Sistem pertahanan negara bersifat dinamis. Salah satunya akan berkait dengan Kedaulatan Negara di Udara. Hal tersebut menjadi sangat penting dalam hubungannya dengan kemerdekaan sebuah bangsa termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjaga kedaulatan Negara di Udara dibutuhkan National Air Power atau total kekuatan nasional di bidang air and space atau kedirgantaraan.
Menjadi lebih penting lagi bagi NKRI karena negara yang terletak dalam posisi yang amat strategis dengan kawasan yang luas serta berbentuk kepulauan dan berpenduduk banyak. NKRI pada realitanya terdiri dari sepertiga daratan, dua pertiga perairan dan tiga pertiga Udara.
Membahas Kedaulatan Negara di Udara bagi NKRI sekarang ini maka setidaknya harus disadari bahwa Indonesia tengah menghadapi 3 tantangan serius berkait dengan pengelolaan wilayah udara diatas teritori NKRI. Yang pertama adalah Indonesia tidak atau belum menyatakan atau mengklaim wilayah udara diatas teritori NKRI sebagai wilayah kedaualatannya.
Yang kedua adalah sehubungan dengan UNCLOS (United Nation Convention in the Law of the Sea) 1982 yang merupakan pengakuan Internasional terhadap NKRI sebagai negara kepulauan. Seiring dengan itu Indonesia diwajibkan untuk memfasilitasi jalur lintas bebas atau innocent passage melintas wilayah perairan teritori Indonesia. Jalur itu dikenal dengan ALKI (Alur Lintas Kepulauan Indonesia) yang terdiri dari ALKI 1, 2 dan 3. Persoalan yang muncul adalah alur udara diatas ALKI telah diperlakukan pula sebagai jalur lintas bebas bagi penerbangan internasional. Alur ini kemudian dikenal dengan Airways diatas ALKI. Inilah sebuah masalah yang sangat bertentangan dengan Hukum Udara Internasional dalam hal ini Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan wilayah udara kedaulatan sebuah negara adalah komplit dan eksklusif. Artinya tidak ada jalur lintas bebas di wilayah udara sebuah negara yang berdaulat. Konvensi Chicago 1944 adalah sebuah penekanan dari Konvensi Paris berkait dengan kerawanan wilayah udara sebuah negara dari ancaman serangan musuh dari udara. Konvensi Paris dan Konvensi Chicago memiliki latar belakang pertahanan keamanan negara sebagai akibat dari pengalaman di perang dunia pertama 1914 – 1918 dan perang dunia kedua 1939 -1945.
Tantangan ketiga adalah berhubungan dengan perjanjian Indonesia dengan pemerintah Singapura pada tahun 2022 yang isinya antara lain mendelegasikan pengelolaan wilayah udara di atas selat Malaka, kepulauan Riau dan Natuna, dari permukaan laut sampai dengan 37.000 feet kepada otoritas penerbangan Singapura untuk jangka waktu 25 tahun dan akan diperpanjang. Perlu menjadi catatan tersendiri bahwa pendelegasian tersebut sebenarnya bertentangan dengan pasal 458 UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan.
Pertahanan Keamanan Negara
Secara tradisional sistem pertahanan sebuah negara, ketika ancaman serangan musuh hanya terjadi pada dua dimensi saja, maka cukup dibangun benteng dan atau pagar tembok perbatasan. Contohnya adalah tembok China yang dibangun lintas generasi dalam upaya membendung kemungkinan serangan dari bangsa Mongol. Berikutnya dikenal pula tembok Berlin yang bertujuan untuk membatasi arus pengungsi dari Jerman Timur ke Jerman Barat ketika Perang dingin berlangsung. Bahkan di jaman modern pun, saat ancaman di antisipasi hanya akan menggunakan wilayah daratan saja, Presiden AS Donald Trump membangun tembok di sepanjang perbatasan AS dengan Meksiko.
Setelah wilayah udara sudah dapat digunakan sebagai panggung pertempuran, maka konsep pagar berubah drastis menjadi bentuknya yang menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Pada tahun 1983 Presiden AS Ronald Reagan mempromosikan SDI – Strategic Defence Initiative yang dikenal kemudian dengan Star Wars. Sistem pertahanan NATO berbentuk pagar imajiner berbasis satelit untuk membendung serangan ICBM – Inter Continental Ballistic Missile pihak Pakta Warsawa sepanjang perang dingin berlangsung.
Kesimpulan dari itu semua, maka sistem pertahanan keamanan sebuah negara akan berkait langsung dengan wilayah perbatasan negara terhadap negara lain. Wilayah perbatasan negara dengan negara lain dikenal sebagai wilayah kritis dalam arti kawasan yang berpotensi datangnya ancaman terhadap pertahanan keamanan negara. Lebih khusus lagi wilayah perbatasan dengan lebih dari 1 negara, akan berarti menjadi kawasan yang sangat kritikal terhadap datangnya ancaman. Menjadi the most critical border, yang salah satunya dalam konteks NKRI terletak di kawasan Selat Malaka, perairan kepulauan Riau dan Natuna.
Ancaman dari Udara
Sejak jaman Romawi kuno dikenal adagium yang berbunyi Cujus est solum ejus est usque ad coelum yang artinya mengandung makna bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, maka berarti dia memiliki juga segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai dengan ke langit dan segala sesuatu yang berada di dalam tanah. Hal ini menjelaskan bahwa sudah sejak jaman dahulu orang tidak nyaman berada di satu tempat tanpa menguasai wilayah udara diatasnya. Sejak jaman dahulu orang sudah mengantisipasi bahwa ancaman yang datang dari udara sangat berbahaya. Sudah sejak jaman dulu orang tidak menyukai freedom of the air.
Dengan berkembangnya waktu seiring dengan kemajuan teknologi dan peradaban, maka penggunaan wilayah udara berkaitan dengan sistem pertahanan keamanan negara terus meningkat. Hal ini ditandai mulai dari penggunaan balon udara sampai dengan pesawat terbang dalam ajang peperangan. Ancaman dari udara telah merubah bentuk perang menjadi perang total. Dengan demikian, maka sistem pertahanan sebuah negara tidak memiliki pilihan lain untuk juga di rancang dalam bentuk pertahanan yang total sifatnya.
Dalam satu atau dua dasawarsa belakangan ini, semua negara dalam hal men disain sistem pertahanan keamanan negaranya, dipastikan akan sangat bergantung kepada kemajuan teknologi dan pertahanan total. Akan sangat bersandar kepada High Technology dan Total Defense.
Kemajuan teknologi telah memaksa sistem pertahanan keamanan negara berubah total.
Jakarta 17 Maret 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia