Beberapa hari terakhir ini saya banyak berbicara panjang lebar dengan banyak penerbang yang berdinas di maskapai penerbangan papan atas di negeri tercinta ini. Saya sangat prihatin menerima banyak sekali informasi dari mereka tentang betapa buruknya kondisi dunia penerbangan kita dewasa ini.
Sementara itu yang paling banyak diutarakan oleh mereka adalah tentang kondisi pelayanan dari Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Control. Beberapa mengatakan kepada saya, wah pak, sekarang ini kita para penerbang sudah mulai ketularan sopir angkot. Saya tanya mengapa demikian ? Ternyata pengaturan lalu lintas penerbangan sudah menjurus kepada pengaturan yang tidak sehat. Para pengatur lalu lintas penerbangan kita sudah sedikit banyak terpengaruh oleh para operator, sedemikian sehingga prioritas dalam pemberian ijin, mulai dari take off, taxi ,climbing dan descend serta urut-urutan mendarat sudah banyak mengabaikan azas “first come, first serve” yang seharusnya menjadi patokan dalam memberikan pelayanan yang berorientasi kepada keselamatan terbang. Mereka bercerita beberapa kejadian “near missed“, atau nyaris tabrakan di udara, yang apabila tidak segera diambil tindakan yang tegas , bukan mustahil akan segera terjadi.
Mereka sendiri menyatakan keanehan dalam pelayanan yang sudah tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan standar keselamatan penerbangan yang berlaku. Hal ini dapat dimaklumi akan selalu terjadi, sebagai akibat dari antara lain, pengorganisasian yang tidak menyatu dalam penyelenggaraan pengaturan lalu lintas udara dan juga fasilitas yang dimilikinya yang sudah uzur. Saat ini terdapat lebih dari dua institusi di Indonesia yang mempunyai wewenang dalam menyelenggarakan pengaturan lalu intas udara di Indonesia , yang seharusnya hanya satu saja.
Di salah satu bandara besar di Indonesia bagian timur, ada tanda (marker) untuk taxi way yang sudah tidak sesuai lagi dengan yang tercantum di “publication” airport nya . Ibarat nya tanda nama jalan dengan nama baru yang ternyata masih terpampang dengan nama jalan yang lama. Hal kecil, akan tetapi sangat berpotensi menyebabkan kecelakaan. Belum lagi beberapa aerodrome, yang peralatan alat bantu navigasinya (antara lain ILS, Instrument Landing System) yang sudah tidak sesuai standar penunjukkan, karena antara lain tidak dilaksanakan kalibrasi sesuai jadwal yang seharusnya dilakukan.
Banyak lagi, masalah-masalah kecil yang tidak memperoleh perhatian yang seharusnya oleh pengelola bandara atau aerodrome. Beberapa minggu yang lalu, seorang penerbang terbang di daerah papua, mereka sudah siap untuk landing, dan pada ketinggian yang sudah sangat rendah, ternyata kemudian ada orang yang menyeberang di runway/landasan dengan tenangnya. Dengan demikian terpaksa penerbang dengan susah payah menaikkan lagi pesawat nya untuk menunda melaksanakan pendaratan.
Ada lagi tentang fasilitas pemadam kebakaran dibanyak bandara yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat keamanan dari pesawat terbang yang dioperasikan disitu. Dapat dipastikan, apabila terjadi kecelakaan pesawat terbang di bandara tersebut yang membutuhkan pemadam kebakaran, maka akan sangat fatal yang terjadi, sebagai akibat dari tidak sesuai nya kelas dari unit pemadam kebakaran yang tersedia. Sementara itu penerbangan berjalan terus. Menurut aturan yang berlaku, maka klasifikasi dari unit pemadam kebakaran yang tersedia di suatu bandara harus sesuai dengan besar kecilnya pesawat yang menggunakan fasilitas bandara tersebut. Dan hal seperti ini, sudah menjadi rahasia umum di kalangan penerbang. Mereka mengeluhkan masalah ini dan tidak ada yang menggubris nya. Nanti apabila terjadi kecelakaan maka dengan mudahnya kemudian orang-orang seperti paduan suara mengatakan “human error” dan yang salah adalah penerbang.
Bagaimana ketidak perdulian dari otoritas bandara terhadap fasilitas penerbangan di Indonesia sebenarnya dapat dilihat dengan mudah seperti apa yang dapat disaksikan di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Bandara Soekarno Hatta dilengkapi dengan alat pembantu penerbang dalam melakukan taxi untuk parkir di dekat terminal untuk kemudian berhenti dekat “avio bridge” atau garbarata untuk menurunkan penumpang. Alat ini berupa papan elektronik yang canggih dengan lampu merah dan hijau serta penunjuk arah dalam membantu penerbang meluruskan pesawatnya saat akan parkir. Akan tetapi, apa yang terjadi ? selama bandara Soekarno Hatta dioperasikan sampai dengan saat ini, maka semua pesawat yang parkir hanya dibantu oleh “parking master”, pemandu parkir yang menggunakan alat sejenis raket pingpong ! Alat yang canggih itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum bandara internasional di Singapura menggunakannya. Jadi alat tersebut, dari sejak baru nya sampai sekaranng, terpampang disitu dengan tidak lebih dan tidak kurang sebagai dekorasi belaka. Untuk diketahui alat tersebut sangat mahal harganya. Disamping itu ada lagi alat penunjuk koordinat posisi pesawat di parkir area yang penunjukkan angka nya tidak standar. Tidak sesuai dengan fitur yang ada di display instrument pesawat terbang. Hal kecil, akan tetapi ini sangat berpotensi menyebabkan kecelakaan yang fatal. Kedua hal ini ada di Bandara terbesar yang dimiliki oleh Indonesia, bagaimana dengan bandara-bandara lainnya di daerah? Sulit untuk dapat menjawabnya dengan hanya uraian terbatas ini.
Keprihatinan ini sebenarnya muncul dari antara lain pengertian dan persepsi tentang aerodrome atau airport + fasilitas penerbangan, yang jangan-jangan hanya diartikan dengan pengertian sebatas airport atau terminal saja. Namun bila dilihat lebih jauh lagi , tentang mengapa hal ini bisa terjadi, maka dapat dimaklumi, karena para pengelola yang bertanggung jawab terhadap fasilitas-fasilitas penerbangan ini konon dipimpin oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang pengetahuan dan karier dibidang penerbangan.
Mari kita berdoa saja, semoga tidak terjadi keclakaan pesawat terbang diwaktu dekat yang akan datang ini.