Selasa tanggal 13 April 2010, Pesawat Merpati tergelincir di landasan Rendani, Manokwari saat hendak mendarat ditengah cuaca yang buruk. Badan pesawat terbelah dua, setelah masuk sungai diluar runway. Untung sekali semua awak dan penumpang semuanya selamat.
Kecelakaan ini benar-benar sangat disayangkan sampai terjadi. Sebenarnya dalam keadaan cuaca buruk, sudah sangat jelas prosedur yang harus dilakukan oleh penerbang adalah tidak memaksakan kehendak untuk tetap mendarat. Jadi kemungkinan terbesar penyebab kecelakaan terjadi (sambil menunggu hasil penyelidikan tentunya) adalah, penerbang memaksakan pesawat untuk mendarat. Mari kita bahas satu persatu alasan yang menunjang perkiraan ini. Bandara di Manokwari, panjang landasannya adalah 1850 meter dengan lebih kurang “over run” sepanjang 50 meter, total panjang adalah 1900 meter. Dengan panjang landasan yang tidak sampai 2000 meter ini, diperkirakan pengoperasian pesawat sejenis B-737 menjadi “terbatas”. Ini adalah kelemahan pertama, jadi harus di cek apakah berat pesawat saat mendarat dengan penumpang, barang dan bahan bakar sudah sesuai dengan persyaratan kebutuhan panjang landasan yang tersedia.
Berikutnya adalah, peralatan bantu navigasi di Manokwari yang tersedia hanyalah ADF atau Automatic Direction Finder saja. Alat bantu jenis ini hanya berguna bagi menuntun pesawat ke landasan pada saat cuaca bagus. Peralatan yang hanya diperuntukkan bagi penerbangan “visual”. Manokwari belum dilengkapi dengan alat bantu navigasi yang dibutuhkan untuk penerbangan dalam cuaca buruk. Pesawat B-737, didisain sebagai pesawat yang mampu terbang terutama dalam IFR ( Instrument Flight Rules), sedangkan Bandara Manokwari adalah pangkalan udara dengan fasilitas penerbangan VFR (Visual Flight Rules). Disini menjadi jelas , ada masalah sangat prinsip yang agak kurang diperhatikan. Bila benar kabar yang mengatakan bahwa ada saksi mata melihat pesawat landing agak ketengah landasan, maka kiranya penyebabnya jelas sekali, karena Pilot tidak mempunyai pedoman dalam panel instrumentnya tentang posisi landasan dalam cuaca yang buruk itu. Sekali lagi Manokwari tidak dilengkapi dengan alat bantu navigasi untuk cuaca buruk (VOR, Very High Frequency Omni Range dan atau ILS, Instrument Landing System).
Jadi, janganlah didramatisasi bahwa terbang di Papua itu berbahaya, karena sebenarnya fasilitas penerbangan di Papua memang demikian adanya (given), sehingga sudah seharusnya operasi penerbangan di Papua menyesuaikan diri dengan apa yang tersedia disana. Limitasi yang ada di Papua haruslah disikapi dengan baik, yaitu pengaturan yang ketat terhadap ketentuan dan prosedur yang berlaku. Disinilah peran regulator dalam mengeluarkan aturan yang jelas dan melaksanakan pengawasan yang ketat serta menindak tegas pelanggaran yang terjadi.
Konon kabarnya, perusahaan penerbangan MNA yang merupakan maskapai penerbangan yang bernaung di bawah BUMN tengah menghadapi banyak masalah terutama keuangan. Hal ini dapat terlihat dengan kondisi armada yang dimilikinya. Menurut kabar burung, pesawat yang dioperasikan oleh Merpati ini adalah bukan milik PT MNA sendiri. Dengan demikian, maka akan banyak persoalan yang timbul dari pengelolaan pesawat, baik dalam hal perawatan maupun pengelolaan kualitas para awak pesawatnya.
Suatu Maskapai Penerbangan haruslah memiliki manajemen yang mapan dan prima, karena didalamnya berisi sekian banyak aturan, ketentuan dan prosedur operasi penerbangan yang harus dijalankan dengan ketat dibawah pengawasan yang keras. Kesemua itu bertujuan terutama sekali adalah untuk penyelenggaraan operasi penerbangan yang “aman” dan “nyaman”. Dengan demikian, kecelakaan sebagai akibat kecerobohan seorang penerbang misalnya, atau kealpaan dalam pelaksanaan perawatan teknis, tidak akan mudah terjadi. Manajemen yang bagus tentu saja hanya akan terjadi didalam satu perusahaan yang sehat.
Contoh lainnya adalah, bagaimana Maskapai kebanggaan kita , sang pembawa bendera Merah Putih yang juga berada dibawah BUMN, yaitu Garuda. Beberapa tahun yang lalu sudah menginginkan untuk “go public”. Upaya pun telah dilaksanakan antara lain, meraih sebagai Airlines “bintang 4”, rekor muri untuk “imigration on board” serta meraih keuntungan besar dalam 2 a 3 tahun terakhir. Demikian pula dengan sukses besar meraih “the best CEO”. Sayangnya, berita terakhir menyebutkan bahwa Meneg BUMN, melarang Garuda untuk IPO sebelum melunasi “hutang-hutang” nya. Jadi dimana sebenarnya letak kesalahan prinsip, dalam pengelolaan satu Maskapai Penerbangan yang berada dibawah bayang-bayang BUMN, perlu kiranya dicermati bersama.
Dengan uraian ini, maka jelaslah kiranya , aneka kecelakaan transportasi yang terjadi di tanah air tercinta, tidak saja disebabkan oleh karena masalah-masalah teknis di lapangan, akan tetapi juga faktor manajemen dalam arti yang luas telah turut mendukung terjadinya accident di berbagai moda angkutan negeri ini. Kecelakaan fatal pesawat Merpati di Manokwari, sesungguhnya tidak perlu terjadi . Introspeksi dari semua yang terkait pasti akan memberikan sumbangan besar bagi terhindarnya kita semua untuk menyaksikan kejadian yang sama. Kemauan yang kuat untuk melaksanakan hal ini adalah merupakan kunci keberhasilan dalam mengejar “accident free performance” ! Dengan demikian maka kiranya kita tidak perlu lagi membahas kemungkinan penyebab pesawat Merpati terjerembab !
Jakarta 14 April 2010
Chappy Hakim,
Catatan: tulisan ini sudah dimuat di koran Sindo tanggal 15 April 2010