Pada tangal 16 Juni 2016, di Brussels, European Union (EU) dalam hal ini European Commission mengeluarkan pernyataan pers tentang dicabutnya larangan terbang bagi beberapa maskapai penerbangan, antara lain : Batik Air, Citilink dan Lion Air.
Dalam salah satu pragrafnya tertulis sebagai berikut:
Following today’s up date, all airlines certified in Zambia are cleared from the list, along with Air Madagascar and three airlines certified in Indonesia (Citilink, Lion Air and Batik Air). In addition most aircraft of Iran Air are allowed to resume operation to the EU.
Kesimpulan sederhana dan mudah yang dapat diambil dari paragraf tersebut adalah bahwa ternyata Indonesia dinilai oleh EU kedudukannya masih berada di bawah Zambia.
Kesimpulan berikutnya adalah bahwa ternyata untuk dapat terbang (to resume operation) ke Uni Eropa, maskapai penerbangan Indonesia, tidak cukup atau tidak bisa hanya diaudit oleh otoritas penerbangan Indonesia sendiri. Akan tetapi harus dilakukan juga dan terutama oleh European Commission.
Dengan perkataan lain, maka sebenarnya Otoritas Penerbangan Indonesia tidak dipercaya atau tidak memperoleh kepercayaan dari EU dalam hal ini oleh European Commission untuk dapat mengizinkan pesawatnya sendiri terbang ke wilayah Uni Eropa.
Dalam salah satu pola membangun mutual respect pada hubungan internasional dikenal azas reciprocal atau azas timbal-balik. Dalam konteks hubungan Uni Eropa (EU) dengan Republik Indonesia (RI) tentu dan seharusnya tidak ada pengecualian.
Mengacu kepada hal tersebut, maka terlihat ada sebuah ketimpangan dalam hubungan EU dengan RI dalam hal ini.
Maskapai-maskapai penerbangan RI harus diaudit terlebih dahulu oleh EU sebelum diperkenankan untuk dapat terbang ke wilayah Eropa.
Namun hingga detik ini, tidak pernah terdengar berita-berita yang menyampaikan tentang telah, sedang, atau akan diauditnya maskapai-maskapai penerbangan EU oleh Otoritas Penerbangan RI bila hendak terbang masuk ke wilayah Indonesia.
Sebenarnya larangan terbang ke EU bermula dari sebuah peristiwa di bulan Februari tahun 2007 yaitu saat dilakukan USOAP (Universal Safety Oversight Audit Programme) oleh ICAO (International Civil Aviation Organozation) terhadap Otoritas Penerbangan RI.
Pada audit itu telah diperoleh lebih dari 120 findings yang dinilai tidak “comply” dengan International Civil Aviation Safety Standard dari ICAO.
Dampak dari inilah kemudian disusul oleh larangan terbang ke Eropa (EU ban) dan diikuti dengan penurunan peringkat Indonesia oleh FAA (Federal Aviation Admnistration) dari kelompok negara Kategori 1 (memenuhi syarat regulasi keselamatan penerbangan sipil internasional) ke Kategori 2 (kelompok Negara yang tidak memenuhi syarat peraturan keselamatan penerbangan sipil internasional).
Tahun 2010, maskapai Garuda dan beberapa maskapai lainnya dinyatakan lulus setelah diaudit oleh Otoritas Penerbangan Sipil EU dan diizinkan untuk terbang ke wilayah Eropa. Baru kemudian sejak tanggal 16 Juni lalu, menyusul Citilink, Lion Air dan Batik Air.
Khusus bila mencermati tentang larangan terbang ke Eropa (EU ban) sebenarnya ada yang agak janggal di situ.
Otoritas Penerbangan Indonesia dinilai oleh EU tidak dapat memenuhi persyaratan regulasi penerbangan sipil internasional mengacu kepada hasil USOAP ICAO.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa Indonesia dinilai oleh EU sebagai un-safe, tidak aman dalam penyelenggaraan atau pengoperasian penerbangan sipilnya. Itu sebabnya, maka pada awalnya, seluruh maskapai penerbangan Indonesia telah dilarang terbang ke wilayah Eropa.
Ditambahkan pula dengan anjuran agar seluruh warga Eropa dalam bepergian harus menghindar untuk menggunakan maskapai penerbangan yang tidak aman tersebut.
Anehnya adalah, seluruh maskapai penerbangan Eropa tidak dilarang untuk terbang datang dan atau melewati wilayah udara Indonesia yang dinilai tidak aman alias berbahaya itu.
Kesimpulan orang awam adalah, maskapai penerbangan Eropa memang pasti tidak akan meninggalkan Indonesia, karena peluang pasar yang sangat merangsang dalam industri angkutan udara di dan dari Indonesia.
Lebih jauh lagi yang menambah keanehan adalah yang di-ban itu otoritas penerbangan Indonesia, kemudian yang dicabut larangan terbangnya ke Eropa adalah maskapai penerbangannya.
Believe it or not, itulah yang terjadi sebagai sebuah kenyataan yang dapat disaksikan bersama sampai dengan saat ini. Untuk sedikit membantu dalam mencerahkan sedikit tentang keanehan itu, mungkin bagus juga untuk diamati beberapa catatan dibawah ini:
- Tahun 2011, Lion Air membeli 230 pesawat Boeing 737 senilai Rp 195,2 triliun yang merupakan kontrak terbesar sepanjang sejarah pabrik Boeing, yang ternyata sekaligus, menurut Presiden Obama telah menciptakan 100.000 lebih lapangan kerja di Amerika Serikat di saat Amerika tengah menghadapi kelesuan pertumbuhan ekonominya (BBC, 18 Nopember 2011).
- Tahun 2013, Lion Air memesan 234 pesawat jet penumpang Airbus. Kantor kepresidenan Perancis mengatakan nilai pemesanan dengan nilai 23,8 miliar dollar AS itu adalah yang terbesar dalam sejarah AIrbus. (BBC, 18 Maret 2013). Padahal saat itu Lion Air adalah maskapai penerbangan Indonesia yang tengah “dilarang” untuk terbang ke Eropa. Artinya, EU menjual ratusan pesawat terbang kepada maskapai penerbangan Indonesia yang dinilainya tidak “safe” itu.
- Tahun 2014, perusahaan Lion Group tercatat sebagai pemesan terbanyak pesawat ATR (Avions de Transport Regional) yaitu sebanyak 100 pesawat (Merdeka.com, Nopember 2014). Tahun yang sama saat Lion Air juga tengah dilarang untuk terbang ke Eropa.
Garuda Indonesia, baru-baru ini juga telah memesan 60 pesawat Boeing dan 30 pesawat Airbus yang mencapai angka 20 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 266,3 triliun.
Tahun 2013, Garuda Indonesia juga telah menandatangani perjanjian kerja sama tripatrit untuk pemesanan 25 pesawat ATR72-600 senilai 625 juta dollar AS setara Rp 7,2 triliun. Kerja sama tersebut adalah antara Garuda dengan pabrik pesawat Avions de Transport Regional (ATR) dan Nordic Aviation Capital (NAC), perusahaan yang berkedudukan di Perancis dan Italia. - Sementara itu, telah terjadi kecelakaan pesawat terbang Airbus Air Asia 8501 tanggal 20 Januari 2015 di laut Jawa yang menewaskan 162 orang, co-pilot-nya adalah seorang berkebangsaan Perancis, Remi Emmanuel Plesel. Untuk diketahui sepuluh tahun belakangan ini cukup banyak pilot dari luar negeri termasuk dari Eropa yang bekerja di Indonesia.
- Tanggal 4 April 2016 terjadi tabrakan pesawat terbang Boeing dari Batik Air dengan pesawat ATR Trans Nusa di Halim Perdanakusuma.
- Airbus, Boeing dan ATR adalah pesawat terbang yang telah, sedang, dan akan dibeli oleh banyak maskapai penerbangan di Indonesia dengan jumlah mencapai angka ratusan. Ketiganya sudah mengalami kecelakaan, Airbus masuk laut Jawa, Boeing dan ATR tabrakan di Halim.
- Dua bulan setelah tabrakan Boeing Batik Air versus ATR Trans Nusa di Halim, tanggal 16 Juni 2016 EU, mengumumkan tentang dicabutnya larangan terbang bagi maskapai Citilink, Batik Air dan Lion Air.
Catatan-catatan tersebut di atas adalah memang sebuah gambaran dan refleksi dari alur perjalanan dinamika dunia penerbangan sipil komersial di Indonesia yang tengah bergejolak sebagai sebuah pasar yang sangat menggiurkan para “business man” dari segenap penjuru dunia.
Setelah EU (produsen Airbus dan ATR) mencabut larangan terbangnya, kini tentu saja ditunggu Otoritas Penerbangan Sipil Amerika Serikat (produsen Boeing) yang juga tengah bersiap untuk menaikkan kembali Indonesia dari Kategori 2 ke Kategori 1.
Pelanggan istimewa memang layak memperoleh pelayanan yang istimewa pula, karena satisfied customer is the business strategy of all. Bisnis dalam dunia penerbangan yang menggulirkan uang jutaan dollar AS memang kerap menjadi agak sulit juga untuk dapat dipahami dalam kerangka akal sehat dan logic thinking.
Logis atau tidak sepertinya memang sudah tidak menjadi sesuatu yang penting lagi. Semua yang berhubungan tentang uang, Mark Twain mengatakannya, bahwa the lack of money is the root of all evil.
Itu pula sebabnya, menjadi sulit untuk dapat memahami semua tentang segala sesuatu mengenai EU ban yang kemudian dicabut dan juga tentang kategorisasi FAA yang konon juga akan segera selesai dalam waktu dekat mendatang.
Muncullah pendapat atau opini yang membingungkan, kenapa di-ban dan kenapa di downgrade ke Kategori 2, serta mengapa pula kemudian ban dicabut serta mengapa kembali ke Kategori 1 lagi?
Ini memang sebuah opini dan tidak dapat diragukan bahwa sebuah opini atau pendapat jelas-jelas akan selalu berbeda satu dengan lainnya, seperti pernah dikatakan oleh Douglas Adam: All opinion are not equal. Some are very great deal more robust, sophisticated and well supported in logic and argument than others.
Hal yang paling penting dari kesemua itu sebenarnya adalah harus disadari dengan penuh kejujuran bahwa yang tengah diperdebatkan dan yang tengah terjadi belakangan ini hanyalah sebuah puncak dari gunung es, tip of the iceberg, dari demikian banyak persoalan dunia penerbangan Indonesia.
Kita semua belum memasuki pokok dan akar permasalahan dunia penerbangan Indonesia yang masih banyak menyimpan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama-sama.
Yang tidak bisa segera selesai hanya dengan sudah lepasnya EU ban dan kategorisasi FAA. Kita patut bersukur dengan kerja kerasnya otoritas penerbangan nasional akhir-akhir ini serta apapun yang menjadi penyebabnya, bahwa telah membuat EU dan FAA sudah mulai tidak memandang sebelah mata lagi kepada Indonesia (khusus pasar angkutan udaranya).
Indonesia sudah mulai diperhitungkan, paling tidak sebagai market yang menjanjikan dapat menghasilkan keuntungan hingga jutaan dollar AS. Mengenai keuntungannya sendiri akan mengalir ke mana, kiranya belum jadi perhitungan yang utama.
Sebagai pihak pembeli pesawat terbang dengan jumlah yang ratusan jumlahnya dan bahkan memecahkan rekor pembelian sepanjang sejarah, pasti akan terlihat janggal bila dilarang-larang terbang ke Eropa dan Amerika Serikat sebagai negara penjualnya.
Orison Swett Marden mengatakannya sebagai “The golden rule for every business man is this: Put yourself in your customer’s place. Siapa yang bisa meragukan bahwa “Money is always in power”, karena sejauh ini belum atau tidak ada kekuatan lain yang mampu membendungnya.
Jakarta, 19 Juni 2016
Chappy Hakim,
Ketua Timnas Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi tahun 2007.
Editor : Amir Sodikin