Tidak sempat berselang satu hari, saya menerima pesan melalui Whatsapp dari sahabat dekat di Washington DC. Dia menanyakan tabrakan dua pesawat terbang sipil komersial yang terjadi di Halim Air Force Base dengan menggunakan terminologi cukup menarik, yaitu “the stupid accident“.
Awalnya, saya merasa tersinggung juga dengan istilah yang digunakan itu. Namun, setelah merenung sejenak, saya dapat memahami bahwa memang kecelakaan itu adalah sebuah “man made accident“.
Bagaimana tidak? Halim yang sudah begitu padat dibebani lagi dengan “tumpahan” traffic dari Cengkareng. Tidak cukup dengan itu, justru kemudian ditambah lagi beberapa maskapai lain dengan penambahan rute-rute baru pula. Benar-benar satu keputusan yang sangat jauh dari pemikiran akal sehat.
Coba bayangkan, Halim yang merupakan home base dari 4 skuadron angkut dan VIP Angkatan Udara, konon belakangan ini setiap harinya sudah dibebani dengan lebih dari 70 take off-landing pesawat terbang sipil komersial.
Lalu, mau ke mana para pilot Angkatan Udara penjaga kedaulatan negara di udara itu jika akan berlatih dan beroperasi?
Lebih lucu lagi, saat diberi tahu bahwa landasan pacu di Halim hanya satu, ada yang menanggapinya bahwa memang biasanya bandarahanya memiliki satu landasan pacu, kecuali di Cengkareng.
Benar-benar tanggapan yang sangat amat “naif”, yang tidak menyadari bahwa dengan satu landasan pacu di Halim yang sudah terbebani dengan 4 skuadron udara dan satu skuadron teknik perawatan pesawat terbang, itu masih dianggap “biasa-biasa” saja untuk ditambah lagi dengan “tumpahan” traffic yang tidak terurus di Cengkareng. Belum lagi ditambah rute-rute baru, mumpung banyak minat dari penumpang di Jakarta yang ingin bepergian melalui Halim yang lebih dekat, daripada harus jauh-jauh ke Cengkareng.
Ini dianggap biasa karena memang yang hendak dicapai adalah keuntungan finansial belaka.
Puluhan pesawat tempur
Walau kecelakaan di Halim sudah telanjur tejadi, Senin lalu, ada dua hal yang patut disyukuri, yaitu tidak terdapat korban jiwa dan kebakaran. Posisi puluhan pesawat terbang tempur Angkatan Udara diparkir tidak jauh dari lokasi tabrakan malam itu.
Puluhan pesawat terbang tempur tersebut ada di Halim dalam rangka memperingati Air Force Day pada tanggal 9 April.
Bisa dibayangkan bila kebakaran itu sampai terjadi, puluhan pesawat terbang tempur Angkatan Udara Republik Indonesia hancur lebur bukan oleh musuh, melainkan oleh kebodohan pemiliknya sendiri.
Itu sebabnya saya kemudian cepat memahami apa maksud dari istilah yang digunakan teman saya itu, “the stupid accident“.
Halim memang sebenarnya sangat tidak layak untuk digunakan bagi operasi penerbangan sipil komersial. Halim adalah sebuah pangkalan udara Angkatan Udara. Sekadar untuk diketahui saja bahwa pemakaian Pangkalan Udara Halim sudah “lebih” dari optimal.
Penggunaan satu pangkalan udara militer tidak bisa diukur dengan parameter operasional dari kegiatan penerbangan sipil. Pangkalan udara militer sepanjang tahun sudah diplot dengan ketat penggunaannya, yang tidak hanya untuk pelaksanaan operasi penerbangan rutin, tetapi juga untuk operasi penerbangan latihan berjadwal.
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sebagai military airbase merupakan subsistem dari alat utama sistem senjata (alutsista) angkatan perang. Kegiatan yang dilakukan di Pangkalan Udara Halim tidaklah semata latihan penerbangan yang hanya melibatkan pesawat terbang. Latihan juga melibatkan personel dari pasukan lintas udara (linud) dan perbekalan TNI Angkatan Darat serta Pasukan Khas (Paskhas) TNI Angkatan Udara dengan jadwal latihan tertentu, antara lain penerjunan dan latihan pengamanan obyek vital nasional, serta penerbangan bantuan administrasi dan logistik.
Pangkalan Udara Halim adalah homebase dari skuadron linud berat Hercules, skuadron angkut ringan/sedang F-27 dan CN-235, serta skuadron VIP.
Semua awak pesawat dari skuadron-skuadron ini mempunyai jadwal yang penuh setiap tahunnya dengan kegiatan penerbangan yang sangat padat.
Sekali lagi, istilah padat dalam penerbangan sipil jauh berbeda dengan operasi penerbangan militer. Sekadar contoh, pada saat penerjunan pasukan di sekitar landasan, take off-landing-nya memang berjarak cukup jauh karena memberikan waktu yang cukup untuk pergerakan pasukan di bawah.
Keberadaan penerbangan sipil komersial di Halim sangat mengganggu jadwal latihan para pilot Angkatan Udara yang otomatis akan berakibat pada menurunnya kualitas tempur para pilot Angkatan Udara secara keseluruhan.
Di sisi lain, Pangkalan Udara Halim merupakan tempat dari Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional, Markas Komando Operasi Angkatan Udara 1, Markas Komando Sektor Pertahanan Udara Ibukota, dan Markas Komando Pendidikan Angkatan Udara.
Tidak jauh dari situ, terdapat pula Markas Besar TNI Cilangkap. Kini, wilayah udara di atasnya sudah menjadi tempat berseliwerannya banyak sekali pesawat-pesawat terbang sipil komersial yang sama sekali tidak diketahui secara detail, siapa dan apa gerangan isinya.
Sungguh sudah menjadi sebuah kecerobohan fatal bagi aspek keamanan dari keberadaan instalasi strategis dan penting dari Negara Republik Indonesia. Sementara itu, perkembangan mutakhir dari antisipasi ancaman di tingkat global adalah ancaman terorisme yang merupakan ancaman yang berasal dari non-state actor.
Tidak mudah memang untuk dapat meyakinkan orang yang memang tidak paham. Sejak tahun 2010, sudah banyak rekomendasi dan saran tanggapan tentang bahayanya memindahkan tumpahan traffic hasil salah urus di Cengkareng ke Halim. Namun, hal tersebut tetap saja dilakukan, bahkan dengan penambahan rute baru.
Bila itu yang dilakukan dan kemudian pada Senin malam lalu terjadi kecelakaan, maka terminologi stupid menjadi sangat pantas untuk disandang.
Mudah-mudahan tidaklah juga separah seperti apa yang pernah dikemukakan seorang budayawan Yunani yang hidup pada masa sebelum Masehi bernama Euripides, yang mengutarakan bahwa “Talk sense to a fool and he calls you foolish“. Bila Anda berupaya mengingatkan si tolol, maka bersiaplah Anda sendiri untuk dikatakan sebagai si tolol!
Jakarta, 7 April 2016
Sumber : Kompas.com – Editor Wisnu Nugroho