Belum lewat 24 jam, pesawat LionAir kembali tergelincir di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau, kemarin. Pesawat bernomor penerbangan JT 295 tujuan Medan-Pekanbaru tergelincir sekitar pukul 17.50 WIB.
Beberapa jam sebelumnya, yakni sekitar 21.45 WIB, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan 0392 tujuan Jakarta– Pekanbaru juga tergelincir di bandara yang sama. Demikian berita yang dikutip dari harian SINDO terbitan Rabu (16/2), halaman 16. Beruntung tidak ada korban jiwa dari kedua peristiwa itu. Kejadian tersebut jelas sekali mempertontonkan bagaimana lemahnya aspek disiplin dalam dunia penerbangan nasional secara keseluruhan.
Mungkin ini adalah kejadian yang pertama kali di dunia, dalam dua hari berturut-turut,dua buah pesawat yang sama jenisnya, dioperasikan oleh maskapai penerbangan yang sama, mendarat keluar runway yang sama dengan kondisi cuaca yang relatif juga sama. Agak sulit untuk bisa memahami dua kejadian itu bisa berlangsung kecuali bila kita sepakat untuk melihat pengelolaan penerbangan kita tidak lebih dari sekadar “mengejar setoran”.
Kabarnya, dengan dua insiden tersebut, Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemhub) selaku regulator penerbangan nasional telah memerintahkan agar penggunaan pesawat B-737-900 ER sementara dilarang untuk rute ke Pekanbaru,Riau. Namun,apa yang terjadi,ternyata larangan tersebut “dianggap angin lalu” saja.
Kemarin siang (16/2) sebuah pesawat Lion Air B-737-900 ER dengan nomor penerbangan JT-290 take off dari Jakarta pukul 11.50 WIB dan mendarat di Pekanbaru pukul 13.26 WIB,membawa penumpang sebanyak 198 orang. Selanjutnya, menurut rencana yang sesuai dengan jadwal, akan berangkat lagi pesawat yang sama menuju Pekanbaru pada pukul 17.30 WIB. Bukan main dan luar biasa. Inilah gambaran dari dunia penerbangan kita. Bayangkan, belum ada hasil evaluasi dari kecelakaan yang pertama, tetapi bukan hanya penerbangan berikutnya dilaksanakan seolah tidak pernah terjadi sesuatu, melainkan ternyata penerbangan dengan kecelakaan yang sama kemudian dilakukan. Belum lagi ada evaluasi kecelakaan penerbangan yang kedua, bahkan kemudian keluar larangan untuk itu, penerbangan ketiga dilaksanakan pula. Lalu di mana letak peraturan ketat standar keselamatan terbang Republik Indonesia ini berada?
Kejar Setoran?
Mari kita dalami sedikit tentang beberapa data menyangkut keamanan bagi pesawat terbang untuk mendarat di sebuah runway. Pesawat terbang Lion Air dari jenis B-737-900 adalah sebuah produk baru alias mutakhir yang mempunyai kemampuan yang sangat canggih. Risiko dari sebuah produk teknologi canggih adalah dia harus dioperasikan di bawah aturan dan regulasi yang ketat. Ketat dalam hal ini tidak hanya berarti ketat dalam mengoperasikannya, tetapi juga harus ketat dalam pengawasan operasinya.
Salah satu dari sekian banyak persyaratan untuk dapat landing dengan baik dan aman adalah “keterampilan” pilot yang terjaga. Faktor keterampilan ini secara khusus terdapat dalam aturan dan regulasi yang berlaku secara internasional bagi seluruh negara anggota International Civil Aviation Regulation (ICAO). Indonesia adalah negara anggota ICAO. Dalam kejadian yang pertama tanggal 14 Februari lalu, konon pesawat sudah tiga kali melakukan pendekatan untuk mendarat, tetapi gagal karena pilot tidak memperoleh situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk dapat mendarat dengan baik.
Barulah pada percobaan yang keempat, pesawat mendarat tetapi kemudian keluar runway. Hal ini paling tidak sudah menunjukkan adanya gejala bahwa pilot memaksa untuk tetap landing di Pekanbaru walaupun cuaca tidak bersahabat. Mencoba dan kemudian gagal mendarat sampai tiga kali adalah sangat berbahaya karena hal tersebut sangat melelahkan pilot.
Yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa kejadian kecelakaan tersebut sama sekali tidak atau belum dievaluasi atau bila sudah, hanya dilakukan dengan basa-basi. Itu sebabnya, dalam kurun waktu yang masih kurang dari 24 jam, peristiwa serupa terjadi lagi. Selanjutnya, bahkan larangan Kemenhub yang untuk sementara melarang penerbangan ke Pekanbaru dengan pesawat yang sama pun tidak digubris! Sungguh sangat keterlaluan, semua prosedur keselamatan terbang telah dibabat habis tanpa pandang bulu,yang mungkin hanya untuk “kejar setoran”?
Peraturan
Dengan panjang runway Pekanbaru yang hanya 2.150 meter dan lebar 30 meter, diyakini pengoperasian pesawat sejenis B-737- 900 di sana akan mencatat beberapa keterbatasan atau restriksi. Sekadar contoh,menurut operation manual-nya,pesawat Boeing B-737- 900 ER dengan maximum take off weight dan maximum landing weight tidak boleh beroperasi di Pekanbaru. Artinya adalah rasio jumlah berat penumpang dan barang terhadap isi bahan bakar pesawat tidak boleh mencapai angka maksimum.
Dengan performance pesawat yang seperti itu (terbatas), biasanya yang diperbolehkan take off dan landing di Pekanbaru adalah hanya para kapten pilot senior saja, itu pun dengan kalkulasi yang harus senantiasa diperhitungkan dengan matang. Keliru sedikit saja, yang akan terjadi minimum adalah sama dengan yang terjadi pada dua kecelakaan kembar di hari Senin dan Selasa yang lalu dan tidak tertutup kemungkinan terjadi lebih fatal.
Yang harus diperhatikan pula adalah bahwa di Indonesia ada banyak runway dengan kondisi yang sama dan bahkan lebih rendah dari Pekanbaru yang selama ini digunakan juga untuk take off dan landing pesawat Boeing B-737-900 ER dan B-737-800. Beberapa di antaranya adalah Gorontalo, Semarang,Yogyakarta, Jayapura,Palu, dan Mataram. Kejadian serupa dengan yang terjadi di Pekanbaru,bila tidak ada koreksi yang dilakukan, akan sangat mungkin terjadi di kota-kota tersebut.
Yang harus diingat adalah bahwa Federal Aviation Administration (FAA) yang telah lama menjadi acuan industri penerbangan dunia pada tanggal 16 April 2007 telah menurunkan peringkat Republik Indonesia ke kategori dua, yaitu kategori failure. Tidak memenuhi syarat keselamatan terbang internasional, mengacu pada standar regulasi dari ICAO. Kiranya tindakan tegas dan fundamental sifatnya haruslah segera diambil Pemerintah Republik Indonesia berkait dengan kecelakaan beruntun selama dua hari kemarin itu.
Bila tidak dilakukan, akan sama saja artinya kita membenarkan bahwa kategori failure dari FAA memang pantas untuk kita sandang selamanya. Dengan bahasa lain orang akan mengatakan bahwa memang dunia penerbangan kita dikelola dengan manajemen “kejar setoran” yang sulit membedakannya dengan “manajemen angkot”. Masalahnya adalah sederhana, yaitu keselamatan nyawa para pengguna jasa angkutan udara di Indonesia menjadi senantiasa terancam dan ini adalah merupakan bagian dari harga diri dan kehormatan Indonesia sebagai bangsa. Sungguh memprihatinkan!
Chappy Hakim
Catatan, artikel diatas ini sudah dimuat di koran sindo hari Kamis tanggal 17 Februari 2011
13 Comments
Selamat pagi Pak Chappy …. Terima kasih tulisan ini banyak memberi tambahan informasi tentang dunia penerbangan khususnya pesawat Boeing 737 – 900 ER dan runway yg diperlukan. Saya sering bepergian terutama ke Yogyakarta dan Mataram, seperti Pak Chappy informasikan bahwa bandar tersebut mempunyai runway yg relatif pendek sehingga diperlukan pilot2 yang handal bila menggunakan Boeing 737 – 900 ER.
Sebagai penumpang kita sebelumnya tidak tahu pesawat yang akan kita tumpangi, pilot yang mengawaki dan cuaca bandara tempat tujuan, bagaimana menyikapi keadaan ini, dimana kita mendapatkan informasi dan apakah setelah tahu bahwa kondisinya tidak memungkinkan tapi tetap terbang apakah kita sebagai penumpang boleh protes? mengingat banyak peraturan penerbangan yang dilanggar selama ini …. terima kasih dan salam sehat Pak Chappy …
Ini benar-benar kejadian,, sewaktu saya masih aktif terbang menjalani rute Manado-Jakarta. Manado memiliki landasan pacu yang cukup untuk take off dan landing pesawat Boeing 737-400. Mestinya dengan batasan tertentu bila landasan dalam keadaan kering atau basah. Kalau tidak salah, bila permukaan landasan basah/diguyur atau bekas kena air hujan, mengharuskan kita mengurang jumlah berat untuk take off hingga 2 ton atau lebih. Singkat kata, teman seprofesi saya sebagai seorang Captain di perusahaan tertentu datang ke kokpit saya hanya untuk pinjam : Manado WET take off weight performance” yang tidak dimilki perusahaan tersebut. Belum selesai kita diskusi tentang hal tersebut, teman saya sudah dipanggil petugas operasi untuk memerintahkan segera berangkat. Katanya mereka menerima perintah by phone dari Jakarta untuk tidak mengurangi apapun yang sudah ada dipesawat yang siap berangkat. Well, dengan lesu teman saya meninggalkan kokpit sambil berkata : “Do’ain saya ya mas”….???
Makasih Wir Informasinya, menyedihkan sekali ya ?!
Terimakasih Bung Rahardjo ! Saya pikir selama ini Maskapai yang masih bisa dipercaya adalah Garuda, jadi saya memang masih tetap memilih Garuda walau lebih mahal tetapi masih meyakinkan dalam aspek “safety” nya. Maskapai lain terutama Lion Air itu masih sejenis dengan Adam Air, penuh dengan kongkalikong !
Menarik sekali ulasannya pak Chappy…sebagai orang yang awam dengan dunia penerbangan, saya cukup tercengang dengan kejadian di Pekanbaru selama 2 hari berturut turut..Yang ingin saya tanyakan ke pak chappy…setelah melakukan approach sebanyak 3 kali dan gagal karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan…apakah penerbang tersebut tidak memiliki pilihan yang lain? misalnya pengalihan tujuan….atau kembali ke bandara asal?…mohon infonya pak Chappy…..
Dyan, pilihan akan tergantung kepada seberapa banyak Fuel yang masih ada di pesawat. Disinilah letak pentingnya “fllight plan” yang di buat, apakah oleh perusahaan atau oleh Kapten Pilot, yang harus menyesuaikan setiap saat/up dating, terkait cuaca dan aspek teknis lainnya. Demikian terimakasih.
Marsekal, sedikit koreksi: No. 1 gambarnya bukan 737-900ER, itu tidak ada wingletnya. berarti itu bukan foto kejadian di PKU. No. 2 Pekanbaru panjang landasan terakhir adalah 2250 m, bukan 2150 m. Semarang saat ini sudah 2680 m.NO. 3. selama ini investigasi selalu menyorot ke arah operator, bagaimana dengan bandara? Apakah tidak ada kemungkinan runway memiliki masalah seperti drainage yang kurang baik atau rubber deposit sehingga dapat menyebabkan hydroplanning? apakah ada note dari ATC Kepada penerbang? teman yang menerbangkan pesawat ini juga heran karena semua parameter seharusnya masuk mengingat package yang dibeli sudah dengan short field performance
terimakasih koreksinya ! Gambar itu memang tidak diberi penjelasan bahwa pesawat tersebut adalah yang gelosor di Pekanbaru, itu hanya sekedar ilustrasi saja dan tersedia banyak gambar-gambar gelosornya pesawat Lion AIr di Internet sesuai dengan seringnya Lion Air landing keluar landasan. Panjang landasan Pekanbaru yang saya gunakan adalah publikasi dari Jepesen yang masih valid. Tentang panjang landasan Semarang, saya tidak mengatakannya sama panjang tetapi lebih kurang sama dengan Pekanbaru, dalam pengertian dia tidak memenuhi syarat untuk Take Off dan Landing B-737-800 atau 900 ER dengan maximum TOGW dan LDGW apalagi dalam kondisi runway wet yang menyebabkan landing roll menjadi lebih panjang daripada normal. Tentang investigasi, norma nya adalah pasti operator yang di periksa terlebih dahulu, karena pelaku investigasi adalah regulator dalam hal ini penanggung jawab penerbangan nasional , mengacu kepada ketentuan ICAO yaitu Pemerintah. Yang Fair adalah dilakukan audit yang lengkap terhadap kejadian tersebut. Beberapa saksi mata mengatakan pesawat touchdown sesudah touchdown point di runway yang berarti “overshoot”. Bila penerbangnya diperiksa, maka akan diperoleh banyak bahan, apakah dia memang valid dengan routine proficiency check, apakah dia “fit”, tidak “overweight” dan lain-lain remark dari medical check 6 bulanan, apakah total jam terbangnya sudah memenuhi syarat untuk menjadi “in-command” di pesawat B-737-900 ER , apakah dia didampingi oleh Co-pilot yang sudah selesai trainingnya untuk duduk di right seat, apakah landing grossweight pesawat saat itu memenuhi syarat + untuk runway wet? dan masih banyak lagi. Jadi tidak sesederhana itu, apalagi soal hydroplanning dan rubber deposit alasan-alasan yang dimunculkan Lion Air saat overshoot di Solo beberapa tahun yang lalu, yang bahkan dibantah oleh tim dari NTSB yang mengatakan bila terjadi hydroplanning akan sangat jelas dan mudah mendapatkan buktinya, dan di Solo itu sama sekali bukan karena hydriplanning. Logikanya, bila terjadi overshoot seperti kejadian di Pekanbaru, seharusnya dilakukan investigasi yang menyeluruh sampai ditemukan sebabnya, baru kemudian bisa mengoperasikan pesawat sejenis untuk landing lagi di Pekanbaru. Kecelakaan yang sama dengan modus yang sama di tempat yang sama dalam dua hari berturut-turut tidak bisa lain dari cerminan satu kecerobohan yang luar biasa. Satu tindakan yang memperlihatkan profesionalitas yang sangat rendah, gambaran dari satu perusahaan yang tidak tau aturan ! Ini sangat berbahaya bagi keselamatan para pengguna jasa angkutan udara di Indonesia . Sekali lagi, terimakasih atas perhatiannya.
sebelumnya selamat beraktivitas kembali untuk Pak Chappy..
saya teringat berita tentang rusaknya runway bandara selaparang kalo tidak salah tanggal 30 januari 2011 setelah didarati pesawat boing 737-900 lion atau garuda 737-800NG..maksimum take off bisa jadi mempengaruhi daya tahan landasan pacu sebuah bandara.apalagi setahu saya kalau naik lion biasanya pendaratannya terasa seperti kasar(seperti kelebihan muatan) ..memang bandara diindonesia banyak yg memiliki landasan pacu mepet(terbatas)..bandara jogjakarta merupakan salah satu landasan yg menakutkan jika kondisi hujan..(teringat kejadian garuda)..apalagi kalau cuaca tak menentu seperti sekarang akan sangat berbahaya bagi penerbangan..semoga pihak operator sadar dengan nyawa manusia yg mereka terbangkan…
Terimakasih banyak Hendri !
Salam Dahsyat Pak Chappy Hakim, (buku bapak banyak yang sudah saya baca) saya salah satu orang yang sering bepergian dengan Pesawat dan selalu mengamati dunia penerbangan, walaupun bukan Aviator. Saya mau menyatakan pengalaman saya ketika terbang dengan Lion air (bukan maksud merusak nama baik), beberapa kali tapi terbang sendiri dan teman saya juga rasakan ketika hendak landing terasa sangat keras dan langsung rem sekencang2nya apalagi saya di Yogya, dan tekanan udara di Kabin terasa sesak, AC tidak terasa, dan serasa telinga saya mau pecah saking sakitnya tekanan udara di dalam kabin. Dan ketika saya terbang dengan Garuda, atau maskapai Lainnya tidak sama sekali saya rasakan seperti di Lion air example: Hard Landing, Tekanan udara dikabin yang sangat merusak pendengaran saya dan saya dan penumpang lain. Bagaimana solusi yang tepat menurut tanggapan bapak, kalau lapor ke Ke MenHub sepertinya kurang tanggapan, dan saya jadi was-was pak untuk gunakan maskapai Lion air selanjutnya.. Bagaimana tanggapan bapak? Dan sampai sekarang saya lihat type BOEING 737-900 ER (yang katanya super canggih) masih digunakan rute Jakarta-Pekan Baru dan Medan.. Terimakasih pak.. Sukses selalu
Mas Chappy, td d Kendari malah Garuda Indonesia make Boeing 737-800 NG yg notabene Kendari cma pnya landasan +-2200 meter, apa bisa?
Selamat malam chappyhakim ,pada hari senin tggl 11 juli 2016 sya berada dalam pesawat lion air JT290 rute jakarta pekanbaru seperti yang bapak beritakan tersebut memang terasa agak menakutkan saat landing di bandara sultan syarif kasim 2 karena pesawat terasa sedikit tidak stabil seperti mengayun dan mamah saya merasa ketakutan. Apakah mumgkin ini karena runway nya terlalu pendek.sehingga tidak cocok untuk pesawat jenis boeing 737-900 tersebut?