Dalam waktu yang sangat dekat, tidak sampai satu minggu, tepatnya hanya berselang 4 hari saja telah terjadi dua kecelakaan pesawat terbang dengan korban nyawa yang tidak sedikit. Sebuah peristiwa yang patut “sangat disesalkan”. Pada umumnya, bila terjadi sebuah kecelakaan, maka salah satu tindakan yang dilakukan adalah melakukan “introspeksi” mendalam dan serius tentang mengapa kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.
Dengan demikian, bila hal itu memang dilakukan dengan cermat, maka “biasanya” tingkat kewaspadaan akan meningkat drastis dan kecelakaan dalam waktu yang cukup lama dapat dihindarkan. Analogi dari hal ini adalah mengenai pencegahan penyakit, yaitu dengan cara memberikan bibit penyakit yang lemah sehingga membuat tubuh terbangun kekuatannya dan kemudian dapat melawan penyakit yang sesungguhnya. Beberapa serum dan vaksin pencegah penyakit tertentu adalah contoh dari metoda seperti itu. Hal tersebut adalah merupakan logika normal dari siklus pencegahan “penyakit” yang dapat saja dilihat sebagai sesuatu yang “sama atau sebangun” dengan peristiwa “kecelakaan” misalnya.
Dengan demikian, bila pada kenyataannya kecelakaan terjadi beruntun dan dalam waktu yang sangat dekat (beberapa hari saja) maka dapat saja disimpulkan kemudian bahwa telah terjadi sesuatu yang “sangat-amat serius” dalam dunia penerbangan kita.
Apa sebenarnya yang terjadi dan kondisi apa sebenarnya yang tengah kita hadapi saat ini?
Dunia penerbangan internasional, sudah sejak tahun 2007 melihat ada sesuatu yang patut menjadi perhatian bagi dunia penerbangan Indonesia. FAA, Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan Amerika yang memiliki kredibilitas tertinggi di tingkat global telah menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang “un-safe”, yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan terbang Internasional seperti yang diberlakukan oleh ICAO, International Civil Aviation Organization.
Sejak 2007 juga Otoritas Penerbangan Uni Eropa telah melarang seluruh Maskapai Penerbangan Indonesia untuk masuk ke wilayah udara Uni Eropa yang belakangan kemudian memberikan ijin juga kepada beberapa Maskapai yang dipandang sudah dapat memenuhi standar keselamatan terbang Internasional. Demikian pula beebread otoritas penerbangan negara-negara lainnya seperti Australia, Arab Saudi , Jepang, Korea dan lainnya mempertanyakan apa gerangan yang tengah dihadapi Indonesia dalam dunia penerbangannya. Kesemua itu berawal di tahun 2007, yaitu saat Indonesia beberapa tahun sebelumnya mengalami begitu banyak kecelakaan pesawat terbang yang terlihat sebagai “berulang” tanpa tindakan “korektif”.
ICAO kemudian mendapatkan lebih dari 120 temuan yang memperlihatkan bahwa Indonesia tidak memenuhi persyaratan dari standar keselamatan terbang. Inilah sebenarnya yang dipandang sebagai atau menjadi penyebab utama. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa hal tersebut sampai terjadi? Ada beberapa catatan yang telah digaris bawahi, setelah dilakukan kajian yang cukup mendalam oleh Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi bentukan Presiden RI yang merespon dengan cepat situasi “memalukan” yang terjadi di tahun 2007 yang lalu.
Beberapa diantaranya adalah : Ternyata banyak jabatan pada institusi penyelenggara penerbangan yang diduduki oleh yang orang yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam arti tidak atau kurang mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai penerbangan. (Hal ini terbukti di belakang hari antara lain tentang airport yang berkembang melebihi sampai 3 kali kapasitasnya dan mengakibatkan keterlambatan jadwal penerbangan sampai 12 jam )
Hal lain, Otoritas penerbangan RI dinilai terlalu “mudah” memberikan ijin dan disisi lain kurang tegas dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggar aturan standar keselamatan terbang. (Maskapai menjadi banyak sekali, demikian pula jumlah pesawat terbang yang dibeli/disewa berdatangan terus tanpa kesan ada pembatasan yang diperlukan bagi kemampuan untuk fasilitas yang tersedia dan atau juga kegiatan pengawasan) Hasil akhirnya adalah, Indonesia mengalami kekurangan banyak sekali sdm penerbangan dan ketertinggalan fasilitas infra strukturnya.
Ini semua menjadi cukup untuk menjelaskan tentang begitu terbukanya “peluang” untuk terjadinya kecelakaan, karena disisi lain, tuntutan pasar angkutan udara yang terus meningkat telah menggoda banyak orang dalam usaha meraih keuntungan. Maka terciptalah peluang bisnis yang berhadapan dengan kekurangan sdm dan infra struktur.
Disamping itu ada pula catatan ICAO yang menunjuk betapa Inspektor Penerbangan Indonesia sangat kurang , baik dari segi Kuantitas dan juga Kualitas serta “bayaran” alias gaji yang diterima para Inspektor itu dinnilai “sangat-jauh” dari yang seharusnya menjadi “hak” para Inspektor penerbangan berstandar internasional.
Disini, menjadi sangat terang benderang, apa yang akan terjadi bila kondisi tersebut “dibiarkan” berjalan seperti “biasa”. Itulah semua produk dunia penerbangan kita 10 -15 tahun belakangan ini.
Jajaran Menhub dan Tim nya yang kini tengah belerja keras, berusaha untuk dapat mengatasi kondisi yang sangat serius ini memang berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah. Tanpa bantuan dari seluruh pemangku kepentingan dibidang penerbangan nasional, serta koordinasi lintas “kementrian”, maka sulit sekali Menteri Perhubungan saat ini untuk dapat berhasil mengukir ulang kisah suksesnya.
Saya hanya ingin menghimbau kepada siapa saja yang masih perduli dengan dunia penerbangan Indonesia untuk bersama-sama turut mengatasi kesulitan yang tengah kita hadapi ini, karena pilihannya adalah mampu untuk keluar dari kemelut atau akan berhadapan terus dengan kecelakaan demi kecelakaan yang akan merengut nyawa dari mereka yang tidak tahu apa-apa dengan sia-sia. Ayo bekerja !
2 Comments
“dinnilai” pada baris 12 dari bawah mungkin maksudnya “dinilai”, “kementrian” pada baris 6 dari bawah mungkin seharusnya “kementerian”
OK !