Dalam peristiwa heroik 60 tahun silam, suatu misi kemanusiaan yang merupakan upaya mempertahankan kemerdekaan diserang Belanda.
Obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia dibawa misi itu menggunakan pesawat Dakota India. Di atas udara Yogyakarta, pesawat beregistrasi India, VT-CLA, dari Singapura itu diserang dua pesawat Kittyhawk Belanda, membuat salah satu mesin pesawat itu terbakar. Pesawat dengan Pilot Alexander Noel Constantine (Australia) dan Co Pilot Roy Hazelburst (Inggris) itu jatuh dan terbakar di Desa Wodjo, Yogyakarta. Ikut gugur dalam misi itu adalah Komodor Udara A. Adisutjipto, Komodor Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Satu Adisumarno Wirjokusumo.
Agaknya, aksi ini merupakan balas dendam atas serangan udara pagi sebelumnya di daerah pendudukan Belanda yang dilakukan penerbang Soeharmoko Harbani, Muljono, Soetardjo Sigit dan kawan-kawan.
Kedaulatan negara
Sebenarnya peristiwa itu tidak perlu terjadi jika Indonesia telah berdaulat, termasuk berkemampuan menjaga kedaulatan udara negara. Namun, saat itu Indonesia masih belia, baru saja memproklamasikan kemerdekaan.
Meski peristiwa itu telah berlalu 60 tahun, hingga kini Indonesia belum berdaulat sepenuhnya di udara. Dalam arti luas, berdaulat adalah mampu menjaga dan mengatur daerah udara kedaulatan Indonesia.
Pasal 1 Convention on International Civil Aviation, Chicago 7 Desember 1944, menegaskan
tiap Negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya.
Selanjutnya “hal lintas damai” di ruang udara nasional suatu negara, seperti pada hukum laut, ditiadakan. Jadi, tidak satu pun pesawat asing dibolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin negara bersangkutan (Kedaulatan Negara di Udara, H. Priyatna Abdurrasyid).
Maka, ruang udara nasionl harus di bawah kekuasaan dan kontrol negara bersangkutan. Pesawat asing pun tidak diperkenankan melalui ruang udara nasional tanpa izin, apalagi melakukan latihan.
Dalam kenyataan, ada beberapa kolom ruang udara nasional kita yang hingga kini belum sepenuhnya di bawah kekuasaan dan kontrol otoritas penerbangan Indonesia, antara lain daerah yang dikontrol FIR Singapura dan wilayah yang dulu dikenal dengan Area Latihan Militer 1 (Military Training Area/MTA) dan Area Latihan Militer 2 MTA 1 dan MTA 2 adalah wilayah udara nasional yang telah puluhan tahun digunakan Angkatan Udara Singapura untuk latihan.
Penerbangan nasional
Secara tidak langsung, keberadaan MTA 1 dan MTA 2 telah mengganggu penerbangan di dalam negeri. Paling tidak, kenyamanan terbang yang seharusnya dinikmati para penerbang Indonesia saat ini di wilayah udara negaranya sendiri menjadi terusik.
Pemerintah didesak mempertanyakan area larangan terbang yang diatur Singapura. Diberitakan, penerbangan pesawat sipil sering diusir operator radar Singapura dari ruang udara antara Pulau Batam dan Kepulauan Anambas yang dikategorikan “area berbahaya” (Kompas 11/7).
Selain itu, penerbang kita mengemukakan, penerbang sipil sering diusir dari area militer. Kapten pilot maskapai penerbangan Riau Airlines Wendy Yunisbar di Batam mengemukakan, “Jika terbang dari Batam ke Matak, saya sering diminta menghindar kalau mendekati area berbahaya itu. Tampaknya itu merupakan wilayah military aerospace.” Dengan kondisi itu, Wendy harus menerbangkan pesawat melalui jalur lebih jauh. Jika cuaca jelek, ia tak bisa masuk area itu untuk menghindari badai atau awan tebal.
Penerbang nomad TNI AL dan para penerbang yang biasa terbang di sekitar wilayah itu juga selalu diminta menjauh dari zona itu (Kompas, Juli 2007)
DCA
Masalah perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) yang mencuat akhir-akhir ini tak bisa dihindarkan. Ada yang melihat, DCA sebagai pelecehan kedaulatan bangsa, mengingat sebagian daerah udara nasional Indonesia kini ada di bawah kekuasaan FIR Singapura dengan MTA 1 dan MTA 2. Maka, pengkajian tentang DCA bias dimanfaatkan untuk pengaturan kembali daerah itu. FIR MTA 1, dan MTA 2 telah berlangsung puluhan tahun. MTA 1 dan MTA 2 juga telah lama digunakan Singapura sebagai daerah latihan. Padahal, daerah tiu dalam lingkungan area penerbangan sipil. MTA 1 dan MTA 2 terus dalam pengawasan Singapura (under occupation and control of Singapore government).
Jika ini berlanjut, tidak mustahil area itu akan lenyap dari peta kedaulatan udara nasional. Alasannya, selama ini kondisi seperti itu tidak dilindungi payung hukum formal berupa perjanjian bersama Indonesia-Singapura.
Terlepas apakah DCA akan digunakan sebagai bargaining position Indonesia dalam konteks ekstradisi BLBI dan sebagainya maka inisiatif pembuatan DCA patut disambut positif. Artinya, jika MTA 1 dan MTA 2 telah dalam payung hukum resmi seperi DCA, secara formal dalam kerangka perjanjian Indonesia-Singapura, kita tidak perlu khawatir daerah itu akan hilang dari peta kedaulatan udara Indonesia. Oleh karena jelas tercantum, area itu milik Indonesia yang dipinjamkan Singapura.
Soal kekhawatiran pelecehan kedaulatan, tinggal bagaimana secara cerdas kita mengatur implementing arrangement-nya.