Istana Presiden di Jakarta terletak di jalan Merdeka Utara. Itulah sebabnya mengapa salah satu sisi Istana tersebut disebut dengan Istana Merdeka.
Belakang, bangunan yang menghadap ke jalan Segara –sekarang bernama jalan Veteran– dikenal sebagai Istana Negara.
Istana Merdeka dan Istana Negara dihubungkan oleh halaman berumput yang cukup luas yang di tengah-tengahnya ada sebuah bangunan kecil berupa kupel.
Kupel ini di tahun 1950-an digunakan sebagai taman kanak-kanak, yang muridnya putra-putri Presiden dan anak-anak sekitar Istana, antara lain anak-anak yang tinggal di rumah sepanjang jalan Segara IV, yang sekarang sudah tidak ada lagi karena telah berubah menjadi bagian dari halaman Istana.
Hamparan rumput antara dua istana tersebut digunakan juga sebagai landasan helikopter yang membawa Presiden Soekarno, antara lain ke dan dari Istana Bogor.
Di halaman istana yang ditumbuhi beberapa pohon besar, dilepas pula satu atau dua ekor burung merak yang cukup besar ukurannya. Pada saat-saat tertentu merak-merak itu terlihat mengembangkan ekornya yang indah berwarna warni, dan tampak besar sekali dibanding ukuran badan dan kepalanya.
Jalan Veteran saat itu terdiri dari Jalan Segara I, Segara II, Segara III dan Segara IV. Saat ini yang tertinggal hanyalah Jalan Veteran I, Veteran II dan Veteran III.
Tepat di sisi kanan Masjid Baiturrahim –yang dulu adalah lapangan tenis– terletak jalan raya yang dulu dikenal sebagai jalan Segara IV. Tidak banyak perumahan di sepanjang jalan Segara IV, karena satu sisi jalan yang berbatasan langsung dengan pagar Istana adalah kantor yang bernama Kementrian Kehakiman.
Kantor itu berupa bangunan kuno yang menghadap ke jalan Segara, yang di belakangnya ada sebuah rumah milik keluarga Mr. Soedarjo.
Di samping rumah Mr. Soedarjo ada bangunan pool kendaraan Kementrian Kehakiman, lengkap dengan bengkelnya. Mobil yang diparkir di situ umumnya truk tertutup yang digunakan untuk antar jemput para pegawai Kementrian Kehakiman.
Pada sisi satunya, di seberang jalan, berjajar rumah-rumah peninggalan Belanda yang ditinggali antara lain seniman Belanda bernama Dezentje.
Dua anak Dezentje , satu lelaki dan satu perempuan sering terlihat belajar bermain piano dan biola di ruang depan rumahnya.
Beberapa rumah terlihat agak berbeda namun pada umumnya berukuran cukup besar. Di antaranya, rumah di Jalan Segara IV nomor 6 yang agak luas, digunakan beberapa keluarga, antara lain oleh keluarga Bapak Soekirman, kepala Radio Republik Indonesia, dan keluarga Bapak Effendi, pegawai tinggi Kementrian Penerangan yang kemudian pindah ke Kementrian Luar Negeri.
Rumah nomor 5 dan nomor 4 terdiri dari sebuah rumah utama yang besar, saat itu disebut sebagai hoofdgebow dan dua rumah lebih kecil di belakangnya, sering disebut sebagai “paviliun”.
Rumah besar di nomor 4 ditempati keluarga Belanda Meneer Wiener dan Nyonya dengan dua anaknya Royke dan Dieneke.
Rumah nomor 7 adalah rumah besar dan hanya ditempati sepasang suami isteri keturunan Tionghoa, yang halamannya penuh dengan pohon-pohon besar antara lain pohon mangga yang subur.
Rumah nomor 8 yang ukurannya lebih kurang sama dengan rumah nomor 7, ditempati beberapa keluarga sehingga mirip mess dan ramai sekali dibanding dengan rumah nomor 7.
Pagar belakang rumah nomor 7 dan 8 berbatasan langsung dengan dinding Hotel Majapahit yang menghadap ke Jalan Majapahit, arah ke Harmoni.
Pada sisi yang berbatasan dengan Istana terdapat beberapa pohon besar, antara lain pohon asam jawa dan pohon kenari. Buah pohon-pohon itu kerap berjatuhan di sepanjang pinggir jalan dan menjadi jatah anak-anak yang bermain di sana.
Jalan raya di depan halaman Istana Merdeka tidak ditutup seperti sekarang. Mobil bebas melintas walau pada saat itu jumlah mobil memang hanya sedikit.
Di antara jalan Segara IV dan Jalan Majapahit ada beberapa gedung yang salah satunya adalah gedung kedutaan India. Kedutaan ini seminggu sekali memutar film di halaman gedungnya dengan gaya yang sekarang disebut sabagai “misbar” atau layar tancap.
Di seberangnya terletak bengkel mobil bernama “Oteva”. Semantara berhadapan dengan Hotel Majapahit adalah toko besar dengan merek “Philips” yang di sampingnya mengalir kali kecil dengan jalan sempit tidak beraspal yang menghubungkan Jalan Majapahit ke kuburan China yang menuju Petojo, dan dikenal sebagai “Kober’.
Di sepanjang Jalan Merdeka Barat, yang masih tetap berada di tempatnya adalah Museum Gajah, RRI dan beberapa gedung lainnya yang sudah banyak beralih fungsi.
Di antaranya ada sebuah gedung dengan hiasan dua buah baling-baling pesawat terbang, yang mungkin kini adalah bangunan Kementrian Perhubungan.
Tidak banyak yang tahu bahwa di dalam Gedung Museum di Merdeka Barat terdapat sebuah perpustakaan yang cukup besar.
Pada tahun 1950-an tidak banyak orang Indonesia yang berkunjung ke dalam museum itu. Kebanyakan pengunjungnya adalah orang-orang “bule”, opa dan oma-oma.
Mereka pada umumnya adalah orang-orang tua yang datang untuk membaca naskah-naskah kuno, yang harus dibaca dalam ruangan baca perpustakaan tersebut karena sudah rapuh. Sebagian besar dari mereka membaca dengan menggunakan kaca pembesar.
Ruangan baca itu benar-benar hening sehingga suara jarum jatuh pun akan terdengar.
Di seberang museum, kini sudah tidak ada lagi, terletak markas besar polisi yang terkenal dengan sebutan Hopbiro (Hoofdbureau).
Tidak ada yang aneh dengan markas polisi di jalan Merdeka Barat itu, seperti layaknya banyak kantor polisi dimana-mana. Akan tetapi bagi warga yang tempat tinggalnya di sekitar Lapangan Gambir (sekarang Lapangan Monas), Hopbiro populer dengan warung padangnya.
Tidak begitu jelas apakah itu kantin polisi atau sekedar warung yang berlokasi di dalam Hopbiro. Yang jelas warung itu terkenal dengan nasi ramesnya yang berisi antara lain kelio ayam dan daging rendang.
Di kala itu belum ada kotak, sehingga nasi yang dibeli untuk dibawa pergi , akan dibungkus dengan lembaran daun pisang yang dibalut kertas koran. Harum masakan itu akan tercium dari jarak yang lumayan jauh, karena bungkusnya tidak mengandung plastik atau kardus.
Lapangan Gambir sendiri, pada waktu itu selalu ramai, apalagi di hari Minggu. Pertunjukan yang khas adalah “tukang obat” yang menggelar dagangannya di pinggir jalan kemudian menyajikan permainan sulap yang pada akhirnya berujung kepada “jualan obat”.
Di samping itu ada juga beberapa tukang cukur yang mangkal di bawah pepohonan yang rindang melayani pelanggannya.
Yang agak istimewa adalah Kali Ciliwung yang melintas di depan Istana Negara sepanjang jalan Segara dan Jalan Nusantara. Terdapat beberapa tangga di pinggirannya, dan selalu banyak orang mencuci pakaian di pinggir kali, walau air kali berwarna kuning .
Konon para pencuci pakaian tersebut adalah pegawai perusahaan binatu yang berlokasi di Jalan Pecenongan.
Saat 17 Agustus, banyak perahu berhias bendera merah putih lalu lalang di Kali Ciliwung depan Istana Negara, pagi hingga petang.
Beberapa bangunan yang berjajar di Jalan Nusantara, berseberangan dengan Jalan Segara antara lain adalah gedung Olivetti Soekardi, Van-Dorp, Toko Oen dan sekolah Katolik Santa Maria.
Jalan Nusantara berujung di lintasan kereta api di Pintu Air yang pada kedua sisi ujung nya terdapat bioskop Capitol dan bioskop Astoria.
Di seberang ujung Jalan Nusantara terdapat Jalan Segara I yang terkenal dengan toko es krim “Italian Ice Ragusa” yang sampai sekarang masih ada.
Di tahun 1950-an es krim juga dijajakan menggunakan kereta kuda yang dilengkapi lonceng besar untuk dipukul sebagai penanda kehadirannya. Penduduk sekitar mengenalnya dengan istilah “Es-Kuda”.
Sepanjang jalan Segara melintas rel trem yang ketika itu masih digunakan sebagai angkutan umum yang menghubungkan Kramat – Pasar Baru, melintas Jalan Segara depan Istana, melewati Harmoni, hingga Stasiun Kota, serta Pasar Ikan dan Cilincing. Kini Trem sudah tiada, bahkan relnya pun sudah lenyap.
Jaman memang sudah berubah, waktu berjalan. Hal-hal indah itu menjadi kenangan. Waktu yang berlalu mustahil kembali lagi.
“Time is the longest distance between two places” (Tenesse Williams)
Wisnubrata – Kompas.com