Angkatan Perang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebagai sebuah unit yang akan digunakan untuk perang dan memenangkan perang, maka ketiga Angkatan harus kompak terpadu satu dengan lainnya sebagai sebuah sistem. Untuk membangun dan memelihara keterpaduan itulah dibutuhkan “mutual respect” yang akan memunculkan “mutual trust”.
Kedua hal tersebut hanya bisa terjadi dalam situasi dan kondisi yang memegang teguh azas kesetaraan. Bila ada salah satu saja Angkatan yang merasa lebih penting dari Angkatan lainnya, maka disitulah dimulainya ancaman disintegrasi dari sebuah unit Angkatan Perang.
Posisi atau jabatan Panglima TNI adalah sebuah jabatan yang berada dan membawahi Angkatan Darat , Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebuah jabatan yang sangat wajar sekali harus diduduki oleh seorang Perwira Tinggi bintang 4 yang sudah pernah menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan.
Tidak ada istimewanya samasekali kedudukan Panglima TNI bagi seorang Perwira Tinggi bintang 4 yang sudah pernah menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan. Kedudukan Kepala Staf Angkatan dengan pangkat bintang 4, hanya dapat diperoleh bagi mereka Para Perwira setelah menjalankan tugas pengabdian panjang selama puluhan tahun dan teruji dalam karier yang ditempuhnya.
Baca :
Mengapa Panglima TNI ditolak masuk ke Amerika Serikat
Tidak akan pernah ada, seorang Kepala Staf Angkatan yang meraih kedudukan dan pangkat bintang 4, tanpa melaui proses panjang perjalanan tugas yang berat. Tidak pernah ada seorang bintang 4 menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan dengan cara potong kompas. Laksana olah raga, maka sangat tidak mungkin ada seorang juara yang muncul tanpa melewati proses latihan-latihan panjang, melelahkan yang sangat spartan.
Sebagai akibat dari keterlibatan Tentara dalam politik yang berlangsung puluhan tahun lamanya, maka jabatan Panglima TNI menjadi sebuah jabatan yang sangat disorot,karena wewenang dan kekuasaanya apalagi pada saat masih berstatus MenHankam Pangab.
Posisi jabatan yang terlihat sangat dominan pada aspek kekuasaan dan wewenangnya yang luar biasa. Politik telah mengantar jabatan Panglima TNI sebagai sebuah jabatan yang hanya terlihat sisi kekuasannya belaka. Padahal, pada dasarnya semua tugas-tugas dalam posisi jabatan apapun di Tentara seharusnya yang dominan adalah “tugas pengabdian yang berat” disertai tuntutan “tanggung jawab”.
Tugas yang hanya mampu dilaksanakan oleh perwira yang berorientasi kepada “Country before self”. Politik telah mengantar posisi jabatan Panglima TNI pada sebuah lokasi yang harus “dperebutkan”.
Politik telah mengaburkan pandangan tentang kesetaraan Angkatan, soliditas antar Angkatan, respect dan trust antar Angkatan. Itu semua sebagai akibat dari politik yang memang senantiasa hanya akan berorientasi pada kekuasaan.
Semua penugasan dalam jabatan militer dalam konteks yang berdimensi gabungan, pasti akan dilaksanakan dengan azas kesetaraan sebagai bagian utuh dari membangun spirit korps Angkatan Perang.
Pola penugasan yang tidak pernah dipandang dari arah bergantian atau bergiliran tetapi selalu pada aspek kekompakan dalam membangun kebersamaan yang menyeluruh dengan sasaran memenangkan Perang. Refleksi dari pembinaan Esprit de Corps yang bertujuan pada “combat readiness”.