan mereka yang kondisinya kurang fit. Disamping itu, kondisi fisik yang fit akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi situasi dan keadaan darurat yang mungkin terjadi. Pakaian yang dikenakan oleh awak pesawat juga akan sangat menentukan. Lepas dari apakah sopan atau tidak, pakaian yang dipersyaratkan bagi awak pesawat berdasarkan pertimbangan jenis pesawatnya dan berawal dari pemikiran faktor safety.
Pakaian yang tepat adalah asset yang utama bagi awak pesawat bila dihadapkan pada keadaan emergency. Sebab, begitu menghadapi keadaan emergency , seperti pada pendaratan darurat, maka tempat berlindung pertama kali bagi tubuh awak pesawat tersebut adalah pakaiannya sendiri. Yang dimaksud dengan pakaian disini termasuk didalamnya, helmet/ helm, visor/bagian dari helm yang transparan untuk melindungi mata dan masker oksigen serta flying shoes/sepatu penerbang. Baru setelah itu dituntut pengenalan lingkungan yang akan membantu dan meningkatkan safety dalam pelaksanaan tugas seperti pemahaman dan penghayatan tentang semua prosedur keadaan darurat yang tercantum dalam manual, peralatan emergency, survival and rescue procedures, dan lain lain. Seberapa jauh profesionalisme dan kadar penghayatan airmanship para awak pesawat, antara lain dapat diukur dari keperduliannya terhadap hal hal tersebut tadi. Wujud dari keperdulian ini adalah disiplin yang tinggi, yang tumbuh dari hasil latihan yang terus menerus dan bersandar kepada kesadaran dari diri sendiri. Berikut ini ada satu contoh kejadian dalam menghadapi keadaan darurat :
Kapten Gibelo, seorang instruktur penerbang pesawat T-38 bersama muridnya, sedang terbang high speed (kecepatan tinggi), low level navigation training (terbang rendah latihan navigasi) ketika tiba-tiba mengalami bird strike (menabrak burung). Pesawat saat itu tengah berada pada kecepatan 380 knot, lebih kurang 750 KM perjam di ketinggian 700 kaki atau lebih kurang 230 meter diatas permukaan tanah dan sedang dalam keadaan berbelok tajam kearah kanan. Burung , setelah menyentuh nose (bagian hidung pesawat) T-38, langsung menembus sisi kanan dari wind screen cockpit depan.
Pecahan dari wind screen ini tersedot oleh engine air intake/bagian depan mesin yang langsung menyebabkan engine nomor dua stall (berhenti berputar/mati). Sementara bagian lainnya dari pecahan tersebut merusak right wing’s leading edge (sisi depan sayap sebelah kanan). Pecahan lain dari wind screen dan sebagian dari tubuh burung menabrak muka dari siswa penerbang yang duduk di depan, mengakibatkan kerusakan ringan pada masker oksigen dan helmet visor-nya. Sisa dari bagian tubuh burung menembus lewat pundak kanan siswa menuju cockpit belakang, mengakibatkan visor Kapten Gibelo tertutup oleh bagian dari tubuh burung dan sisa-sisa darahnya. Sebelum siswa penerbang menyadari apa yang telah terjadi, Kapten Gibelo mengambil alih kemudi pesawat, leveled the wings dan segera climb to altitude/naik ke ketinggiaan (birds strike procedure/prosedur bila menabrak burung untuk low level flight/terbang rendah).
Komunikasi dengan siswa penerbang sudah tidak dapat dilaksanakan, karena masker siswa rusak dan tiupan angin yang sangat kuat sudah menderu masuk ke cockpit. Setelah mengecek dan yakin bahwa alat kemudi pesawat masih dapat dipergunakan dengan sedikit kelainan yang dirasakan yaitu sedikit bertendensi nose down (menukik) dan getaran kecil pada aileron (lempeng bidang kemudi datar), Gibelo langsung mengarahkan pesawat menuju pangkalan udara terdekat yang berjarak lebih kurang 90 mil dari tempat kejadian. Dengan pandangan terbatas, yaitu hanya dari lubang sebesar 10 inci disebelah kanan wind screen cockpit belakang, kapten Gibelo membawa pesawat secara visual untuk mendaratkan pesawatnya sesuai prosedur keadaan darurat /full stop emergency landing.
Pesawat dapat didaratkan dengan baik, instruktur dan siswa penerbang dalam keadaan selamat (flying safety USAF special publication, volume 47 number 10, oct 1991)
Itu adalah satu contoh dari penghayatan terhadap faktor safety yang dimiliki oleh Captain USAF Gibelo. Ia terbang dalam kondisi fisik yang prima dan menguasai dengan cermat emergency procedure/prosedur keadaan darurat, mengenakan pakaian yang sesuai ketentuan berlaku dan ditopang oleh self discipline yang tinggi, sehingga dalam keadaan yang begitu membahayakan, dia dapat mengatasinya dengan baik, dan selamat lolos dari maut yang mengancam dirinya.