Akhirnya, berakhirlah sudah rangkaian pertandingan Piala AFF tahun 2010. Sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada perebutan piala AFF sebelumnya, maka Timnas Indonesia sangat tampil menarik perhatian. Sangat menarik perhatian, disebabkan beberapa hal yang terjadi bergulir begitu saja.
Bayangkan dari berpuluh tahun belakangan ini, kita tidak pernah menyaksikan sebuah kesebelasan sepakbola nasional seperti Tim nya Firman Utina dan kawan-kawan. Secara tiba-tiba, kita memiliki Timnas sepakbola yang membanggakan. Tidak ada angin dan tidak ada hujan, muncul satu kesebelasan yang memberikan rasa bangga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebuah Tim yang sangat produktif membuat gol dalam laga-laga penyisihan perebutan piala AFF. Lihat saja, skor skor yang ditorehkannya, 5-0 membantai Laos, menggulung Malaysia 5-1, menundukkan Thailand 2-1 dan Philipina 1-0 dua kali. Tidak ada satu pun pertandingan yang dimainkan dengan seri dan terlebih lagi, tanpa membuahkan gol, untuk kemudian secara meyakinkan berlenggang menuju babak final. Cukup sedih kemudian, kita melihat kenyataan Indonesia dibantai 3-0 di KL, walaupun menang 2-1 di Jakarta, sehingga harus puas duduk sebagai “runner up”
Tidak dapat disangkal oleh siapapun bahwa sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam olah raga sepakbola. Namun kelemahan terbesar juga mengiringinya yaitu dalam aspek Leadership dan Manajemen. Kini seolah kita kemudian menyaksikan bahwa keburukan Leadership dan Manajemen ternyata tidak mampu untuk membendung lajunya prestasi sepakbola karena besarnya potensi yang dimiliki.
Ada yang memandang bahwa dibawah kepengurusan yang amburadul, dapat saja muncul satu tim sepakbola yang kuat hanya dalam waktu yang relatif sangat singkat. Seorang Alfred Riedl, dalam waktu yang tidak sampai satu tahun dapat memproduksi satu kesebelasan sepakbola yang berkualitas. Lebih ekstrim lagi, ada pula yang beranggapan bahwa apabila tidak ada kepengurusan sama sekali di sepakbola nasional, maka kesebelasan ini dapat meraih gelar juara. Maksudnya adalah, bila tidak ada kepengurusan, berarti tidak ada yang campur tangan dalam proses pembentukan tim , dan itu berarti, proses pembentukan tim tidak mengalami gangguan apapun. Tim yang baru “hanya” sukses pada laga perempat final, sudah disajikan begitu banyak menu. Mulai dari peliputan di media cetak dan online yang seakan tiada henti dalam 24 jam siaran, wawancara, liputan sehari-hari, wawancara isteri, kakek, nenek, pengasuh dan lain sebagainya. Tim yang bahkan belum bertanding dalam laga final, sudah diundang makan siang bersama, diberikan tanah berhektar-hektar, dijanjikan uang miliaran rupiah dan puncaknya adalah, baru pertamakali sepanjang sejarah persepakbolaan nasional, satu tim yang akan bertanding, digiring kesatu pesantren yang tidak jelas apa hubungannya dengan sepakbola, untuk duduk bersila bersama dalam acara yang bertajuk “istigosah”.
Belum lagi, pertandingan yang masih merupakan babak penyisihan (”baru” dalam lingkup Asean dan hanya piala Suzuki) sudah diatur dengan menghadirkan Presiden lengkap dengan Paspampres yang ber “panser” serta jajaran protokol kenegaraan yang mengatur “seating arrangement” tempat duduk kursi nonton bola para Menteri-Menteri dan pejabat lain seperti layaknya dalam rapat sidang kabinet.
Bayangkan satu kesebelasan yang tengah berada dalam satu rangkaian kegiatan kejuaraan besar, belum mulai bertanding di laga final, sudah memperoleh perlakuan setinggi langit, bak sudah menjadi juara dunia. Benar-benar sangat berlebihan. Semua seolah merasa begitu sangat “dahaga” untuk tidak dapat bersabar diri untuk menunggu saja sampai usainya pertandingan final. Tidak itu saja, munculnya kesebelasan idaman ini juga telah langsung memunculkan pihak-pihak yang meng klaim sebagai jasa mereka. Khawatir bila nantinya akan muncul puji-pujian terhadap siapa yang berjasa dalam membentuk kesebelasan ini nama mereka tidak disebut.
Terlepas dari kesemuanya itu, saya melihat Alfred Riedl beserta jajarannya dan seluruh pemain telah mempersembahkan semua kemampuannya dengan sangat membanggakan. Bila mereka belum berhasil, maka sangat wajar bila kita simak penjelasan Alfred Riedl bahwa Tim ini adalah memang Tim yang belum jadi. Sebuah kesebelasan sepakbola tidak akan pernah memiliki kuailitas yang bagus tanpa rangkaian latihan dan pertandingan yang panjang. Belum pernah ada di dunia ada satu kesebelasan yang baru dibentuk dalam hitungan dibawah satu tahun bisa menjadi juara. Keterampilan dalam satu tim, memerlukan pengalaman yang memadai. Pengalaman bertanding di laga internasional, kematangan dalam bermain di berbagai lapangan sepakbola di banyak negara adalah modal yang harus dimiliki terlebih dahulu, sebelum satu kesebelasan menjadi berkualitas. Pengalaman menang dan pengalaman kalah dalam arena pertandingan yang ketat di tingkat internasional, adalah bekal yang harus dimilki oleh satu kesebelasan untuk menjadi kesebelasan “world class”. Kemampuan individu mungkin lebih mudah ditempa, namum bermain secara tim akan memakan banyak waktu untuk memperolehnya. Kemampuan kerjasama tim, sangat memerlukan tahapan-tahapan yang tidak dapat di “karbit”. Kerjasama tim memerlukan pengalaman latih tanding, bertanding dengan sparing partner, bertanding persahabatan dan bertanding dalam turnamen resmi. Kesemuanya memerlukan waktu untuk dapat memetik ilmu dari yang dialaminya.
Kembali kepada hasil yang dicapai Alfred Riedl dan keseluruhan pemain di Timnas, maka kita patut memberikan penghargaan yang tinggi atas prestasi yang telah mereka raih. Dalam waktu yang relatif singkat, mereka tampil dengan sangat membanggakan, ditengah-tengah amburadulnya pembinaan sepakbola kita puluhan tahun belakangan ini. Entah siapa yang harus bertanggung jawab !
Bila kita hanya bicara tentang agregat maka sebenarnya telah terjadi kekeliruan dalam menentukan Juara Piala AFF 2010. Dengan melihat kenyataan di Final Indonesia kalah dari Malaysia dengan skor agregat 4-2, yaitu kita kalah 0-3 di Kuala Lumpur dan hanya menang 2-1 di Senayan. Kekeliruan yang dimaksud adalah keliru dalam menghitung agregat Indonesia Versus Malaysia. Bila benar-benar dihitung (hanya agregat perolehan gol) sebenarnya skor akhir adalah 7-5 untuk Indonesia. Bukankah kita pernah menundukkan Malaysia dengan skor 5-1 ? Itulah antara lain ilmu yang harus dipetik dari pengalaman. Tim Malaysia adalah juara Sea Games 2010 yang lalu, sementara Indonesia saat itu, lawan Laos pun kalah !
Riedle dan Timnas, telah membuktikan potensi besar yang dimiliki Indonesia bukanlah sekedar “omong kosong” penghibur hati. Yang dibutuhkan kini adalah Leadership dan Manajemen dalam menuju persepakbolaan yang profesional. Persepakbolaan dengan prestasi yang benar-benar menunjukkan potensi besar yang dimiliki.
Semoga Indonesia dapat meraih mimpi dapat tampil di panggung dunia ! Insya Allah.
Jakarta 30 Desember 2010
Chappy Hakim
1 Comment
setujuuu…ganti ketum pssi dan kroni2nya yg payah itu…butuh reormasi yg tegas…mungkin dutukn kekuatan militer untuk menggulingkannya… 🙂