Marsekal Sir Richard Knighton, yang akan diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (CAS) Inggris beberapa bulan mendatang, menjadi Perwira Teknik atau Engineer pertama di RAF, Royal Air Force yang memegang jabatan KSAU Kerajaan Inggris. Kemajuan teknologi, terutama dibidang Air and Space, ternyata telah merubah mindset Angkatan Udara Kerajaan Inggris untuk tidak berpegang selalu bahwa KSAU “harus” dipegang oleh seorang Pilot. Angkatan Udara Kerajaan Jepang di tahun 2002 bahkan telah menunjuk seorang perwira dari korps ATC Air Traffic Control sebagai KSAU. Pergeseran nilai dalam perspektif pelaksanaan tugas memimpin sebuah Angkatan Udara secara bertahap telah terjadi. Salah satu sebabnya adalah mengacu kepada alur dari laju kecepatan teknologi kedirgantaraan.
Marsekal Knighton dikenal sebagai Perwira yang kerap membahas dan mandalami topik-topik antara lain tentang proyeksi kekuatan udara secara global, peran kekuatan udara yang spesifik dan pentingnya memiliki Angkatan Udara Kerajaan yang modern. Pada sisi lainnya dipandang perlu untuk tetap menggalang hubungan kuat dengan sekutu kekuatan barat serta pentingnya kaderisasi personel generasi penerus dan terutama fokus pada perkembangan teknologi yang akan menentukan serta dapat meningkatkan kemampuan operasi kekuatan udara.
Marsekal Sir Richard Knighton bergabung dengan Royal Air Force (RAF) pada tahun 1988 sebagai kadet dan belajar di Clare College Cambridge. Dia kemudian terlibat dalam banyak pekerjaan pada upaya kesiapan beberapa pesawat tempur RAF, termasuk pesawat tempur Panavia Tornado, British Aerospace Harrier, dan pesawat patroli maritim legendaris Hawker Siddeley Nimrod. Pengalaman dan pengetahuan Sang Marsekal mencakup banyak bidang di RAF, termasuk logistik, keuangan dan perencanaan. Dia telah menjalani berbagai tugas pada posisi perwira tingkat senior dalam perjalanan karirnya.
Pada tahun 2014, Sir Rich, demikian panggilan akrabnya, sempat mengelola dan memimpin program Future Combat Air System (FCAS), sebuah proyek bersama antara BAE Systems Inggris dan Dassault Aviation Prancis dalam usaha intensif mengembangkan sebuah drone tempur dengan teknologi tinggi. Program ini mengandalkan dua model yang sebelumnya dikembangkan oleh masing-masing pabrikan, Dassault nEUROn dan BAE Systems Taranis.
Ia diangkat sebagai Asisten Kepala Staf Angkatan Udara pada tahun 2015, dan pada tahun 2017 menjadi Asisten Kepala Staf Pertahanan yang membidangi perencanaan kekuatan operasi. Pada 2019 ia dipromosikan menjadi Marsekal Udara dan diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Pertahanan pada jajaran pemerintahan Kerajaan Inggris. Pada tahun 2022, ia menjadi Wakil Komandan bidang SDM dan pada hari Jumat 31 Maret 2023 ia diumumkan sebagai calon pengganti Kepala Staf Angkatan Udara berikutnya. Tugas dan peran yang akan ia mulai secara resmi pada bulan Juni 2023 yang akan datang.
Sejak dahulu, sebagai anak muda, Rich Knighton ingat bahwa yang benar-benar menarik imajinasinya adalah tentang air and space. Pengembangan Program Pesawat Luar Angkasa, yang semakin meningkat ketika ia beranjak remaja, semakin memperkuat ketertarikan dan minatnya pada bidang fisika dan teknik kedirgantaraan. “Pada suatu saat di awal masa remaja, saya telah menyadari bahwa saya akan bergabung dengan Angkatan Udara sebagai Perwira Teknik atau insinyur, sebagian karena penglihatan saya mulai memburuk ketika berusia 12 tahun, jadi saya tahu benar bahwasanya saya tidak akan pernah menjadi pilot. “Walau demikian, saya memiliki lisensi pilot privat, yang saya peroleh melalui beasiswa ketika masih kuliah, dan saya masih terbang secara teratur.”
Dia menambahkan: “Kadang-kadang, ketika saya terbang di lapangan terbang atau ketika saya harus berjalan keluar ke apron , saya dapat mencium bau bahan bakar pesawat terbang, dan itulah yang membawa saya kembali ke tur pertama di Pangkalan Udara RAF Kinloss, melihat sebuah jet lepas landas untuk memburu kapal selam Rusia pada dini hari.”
Saat Sir Rich bersiap untuk mengambil peran barunya akhir tahun ini, sebagai Perwira Teknik atau insinyur pertama yang pernah bertugas di peran teratas di Royal Air Force, dia terdorong untuk merenungkan kembali tantangan kompleks yang dihadapi RAF saat ini, terutama bagaimana mendapatkan sebagian besar dari investasi yang sangat dibutuhkan untuk membangun kekuatan udara. “Angkatan Udara yang kita miliki saat ini adalah yang paling modern dalam hal perlengkapan dan kemampuan pada sepanjang perjalanan karir saya. Kami saat ini telah dan tengagh mengoperasikan F-35, Typhoon, Voyager, A400, dan pesawat lain yang memiliki kemampuan dan teknologi terdepan,” katanya. “Namun, hal itu akan segera berakhir, dan Angkatan Udara yang kita miliki saat ini sebenarnya adalah Angkatan Udara yang akan kita operasikan untuk selama 5-10 tahun mendatang.
“Di cakrawala dalam nuansa Sistem Tempur Udara Masa Depan atau Program Udara Tempur Global dengan Italia dan Jepang, akan merupakan prospek yang menarik untuk masa depan kedirgantaraan khususnya bagi sebuah Angkatan Udara. Tantangan kita sekarang adalah untuk terus berevolusi dan mengembangkan kemampuan tersebut karena teknologi telah berkembang pesat selama 20 tahun terakhir. Kita harus menemukan cara untuk mengantisipasi dunia Cyber, seperti kecerdasan buatan, alat digital, otomatisasi dan miniaturisasi serta upaya mengintegrasikannya dengan cepat ke dalam satu sistem dalam bentuk kemampuan, untuk mengimbangi musuh.”
Tantangan khusus lainnya yang menghadang adalah kemampuan RAF untuk terus merekrut dan mempertahankan orang-orang yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan bagi kemampuan masa datang. “Terlepas dari hambatan rekrutmen, kami masih dapat merekrut orang-orang berkualitas tinggi ke dalam Angkatan Udara, dan kami akan mempertahankan mereka melalui infrastruktur yang baik serta syarat dan ketentuan pelayanan prima, kualitas sdm dan pelatihan berkelas dunia.” “Kami masih akan membutuhkan orang agar mampu memperbaiki pesawat, untuk mempersiapkan logistik dan pasokan serta melakukan semua hal yang diperlukan untuk menerbangkan pesawat dan mengelola kekuatan udara” lanjutnya. “Tapi semakin lama, kita perlu beroperasi dengan cara yang lebih gesit. Kami menjadi sangat terfokus pada sejumlah kecil pangkalan. Yang kami tahu adalah, di masa depan, kami harus bisa bergerak, dan itu penting untuk bertahan hidup. Jadi, kami membutuhkan orang-orang dengan keterampilan tinggi. Kami harus mempelajari kembali beberapa hal yang kami ketahui tentang Angkatan Udara sejak awal tahun 80-an dan 90-an.” Pada tahun 2021, KSAU saat ini, Marsekal Udara Sir Mike Wigston, mengumumkan bahwa dia ingin menghidupkan kembali strategi Perang Dingin dengan Rencana Kampanye AGILE STANCE, serangkaian latihan untuk mempersiapkan RAF melakukan operasi yang tersebar dan merata.
Operasi yang tersebar akan memungkinkan angkatan udara di masa perang mempersulit musuh antara lain dengan memperbanyak lokasi operasi, menggunakan lapangan udara sipil atau lajur jalan raya yang sudah diimprovisasi. Dengan kembalinya perang berintensitas tinggi, konsep tersebut menemukan format baru pada doktrin sebuah kekuatan angkatan bersenjata khususnya blok barat.
Demikian pandangan dan visi Sang KSAU RAF yang baru seperti dituangkan antara lain dalam perbincangannya dengan wartawan Aero Time News baru baru ini.
Jakarta 5 April 2023
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia