Pagi tadi saya shalat Ied di Eks Markas Besar Angkatan Udara di Pancoran.
Seperti biasa, saya sudah bersiap-siap untuk bersabar setelah sholat untuk tetap mendengarkan khotbah sampai selesai. Bersabar dalam arti saya sudah hafal dengan khotbah-khotbah yang biasa disampaikan pada kesempatan sholat Jumat, sholat Ied dan sebagainya. Hafal dalam arti, pasti bahasanya lebih banyak bahasa arab dengan ayat-ayat al quran dan diikuti uraian yang di-awang-awang sulit dimengerti. Bahasa yang “ketinggian” untuk dapat dicerna.
Lebih dari itu bila ada bagian-bagian yang dapat dimengerti, pasti isinya tidak lebih dari “menakut-nakuti” yaitu tentang dosa, siksa kubur dan masuk neraka bila tidak menjalankan ini itu seperti yang selalu dianjurkan para khatib pada umumnya.
Ada teman saya yang sudah susah payah saya ajak untuk insaf dan kemudian mau mulai lagi sholat jumat untuk “kembali ke jalan yang benar”, langsung kapok dan jumat depannya tidak datang lagi ke Masjid. Masalahnya sederhana, ya itu tadi, mendengar khotbah yang monoton , “mengerikan”, uraian tentang risiko dan ancaman masuk neraka, siksa kubur dan lain-lain.
Pagi ini saya dan anak saya “surprise” dengan khotbah Idul Adha yang disampaikan oleh Bapak KH Drs Toto Tasmara MBA. Surprise, karena memang khotbah kali ini lain dari yang lain, karena disampaikan dengan sangat “membumi”, disampaikan dengan bahasa yang sangat mudah dicerna, dengan bahasa sehari-hari.
Sang Khatib memilih topik tentang Syariat dan Ritual Versus Makna dan juga Hablum minallah vs Hablum minannas.
Dengan bahasa yang kocak, sang khatib mengutarakan betapa kita semua kebanyakan lebih memuja-muja tentang Syariah dan ritual belaka dengan mengenyampingkan “makna” yang terkandung didalamnya. Bila ada orang yang menghina agamanya, maka toko-toko yang akan disambitin batu !
Dicontohkan “Allahu Akbar”, Allah maha besar. Maknanya adalah hanya Allah yang maha besar, jadi kekuasaan dan materi itu bukanlah apa-apa. Berbaktilah kepada Allah, bukan kepada Kekuasaan dan Materi ! Namun apa yang terjadi? Justru munculnya para koruptor yang lebih banyak lagi. Bila dijaman Bung Karno itu koruptor adalah para orang tua, dijaman Soeharto koruptor itu pun terdiri dari orang-orang tua, maka justru dijaman reformasi ini muncullah koruptor anak muda yang masih berumur sangat belia yang mampu mengatur seluruh aparat penegak hukum dinegeri ini, dan menilep uang puluhan milyar, yaitu Gayus Timbunan (dipelesetkan).
Setiap tahun ratusan ribu umat Islam Indonesia menjalankan ibadah Haji, yang seharusnya negeri ini sudah menjadi negeri idaman yang dihuni oleh orang-orang yang berakhlak. Namun apa yang terjadi? Ternyata Perjalanan Haji hanya disikapi sebagai tidak lebih dari prosesi “ritual” belaka. Pulang Haji, seolah maknanya tertinggal di Cengkareng dan kemudian melaksanakan kegiatan hari-hari seperti biasanya lagi. Jadi Haji ya hanya terbatas urusan ritual belaka tidak lebih dan juga tidak kurang.
Sekedar untuk menentukan lebaran saja, negeri ini tidak mampu untuk dapat merayakannya bersama-sama. Menentukan permulaan Puasa saja, bangsa ini tidak mampu untuk dapat melaksanakannya bersama-sama. Kita rindu, para Ulama, Ulil Amri dan Pemimpin negeri yang mampu bisa mengajak kita semua melaksanakan ibadah bersama-sama, penuh dengan kehangatan kekeluargaan. Rindu ada pemimpin yang dicintai seluruh rakyatnya, rindu pemimpin yang bahkan sesekali menjadi Imam di Masjid Istiqlal. Dicontohkan , dengan lugunya tentang bagaimana Brunei memiliki pemimpin yang dapat membawa seluruh rakyatnya bersatu, tertib,kompak bersama-sama, dengan kekeluargaan yang Islami merayakan hari-hari besar Islam bersama-sama. Demikian pula dengan Malaysia, yang berlebaran, berpuasa bersama-sama seluruh negeri, tertib karena memiliki
Pemimpin dan Ulama yang dapat mengajak seluruh rakyatnya bersatu padu. Bangsa dan Negara yang mengerti tentang makna dan memiliki Ulama dan Pemimpin ! Sementara kita saat ini bercerai berai, hanya untuk urusan Idul Fitri dan Idul Adha. Semua mempunyai mahzab sendiri-sendiri, semua mempunyai Imam sendiri-sendiri. Merayakan Idul Adha, menurut Imam A, lebaran hari Senin, menurut Imam B lebaran hari selasa, menurut Imam C lebaran hari Rabu, menurut Imam D lebaran hari kamis sampai dengan hari Minggu masih ada yang lebaran yaitu menurut Imam Samudra ! Bangsa yang berlebaran sendiri-sendiri. Menafsirkan sendiri-sendiri. Pemimpinnya dimana? Ulamanya dimana?
Ritual Haji itu bermakna, lihat tentang Thawaf, lihat tentang Syai, semua itu bermakna “bergerak”, berusaha, memiliki “entrepreneurship”, dinamis, pergi kemana-mana. Setiap hari, lima kali kita mendengarkan azan yang antara lain berbunyi Hayya Alal Falah, mencari kemenangan, mencari nafkah, keuntungan. Jadi seharusnya kita semua harus memiliki integrity dan harus senantiasa bergerak dan mencari kemenangan.
Sang Khatib, menceritakan ilustrasi yang menarik, yaitu saat beliau sedang berada di Jepang. Satu saat, dalam suatu pertemuan ada rekan Jepangnya yang datang, kemudian menyembah bendera terlebih dahulu beberapa saat, baru memasuki ruang pertemuan. Setelah ditanya, baru kemudian dijelaskan bahwa dia terlambat 5 menit, dan dia menebus rasa malunya dengan menghormat kepada bendera. Lebih jauh dijelaskan bahwa memang tradisi rakyat Jepang yang sangat malu bila berbuat salah, lebih-lebih salah yang merugikan orang lain, bahkan tidak jarang menebus rasa malu nya dengan bunuh diri/hara-kiri ! sementara kita siapa yang malu? Telat setengah jam juga nggak malu, malah mungkin yang udah datang duluan yang jadi malu !
Mengacu kepada bergerak dan mencari nafkah, mencari untung, sang Khatib mencontohkan orang Cina. Nun jauh disana , di San Fransisco ada “China Town”, di LA ada “China Town”. Beberapa waktu yang lalu, ketika tengah berkunjung ke Pameungpeuk, saat mendatangi warung kecil dipinggiran kampung, ternyata kepunyaan orang Cina. Bukan Main Orang Cina bergerak dan hadir mulai dari San Fransisco sampai Pameungpeuk. Tidak hanya pergerakannya yang dinamis akan tetapi juga aktifitasnya mencari untung. Dicontohkan kemudian dengan menirukan musik pengiring Barongsay : Tung, tung tung tung tung tung untung untung untung untung Seceengg, tung untung untung untung untung Cebaannn, tung tung tung tung tung, untung dst…..(dengan gaya yang kocak).
Lebih lagi, dalam mencari untung itu, tidak seperti kita kalau sudah punya uang satu juta, maka biasanya tidak lagi menghargai uang lima perak, orang Cina tetap memperhitungkan uang walau lima perak. Jangan melihatnya sebagi satu hal yang negatif, tetapi justru orang Cina mempunyai filosofi pemahaman, bahwa tidak akan ada sejuta bila tidak atau kurang lima perak. Intinya tidak akan ada yang besar bila tidak ada yang kecil-kecil. Tidak akan ada nasi satu piring tanpa butir-butir nasi nya. Itulah orang Cina, yang dinamis, ada dimana-mana dan mencari untung dengan menghargai yang kecil-kecil dengan detil. Mereka orang Tiong Hoa yang tinggal di Tiong Kok. Tiong artinya bumi, Kok artinya pusat, jadi Tiongkok artinya pusat bumi. Sementara Hoa artinya orang, jadi Tiong Hoa adalah orang bumi. Dia akan betah dimanapun berada selama masih dimuka bumi dan senantiasa dinamis mencari untung ! Intinya tentu saja banyak sisi positif yang harus bisa kita pelajari dari filosofinya orang Cina.
Itulah intisari dari khotbahnya KH Drs.Toto Tasmara MBA, seorang dosen yang telah memberikan pencerahan dalam mengisi khotbah Iedul Adha 2010 di Lapangan Eks, Mabesau Pancoran Jakarta.
Kesemua itu disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, bahasa yang sangat “down to earth”, dan juga sangat jenaka. Betul-betul sebuah khotbah yang “inspiring” yang dibawakan dengan cara yang istimewa, tidak sebagaimana biasanya. Seperti juga Martabak yang istimewa yaitu yang pake telor maka saya berikan julukan khotbah yang istimewa ini dengan nama Khotbah Idul Adha Pake Telor !
Jakarta Rabu 17 Nopember 2010
Chappy Hakim