Dua sampai tiga tahun terakhir ini banyak kita jumpai seminar, workshop, panel diskusi dan lain sebagainya yang mengambil topik serupa yaitu tentang “South China Sea” atau Laut China Selatan. Di Indonesia sendiri sudah lebih dari 5 kali pembahasan tentang “South China Sea” yang bahkan mendatangkan pakar strategi dari beberapa Negara maju. South China Sea memang kini tengah berkibar sebagai topik bahasan yang sangat populer. Dimana-mana orang banyak membicarakan tentang South China Sea.
Sebenarnya isu tentang “South China Sea” (SCS) bukanlah barang baru. SCS yang letaknya memang bersinggungan dengan banyak Negara, menjadi sangat logis bila kemudian dapat menjadi sumber konflik yang potensial. Klaim dari banyak Negara terhadap daerah perairan di beberapa kepulauan yang terletak di SCS kiranya tidak akan dapat kunjung usai dalam waktu yang pendek. Banyak sekali alasan dan penyebab yang terkandung dalam klaim kedaulatan Negara-negara di sekitar SCS terhadap kepulauan “Spratly” misalnya. Spartly yang terdiri dari lebih kurang 45 pulau itu di klaim oleh Vietnam, China, Taiwan, Malaysia, Philipina dan bahkan juga oleh Brunei Darusalam. Bayangkan rumitnya potensi sengketa di SCS ini. Belum lagi China, yang menurut salah satu pakar pembicara dalam satu diskusi panel terbuka tentang SCS menyebutkan bahwa Klaim China terhadap beberapa kawasan di SCS adalah sudah berlangsung sejak dinasti Kekaisaran Ming ditahun 1400-an ! Jadi sekali lagi, sebenarnya potensi sengketa SCS memang sudah berjalan ratusan tahun. Puluhan tahun banyak Negara disekitar SCS selalu menggunakan scenario yang sama tentang sengketa SCS dalam melaksanakan latihan-latihan simulasi perang bagi satuan Angkatan Perang Mereka.
Yang menarik adalah, dalam pembahasan dua sampai tiga tahun terakhir ini, maka isu SCS selalu saja kemudian diikuti dengan topik US Pivot to Pacific (berpalingnya Amerika ke kawasan Pasifik). Nah, disinilah kemudian SCS menjadi lebih menarik lagi. Perkembangan paling mutakhir yang terjadi di Amerika, dengan antara lain masalah ekonomi yang tengah menjadi persoalan serius negeri Paman Sam itu, telah memaksa , misalnya, dua kandidat Presiden Amerika mengatakan pendapat yang sama mengenai China, yaitu bisa menjadi lawan dan juga bisa menjadi kawan. Ditengah-tengah majunya China secara ekonomi, maka tentu saja ada kalkulasi yang parallel dengan peningkatan kemampuan pertahanannya. Ini mungkin yang menjadi focus perhatian Amerika untuk kemudian bergerak didalam kerangka US Pivot to Pacific. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa US Pivot to Pacific adalah penjelmaan dari kekhawatiran yang besar dari Amerika terhadap perkembangan kekuatan China. Ada pula yang mengatakan bahwa US Pivot to Pacific ada kaitan yang erat dengan peristiwa traumatic penyerbuan Jepang ke Pearl Harbor di era Perang Dunia yang lalu. Penyerbuan Jepang yang bahkan telah dicatat dalam sejarah Amerika Serikat sebagai “The Origins of American Military Failure”. (Friedman, dalam bukunya yang terkenal berjudul The Future of War).
Langkah berikutnya adalah, terdengar kemudian berita yang sayup-sayup sampai mengenai akan diberdayakan lagi pangkalan Amerika di Philipina, Clark dan Subic misalnya. Terdengar lagi tentang pengembangan dari pangkalan pemeliharaan peralatan perang Amerika yang berada di Singapura. Dan yang paling menghebohkan adalah berita tentang penempatan Marinir Amerika dan pesawat tempurnya di Darwin dibawah satu “penugasan” bernama “misi dalam rangka tanggap darurat bencana alam”. Agak sedikit aneh memang, karena hal ini baru terjadi sekarang, alias tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak cukup dengan hal tersebut, perkembangan lainnya adalah, Indonesia memperoleh kemudahan untuk mendapatkan hibah puluhan pesawat tempur F-16, yang rasa-rasanya baru beberapa waktu yang lalu , kita sulit sekali untuk dapat memperoleh sekedar suku cadangnya saja dari F-16. Ada lagi berita tentang “hibah” pesawat Hercules C-130 H untuk Indonesia dari Australia. Lebih hebat lagi adalah, kemudian terlansir berita penting tentang Kongres AS yang tanpa melalui debat panjang sudah menyetujui dengan suara bulat pembelian AH-64 Apache Helicopter oleh Indonesia. Seperti biasa ada juga bingkisan berupa bumbu berita yang datang dari Wakil Menhan Indonesia yang berkata bahwa Apache bukan ditawari oleh Amerika akan tetapi itu (Helikopter tersebut) kita yang membutuhkan. Disadari atau tidak, maka kesemua hal tersebut kemudian apakah dapat diterjemahkan sebagai upaya yang sering disebut pihak Amerika sebagai “Rebalancing Power” in Asia and Pacific ?
Dari uraian diatas, maka isu atau gossip tentang SCS yang begitu mengemuka akhir-akhir ini tidakkah kemudian menimbulkan pertanyaan yang sangat sederhana. Mengapa SCS yang sejatinya memang sudah menjadi “life-time” issue sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, kini menjadi sangat “populer” sebagai topik bahasan strategis? Apakah, unsur penyebabnya adalah karena Amerika yang kini tengah menghadapi krisis ekonomi ? Atau mungkinkah penyebabnya adalah karena kemajuan yang sangat fantastis dari pertumbuhan ekonomi China ? Yang jelas, pertumbuhan eknomi saat ini memang tengah berpindah secara pelahan namun pasti, dari kawasan Atlantik menuju daerah Samudra Hindia dan Pasifik. Masalahnya adalah, apakah ada manfaat bagi Indonesia dari isu SCS yang tengah merebak saat ini untuk kemajuan pertumbuhan Ekonomi Indonesia, misalnya ? Indonesia, satu Negara besar dengan penduduk sangat banyak yang merupakan bagian yang utuh dan integral dari Negara-negara kawasan Samudra Hindia dan Pasifik. Indonesia yang berada di lokasi amat strategis tepat di beranda SCS ! Indonesia yang berlokasi di terasnya Laut China Selatan. Akhirnya kesemua itu adalah sesuatu tentang strategi, anda boleh tertarik atau tidak tertarik dengan strategi, tetapi hati-hatilah karena ada peringatan seperti yang pernah dikatakan oleh Leon Trotsky :”You may not be interested in strategy, but strategy is interested you !”
Jakarta 5 April 2013
Chappy Hakim